MALANG POSCO MEDIA-PBM tak sekadar pasar terbesar sekaligus pusat perputaran ekonomi di Malang Raya. PBM bernilai hostri. Bahkan menjadi salah satu penanda modernisasi Kota Malang di masa era kolonialisme. Bahkan hampir bersamaan dengan berkembangnya Kota Malang.
Sejarawan dari Universitas Negeri Malang (UM) Dr R Reza Hudiyanto MHum mengatakan, awal perkembangannya PBM yang dulu disebut sebagai Pasar Sentral mengubah seluruh konsep pasar rakyat yang ada saat itu.
“Pasar dulu tidak permanen. Orang dulu mengenal lima pasar. Yaitu Pasar Legi, Pasar Wage, Pasar Kliwon, Pasar Paing dan Pasar Pon. Jadi pasar-pasar yang bergilir adaya dari hari ke hari. Makanya dulu pasar tidak pernah besar karena tidak ada investasi,” kata Reza.
“Nah masuklah konsep kapitalisasi modern (Belanda) yang akhirnya membentuk konsep pasar baru,” sambungnya.
Era kolonial Belanda mulai membuat konsep pembangunan pasar yang permanen atau tersentral pada tahun 1913. Artinya setahun sebelum Kota Malang berstatus gemente.
Saat itu tempat yang disiapkan memang dipilih di kawasan Pecinan yang sudah terlihat berkembang. Juga memilki pasar kampung sendiri yang cukup padat pengunjungnya.
Mulai tahun 1914 konsep pasar sentral direalisasikan dan ditata. Pembangunan lebih terlihat jelas saat konstruksi menara ganda (double tower) dibangun pada tahun 1919.
“Saat itu juga konstruksi pasar mulai menggunakan bahan material beton. Beton dianggap lebih bersih. Karena sebelumnya kan alas tanah saja terkesan kotor. Sejalan dengan itu los dan bedak pun dibangun agar lebih tertata,” jelas Reza.
Tahun 1921 pasar sentral sudah berdiri dengan 17 los besar dan dua los kecil dan beberapa los daging. Pembangunan kemudian terus berlanjut dan berkembang hingga tahun 1941.
Berkembang terus hingga los atau bedak mencapai kurang lebih 20 unit. Saat itu juga sudah dikenal sistem sewa los bedak. Harganya mulai 110 hingga 151 gulden.
“Saat masa pembangunan Pasar Sentral itu dibangun pula pasar-pasar pembantu. Di daerah Bunul, Oro-Oro Dowo, Klojen, sampai Embong Brantas. Sekarang kita kenal dengan Pasar Bunul, Pasar Klojen, Pasar Kebalen dan Pasar Oro-Oro Dowo,” papar dosen Fakultas Ilmu Sejarah UM ini.
Dari situlah kemudian tumbuh dan berkembang konsep pasar permanen. Pasar sentral tersebut kini dikenal sebagai Pasar Besar Malang (PBM).
Meski begitu Reza menjelaskan ada satu identitas Pasar Besar yang kini sudah tak tampak. Yakni konstruksi menara ganda di depan pasar. Menurutnya ada dua bangunan menara yang terbangun di kawasan PBM. Akan tetapi tidak diketahui jelas mengapa dua bangunan menara ini sudah tidak lagi ada.
“Lalu di menara itu ada juga jam di atasnya. Nah jam itu juga jadi penanda sistem baru di kalangan masyarakat. Jadi jam digunakan sebagai penanda atau pengingat masyarakat pasar seperti jamnya angkut barang, jam bongkar muatan. Jam itu menandakan adanya sistem mekanisme 24 jam yang dulunya belum dikenal,” paparnya.
Dalam penelitian Reza, kejadian kriminalitas kerap terjadi. Seperti pencurian barang dagangan hingga copet berkembang di kawasan pasar.
Apapun itu, Reza menegaskan PBM memiliki nilai sejarah penting. Konsep modernisasi dan berkembangnya pola hidup lebih higenis berkembang.
“Kalau memang ini akan direvitalisasi, bisa lah mengembalikan identitasnya yang hilang. Menara Ganda ini bisa dibuatkan lagi replikanya. Agar orang tahu dulu ada dua menara di situ. Itu jadi ikon PBM. Sudah ada sejak dulu,” pungkas Reza. (ica/van)