Di tengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi, manusia dihadapkan pada perubahan gaya hidup yang sangat cepat. Kehadiran era digital membawa banyak manfaat. Seperti kemudahan dalam mengakses informasi, efisiensi komunikasi, dan percepatan dalam berbagai sektor kehidupan. Namun di balik kemajuan, muncul tantangan serius terhadap nilai-nilai karakter, terutama di kalangan generasi muda.
Pada titik inilah, semangat hijrah perlu dimaknai ulang dengan konsep “Hijrah Digital.” Bukan hanya sebagai peristiwa historis atau simbolik, melainkan sebagai proses perpindahan menuju kebaikan untuk menanam dan menjaga nilai-nilai karakter dalam lanskap kehidupan modern yang serba digital.
Hijrah secara etimologis berasal dari bahasa Arab hajara yang berarti “meninggalkan” atau “berpindah.” Dalam konteks sejarah Islam, hijrah merujuk pada perpindahan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah untuk menyelamatkan akidah dan membangun peradaban yang lebih baik, beradab dan berkarakter kuat.
Di era digital, hijrah tidak lagi dimaknai secara fisik. Tetapi lebih kepada transformasi diri, dari kondisi yang buruk menuju yang lebih baik, termasuk dalam penggunaan teknologi. Menurut Quraish Shihab, hijrah kontemporer dapat diartikan sebagai perpindahan moral dan spiritual. Yakni peningkatan kualitas diri melalui perubahan perilaku yang positif sesuai nilai-nilai Islam.
Sayangnya, kemajuan teknologi yang seharusnya menjadi alat untuk memperkuat nilai dan karakter justru sering menjadi sumber kemunduran moral. Penyebaran hoaks, ujaran kebencian, kecanduan media sosial, serta minimnya etika digital menunjukkan bahwa tanpa pondasi karakter yang kuat, teknologi bisa menjadi senjata yang merusak.
Menurut penelitian oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, lebih dari 60 persen anak muda Indonesia menghabiskan lebih dari 5 jam per hari di internet. Penggunaan yang tidak bijak dapat merusak nilai-nilai dasar. Seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan integritas. Maka, hijrah digital hadir sebagai bentuk kesadaran untuk memanfaatkan teknologi dengan nilai-nilai luhur.
Oleh karena itu, hijrah digital bukan berarti menolak teknologi, melainkan menggunakannya dengan cara yang benar dan bernilai. Ini berarti menanamkan prinsip-prinsip Islam dan moral universal ke dalam kehidupan digital sehari-hari. Hijrah digital adalah seruan untuk berani meninggalkan kebiasaan digital yang merusak dan menggantinya dengan kebiasaan yang membangun.
Generasi muda saat ini — dikenal sebagai generasi Z dan generasi Alpha — adalah generasi digital asli (digital native). Sejak kecil mereka telah terbiasa dengan gawai, internet, dan media sosial. Meskipun ini memberi mereka akses luar biasa terhadap informasi, keterampilan, dan jejaring. Mereka juga rentan terhadap krisis karakter jika tidak dibekali dengan nilai-nilai yang kuat.
Pendidikan karakter menjadi aspek krusial dalam menghadapi tantangan ini. Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan karakter harus mencakup kesadaran moral, tindakan etis, dan tanggung jawab sosial. Nilai-nilai dalam pendidikan karakter telah dilakukan dan ditanamkan dengan baik di SMP Islam Sabilillah kepada peserta didik. Terlebih saat ini telah mendekati Tahun Ajaran Baru 2025-2026 terdapat salah satu program yakni MBK (Masa Pembentukan Karakter) & MPK (Masa Penguatan Karakter) yang dilakukan selama 1-2 minggu. Dalam kegiatan tersebut memuat nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, kesopanan dalam bertindak dan berucap. Baik itu ucapan secara langsung maupun ucapan berupa tulisan di media sosial. Serta keteguhan prinsip yang dari karakter tersebut akan menjadi pondasi utama dalam membentuk identitas digital generasi muda.
Hijrah digital menuntut individu untuk cerdas dan selektif dalam menggunakan teknologi. Hal ini dapat diwujudkan dalam penggunaan media sosial yang tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga sebagai media dakwah, edukasi, dan pengembangan diri. Contoh nyata adalah di SMP Islam Sabilillah.
Ketika di beberapa momennya dalam pembuatan konten mengajak peserta didik untuk membuat konten. Seperti dakwah, adab Islami, cinta terhadap Al-Qur’an di platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram. Tujuannya ujuan agar menjadi role model bagi teman-teman mereka dalam menyebarkan konten yang membangun.
Momentum bulan Muharram, sebagai awal tahun baru Hijriyah, bisa menjadi momen refleksi bagi setiap individu, khususnya generasi muda dan pendidik untuk melakukan hijrah digital. Kita diingatkan kembali bahwa perubahan besar dimulai dari niat dan langkah kecil yang konsisten.
Hijrah digital bukan tugas ringan, karena kita berhadapan dengan sistem algoritma yang sering kali memperkuat keburukan, ketergantungan, dan polarisasi. Namun, dengan bekal nilai-nilai karakter yang kuat, serta kesadaran kolektif dari keluarga, sekolah, dan masyarakat, kita bisa menciptakan generasi yang bukan hanya melek teknologi, tapi juga tangguh secara moral.
Selain itu hijrah digital juga merupakan gerakan kesadaran untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam kehidupan digital. Bukan sekadar perpindahan gaya hidup, tetapi proses mendalam menuju pribadi yang lebih baik dalam menghadapi tantangan zaman. Dengan menanamkan nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan etika digital, kita tidak hanya menjadi pengguna teknologi yang cerdas, tetapi juga manusia yang bermartabat.
Mengutip dari Ali bin Abi Thalib, “Nilai seseorang tergantung pada apa yang dikerjakannya dengan baik.” Maka, di era digital ini, mari berhijrah dengan menjadikan teknologi sebagai sarana menanam kebaikan dan membentuk karakter yang unggul. Serta menjadikan teknologi sebagai sahabat dalam membentuk karakter, bukan lawan yang menghancurkan nilai. Karena di zaman modern ini, hijrah tidak hanya menuju tempat yang lebih baik, tapi juga menuju diri yang lebih bernilai.(*)