MALANG- Julianto Ekaputra, pendiri Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu sudah divonis 12 tahun penjara oleh majelis hakim dalam sidang di PN Malang. Dia bersama tim penasihat hukumnya memutuskan melakukan banding, terlebih dia belum bisa disebut bersalah karena ada tahapan banding pasca vonis.
“Kami menghormati keputusan majelis hakim. Tapi selama belum ada putusan banding hingga tingkat MA, klien kami tidak bersalah. Permohonan banding sudah kami lakukan,” ujar advokat Hotma Sitompul, SH, penasihat hukum Julianto usai sidang, Rabu (7/9) siang.
Dia berpesan siapapun jangan sampai menuduh kliennya bersalah atau mempengaruhi opini publik atas putusan ditingkat PN Malang. “Karena kita banding, maka putusan PN tidak punya kekuatan hukum tetap. Ada 10 saksi yang kami hadirkan, tapi dikesampingkan,” tegasnya.
Menurut Hotma, pertimbangan yang masuk akal akan dilampirkan melalui memori banding. Di tempat yang sama, Jeffry Simatupang, SH, penasihat hukum Julianto menegaskan ada 10 poin kejanggalan selama kasus SPI baik sejak pertama, SDS, korbannya melapor hingga sidang putusan.
“Pertama, kasus tersebut dilaporkan setelah 12 tahun berlalu. Selama pelapor masih ada di SPI kenapa kok tidak kejadian ini,” keluhnya. Kedua tidak ada bukti nyata dalam persidangan. Sejauh ini sekedar cerita, apalagi para saksi menyatakan kejadian yang dituduhkan tak pernah terjadi.
“Ketiga, pelapor terlihat bahagia selama sekolah dan bekerja. Poin keempat, pelapor justru banyak merekomendasikan temannya masuk ke SPI,” ujarnya. Kelima, para korban yang katanya puluhan orang, terus berkurang dan hanya menyisakan hingga akhirnya hanya satu orang.
Lalu, keenam, pelapor melamar kerja ke SPI selepas lulus sekolah. “Pelapor bahkan bekerja di SPI selama 10 tahun. Itu kan cukup aneh, karena korban sebelumnya mengaku menjadi korban saat masih menjadi pelajar di SMA SPI,” tuturnya.
Ketujuh visum keperawanan yang menjadi barang bukti. Pasalnya, dua pekan sebelum pelaporan, pelapor dan pacarnya menginap di hotel secara berpindah-pindah. Kedelapan ialah SPI memberikan kebebasan kepada para pelajarnya untuk keluar dan pulang ke rumah.
“Padahal sebetulnya sangat mudah sekali untuk kabur dari SPI, namun hal itu tidak pernah terjadi. Apalagi SPI adalah lembaga pendidikan yang terpandang di Kota Batu. Banyak kegiatan kelembagaan yang berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk diantaranya adalah lembaga penegak hukum,” urainya.
Terakhir, Jeffry menyebut bahwa pelapor telah menjalin hubungan asmara dengan pacarnya sejak Tahun 2014. “Sampai waktu pelaporan, keduanya masih bekerja di SPI. Mereka juga tidak kabur waktu itu, sehingga menunjukkan kalau pelecehan itu tidak terjadi,” pungkasnya. (mar)