MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Terdapat hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) seseorang dengan kemampuannya untuk melakukan High Quality Cardiopulmonary Resuscitation (HQ-CPR). Demikian hasil penelitian yang dilakukan oleh Dosen Institut Teknologi Sains dan Kesehatan (ITSK) RS. dr. Soepraoen, Ns. Riki Ristanto, M.Kep.
Kaprodi Keperawatan tersebut melakukan penelitian tentang hubungan IMT seseorang dengan kualitas CPR yang dilakukan. CPR sendiri adalah Resusitasi Jantung Paru-paru (RJP). Merupakan tindakan pertolongan pertama Bantuan Hidup Dasar (BHD) pada orang yang mengalami henti jantung karena sebab-sebab tertentu.
CPR bertujuan untuk mempertahankan aliran darah ke otak dan organ lainya dengan melakukan teknik pemijatan atau penekanan pada dada. Tindakan ini sangat dibutuhkan bagi orang yang mengalami henti jantung akibat berbagai penyebab, diantaranya tenggelam, terkena serangan jantung, sesak napas karena syok akibat kecelakaan, terjatuh, dan sebagainya.
Riki menjelaskan kemampuan melakukan HQ-CPR saat melakukan pertolongan korban tidak sadar merupakan hal penting untuk mengoptimalkan upaya pertolongan.
Namun, untuk mencapai HQ-CPR banyak faktor yang berkontribusi diantaranya adalah index massa tubuh penolong. “Hasil penelitian ini akan mampu memberikan rekomendasi syarat penolong CPR agar mencapai HQ-CPR,” katanya.
Dia melakukan penelitian mulai Bulan Februari 2022 hingga Juni 2022, dengan mendapat support dana dari BPPM ITSK RS Dr. Soepraoen Malang. Penelitiannya sendiri dilaksanakan di Prodi Keperawatan. “Target penelitian ini adalah mengetahui korelasi IMT terhadap kemampuan seseorang melakukan HQ-CPR,” terangnya.
Hasil penelitiannya ini juga berarah pada jurnal ilmiah nasional terakreditasi pada bulan November 2022. Adapun rencana luarannya berupa buku monograf, purwarupa atau lainnya.
Riki menerangkan penelitiannya tersebut adalah penelitian dengan desain korelasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa keperawatan ITSK RS Dr. Soepraoen semester 6 yang mengikuti pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) tahun 2021 yang berjumlah 101 orang.
Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan didapatkan sampel penelitian sejumlah 91 orang. Variabel independen dalam penelitian ini adalah nilai IMT masing-masing penolong CPR.
Variabel dependennya adalah kemampuan melakukan HQ-CPR. Hasil analisis Uji korelasi Kolmogorov-Smirnov didapatkan p-value= 0.000. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara IMT seseorang dengan kemampuan seseorang untuk melakukan HQ-CPR.
Variabel antropometri berdampak pada kualitas CPR. Termasuk berat badan, tinggi badan, kebugaran fisik dan kekuatan otot. Antropometri variabel mempengaruhi kedalaman kompresi dada. “Tujuan kami adalah untuk membandingkan data yang dapat berdampak pada kualitas CPR berdasarkan parameter IMT dengan menggunakan manikin,” kata dia.
Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian adalah bahwa kemampuan seseorang untuk melakukan HQ-CPR berkaitan dengan Indeks Massa Tubuh orang tersebut. “Seseorang dengan IMT normal dan kurus ringan lebih banyak dapat melakukan HQ-CPR dibandingkan responden yang memiliki IMT kategori obesitas ringan dan berat maupun responden dengan BMI kurus berat,” terang Riki.
Pelaku CPR dengan IMT normal memiliki kecenderungan untuk dapat mempertahankan HQ-CPR dalam dua menit pertama saat melakukan CPR. Indeks Massa Tubuh seseorang mempengaruhi kebugaran dan kelelahan seseorang. “Seseorang dengan IMT yang ideal, cenderung mampu mempertahankan ketahanan lebih baik karena fungsi dari berbagai organ terutama fungsi jantung dan respirasi memiliki kekuatan lebih baik,” pungkasnya. (imm)