Tak terasa kita sudah memasuki tahun baru 2025. Di akhir tahun lalu dan awal tahun ini merupakan momen yang masih sangat tepat untuk introspeksi diri, merenungkan perjalanan hidup selama 2024 lalu. Pertanyaan penting yang perlu direnungkan adalah: Apakah waktu yang Tuhan berikan telah termanfaatkan dengan baik? Apakah kewajiban terhadap Tuhan, sesama manusia, maupun lingkungan sekitar telah terpenuhi dengan baik?
Selain introspeksi diri, di tahun 2025 juga menjadi momen penting untuk memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa. Kita hidup di negara yang majemuk, dengan berbagai suku, agama, dan budaya. Keragaman ini adalah anugerah dari Allah yang harus disyukuri. Jangan biarkan perbedaan menjadi alasan untuk perpecahan.
Semangat keberagaman, termasuk keberagaman keagamaan sudah tergambar dari sejarah perjalanan bangsa dan hadirnya NKRI. Pemuka-pemuka agama mengajarkan bukan saja bagaimana menjadi insan yang baik, akan tetapi juga bagaimana menjadi insan yang berguna sesuai dengan jargon dan visi agama masing-masing. Di sinilah pentingnya seluruh penganut agama menghayati kembali semangat keberagaman dalam keagamaan
Pengalaman sejarah tersebut menjadi modal utama untuk terus mempertahankan pola hubungan menuju tatanan masyarakat yang beragam, toleran dan penuh persaudaraan agar kurva gerak sejarah keberagaman bangsa ini senantiasa dihiasi oleh nilai-nilai kemanusiaan.
Artinya nilai-nilai dan vitalitas keagamaan termanifestasi bukan hanya bersifat seremonial berupa kegairahan ibadah ritual formal, tapi juga mewujud sebagai kekuatan moral dan sosial. Karena energi moral dan sosial agama mampu menjadi pembebas sekaligus kekuatan transformatif untuk menciptakan tatanan masyarakat beradab. Suatu masyarakat yang relatif terhindar dari gejela demoralisasi dan dehumanisasi dalam berbagai bentuknya.
Secara teoritik agama-agama yang diturunkan Tuhan membawa risalah sesungguhnya agama memberi advokasi atau perlindungan kepada umat manusia bukan menjadi alat provokasi, Islam menyebutnya rahmatan lil alamin bukan laknatan lil alamin.
Menunjukkan, bahwa semua agama mengajarkan kebaikan, cinta kasih, keadilan dan menentang bentuk-bentuk agresi atau kekerasan. Tidak pernah ditemukan dalam ajaran agama, semakin sering mencaci atau menjelek-jelekkan agama dan keyakinan orang lain, semakin sempurna iman seseorang.
Kita memang dituntut meyakini sepenuhnya bahwa agama yang kita yakini adalah agama yang paling benar, namun agama melarang merendahkan agama orang lain, apalagi menyakiti penganut agama lain.
Shihab (2019) memberi alternatif, bahwa agar harmoni dalam keberagaman di masyarakat tetap terpelihara semua elemen masyarakat perlu memahami dan memperhatikan: Pertama, seseorang harus memiliki ilmu pengetahuan yang memadai (cukup dan benar) agar ia mampu menyikapi setiap perbedaan yang terjadi dengan baik.
Kedua, hendaknya setiap orang mampu mengendalikan emosi keagamaannya untuk tidak terperosok pada sikap berlebihan dalam beragama. Ketiga, dibutuhkan sikap kehati-hatian yang berkesinambungan serta selalu berusaha berbuat sewajarnya dengan tidak melakukan perbuatan yang berlebihan atau berkekurangan.
Pengakuan terhadap keberagaman dalam sebuah komunitas masyarakat menuntut prinsip inklusivitas (keterbukaan), suatu prinsip dengan mengutamakan komunikasi, bukan konflik, mendahulukan sikap husnuddan, bukan su’uddan. Terlebih masing-masing agama pada dasarnya mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan secara terus menerus, sedang realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen baik secara kultural maupun religius, maka inklusivitas menjadi keharusan.
Sebagai agama rahmatan lil-alamin, Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menghormati dan menerima keberagaman. Keberagaman menurut Islam adalah sebuah aturan Allah (sunnatullah) yang tidak mungkin dapat dihilangkan. Ketetapan ini menunjukkan, sesungguhnya Islam menghargai keberagaman.
Jalinan komunikasi (persaudaraan) antara seorang Muslim dan non-Muslim sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak kaum Muslim. Allah swt berfirman dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Keberagaman adalah hal yang niscaya, tidak ada satu masyarakat atau bangsa yang tunggal tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya. Karena itu sangat diperlukan sikap saling mengerti dan saling memahami, dengan cara mencari dan menemukan titik kesamaan (kalimah sawa’).
Mudah-mudahan di tahun 2025 ini bangsa Indonesia dan kita semua senantiasa dilimpahi rahmat, keberkahan, dan dijauhkan dari segala bencana. Tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Terhindar dari segala bentuk permusuhan, fitnahan, dan kebencian yang dapat memecah belah bangsa.(*)