MALANG POSCO MEDIA – Anda yang cukup senior pasti mengenal Harvey Malaiholo yang pada dekade 1980 dan 1990-an menjadi salah satu ikon musik pop Indonesia paling menonjol. Karirnya cemerlang dan kehidupan pribadinya relatif bersih dari gosip.
Di jagat budaya pop Indonesia lahir penyanyi-penyanyi dengan status superstar, dan umumnya mereka berasal dari Ambon. Tentu ini bukan sebuah kebetulan. Ambon memang dikenal sebagai gudang penyanyi berbakat.
Pensiun dari dunia musik nama Harvey tidak banyak terdengar lagi. Rupanya Harvey memilih jalur politik sebagai profesi paska-pensiun. Sama dengan Andre Hehanusa yang juga terjun ke jalur politik. Andre gagal menjadi anggota DPR sementara Harvey sukses menembus Senayan sebagai wakil PDIP.
Ia ditempatkan di daerah pemilihan Papua Barat dan berhasil mengumpulkan suara terbanyak kedua. Ia baru berhasil masuk Senayan Januari tahun ini melalui proses pergantian antar-waktu (PAW).
Selama beberapa bulan menjadi wakil rakyat tidak banyak yang didengar publik dari Harvey. Hal ini bisa dimaklumi, karena para selebritas yang masuk ke Senayan umumnya memang berstatus sebagai ‘’vote getter’’ pengumpul suara bagi partainya, sehingga kontribusi wacana politik yang mereka hasilkan biasanya minimal.
Nama Harvey muncul ke permukaan ketika beberapa hari yang lalu muncul berita bahwa seorang anggota DPR–mantan penyanyi berisial HM–ketahuan menonton film porno ketika sidang, publik mulai mengingat lagi nama Harvey Malaiholo.
Kemudian terkonfirmasi bahwa HM adalah Harvey Malaiholo. Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto langsung membela Harvey dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan Harvey adalah sesuatu yang manusiawi. Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, kolega Harvey di DPR membela dengan mengatakan Harvey dijebak.
Harvey kabarnya menangis ketika dipanggil oleh fraksinya. Ia malu karena merasa mencoreng nama baik partai dan keluarga. Ia berdalih hanya beberapa saat membuka kiriman konten porno itu, tapi kemudian tertangkap oleh kamera dari ‘’fraksi balkon.’’
Apapun, Harvey harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia harus menghadapi pengadilan Dewan Kehormatan DPR. Utut boleh saja membela anak buahnya dengan menyebut kesalahan itu sebagai kesalahan manusiawi. Tapi, publik tentu punya penilaian tersendiri terhadap insiden itu.
Insiden ini terjadi pada timing yang tidak tepat. Insiden ini menjadi isu sensitif karena muncul di Bulan Ramadan. Insiden ini juga terjadi hanya beberapa hari setelah DPR melalui rapat paripurna mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disambut dengan suka cita oleh para aktivis gerakan feminisme.
Undang-undang itu sempat macet selama enam tahun, dan baru sekarang disahkan. Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) menolak undang-undang itu karena menganggapnya tidak mengakomodasi tindak kejahatan seksual secara komprehensif, terutama yang berkaitan dengan perzinaan dan hubungan seksual sesama jenis.
Tetapi, para aktivis perempuan menyambut gegap gempita undang-undang itu, dan menganggapnya sebagai kemenangan besar bagi gerakan perempuan Indonesia. Undang-undang itu akan memberi perlindungan bagi perempuan Indonesia dari kekerasan seksual dengan segala macam variannya, termasuk kekerasan seksual simbolik.
PDIP tentu menjadi partai terdepan yang mendukung undang-undang itu. Insiden Harvey menjadi hal yang kontra-produktif dan menjadi ujian pertama bagi para aktivis perempuan Indonesia. Seorang legislator menonton film porno ketika sidang sedang berlangsung adalah bentuk kekerasan seksual simbolik, karena menempatkan perempuan sebagai objek seksual yang menjadi tontonan umum.
Kasus Harvey bukan yang pertama. Pada 2011 seorang legislator, Arifinto, dari PKS ketahuan mengakses film porno di tabletnya ketika sedang bersidang. Seorang fotografer memergoki hal itu lalu menjepretnya. Arifinto berkilah ia hanya sebentar membuka link kiriman seseorang itu.
Sehari setelah kasus itu muncul di pemberitaan media Arifinto mengadakan jumpa pers dan menyatakan mundur dari keanggotaan DPR. Arifinto yang menjadi pengurus senior PKS juga menyatakan mundur dari keanggotaan partai.
Bukan itu saja. PKS secara terbuka meminta Arifinto juga melakukan taubat nasuha, dengan membaca istighfar minimal 100 kali selama 40 hari, dan membaca Alquran minimal satu kali khatam dalam jangka 30 hari.
Arifinto juga diharuskan bersedekah kepada 60 orang fakir miskin, meminta tausiah kepada ketua Dewan Syari’ah Pusat selaku Mufti PKS, dan meminta maaf kepada seluruh kader, simpatisan, konstituen dan anggota DPR RI serta masyarakat.
Standar moral PKS tentu tidak bisa disamakan dengan standar yang ada di PDIP. Masing-masing orang punya standar moral yang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Bagi PKS, kesalahan menonton film porno adalah pelanggaran moral yang sangat serius. Tapi, bagi PDIP menonton bokep saat sidang urusan rakyat adalah hal yang manusiawi.
Filusuf Jerman Immanuel Kant mengatakan bahwa dalam standar moral ada ‘’kategori imperatif.’’ Bahwa moralitas adalah hal keyakinan dan sikap batin. Bukan sekadar masalah penyesuaian dengan aturan formal dari luar, baik itu aturan hukum negara, agama, maupun adat istiadat.
Dewan Kehormatan DPR mungkin saja membebaskan Harvery Malaiholo. Tapi, publik lah yang akan menjadi hakim yang adil bagi kasus ini. Publik akan melihat seberapa tinggi standar moral PDIP sebagai ‘’the ruling party’’, partai pemenang dan partai penguasa. (*)