Satu fenomena dalam dunia dakwah ialah adanya humor di antara pesan yang disampaikan oleh pendakwah. Humor dalam dakwah, entah itu yang disiarkan di media elektronik seperti televisi, radio, Youtube maupun tabligh yang berhadapan langsung dengan jamaah dalam bentuk pengajian majelis taklim atau peringatan hari-hari besar Islam, layak diapresiasi.
Bahkan, humor dalam dakwah menempati posisi yang penting. Materi dakwah yang semula sulit dicerna menjadi mudah dipahami. Selain dapat mencairkan suasana, humor juga bisa digunakan sebagai sarana edukasi jamaah atau sebagai alat kritik terhadap ketimpangan yang terjadi di masyarakat dengan tanpa kehilangan karakter dasarnya yang halus dan tidak provokatif.
Humor dalam artikel yang sederhana ini diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan perasaan pendengarnya merasa tergelitik sehingga terdorong untuk tertawa. Humor dalam dakwah hanyalah strategi untuk menyedot perhatian dari orang-orang yang didakwahi.
Karena itu, pendakwah senyatanya memiliki keterampilan secara teknis dan dituntut semakin kreatif dalam menyampaikan dakwah demi mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan umat. Tentu, upaya kreatif tersebut disesuaikan dengan kebutuhan sasaran dakwah dan dikreasikan sedemikian rupa dalam melancarkan beberapa humor segar dalam pesan dakwah.
Penggunaan humor dalam dakwah senyantanya sekadar untuk membuat suasana jamaah menjadi ceria dan bersemangat menyimak pesan-pesan dakwah. Humor dalam ceramah ibarat bumbu dalam masakan.
Tidak bijak kiranya bila pendakwah terlalu berlebihan dalam penyampaian humor sehingga yang diingat hanya humornya. Jangan sampai penggunaan humor menjadikan pesan utama dakwah tertutup dan mengesankan pendakwahnya seperti pelawak.
Dengan kata lain, tersebab humor hanya diperuntukkan menggairahkan semangat jamaah, ada baiknya humor yang disampaikan dikemas secara halus, tidak terlalu banyak guyon, atau jangan sampai keluar dari koridor etika dakwah. Toh, humor dibutuhkan hanya sebatas selingan di antara pesan-pesan ajaran agama sebagai inti materi dakwah.
Sebaliknya, sebuah kajian dakwah akan berubah menjadi arena tawa ria jika seorang pendakwah lebih suka ngebanyol ketimbang menyampaikan materi-materi keagamaan. Kenyataannya, banyak pendakwah yang kondang dengan dagelannya lebih banyak “diminati” daripada pendakwah yang konsisten menyampaikan ilmu agama tanpa guyonan. Sebagian pendakwah bahkan sampai kebanjiran “order” mengisi acara dakwah karena popularitasnya sebagian pendakwah ndagel.
Ironisnya, belakangan banyak pendakwah yang di-ustadz-kan oleh jamaah dengan hanya bermodal pandai bercerita ngalor-ngidul dan melawak. “Ceramahnya bagus, seru, nggak bikin ngantuk, ustadznya lucu sih, pinter berkelakar.” Begitu kesan sebagian jamaah. Tetapi jika mereka ditanya, “tadi dapat pelajaran apa dari ceramahnya?” Jawabnya, “ya, apa ya? Entahlah!”
Menjadi tidak lucu ketika ada sebagian pendakwah yang melakukan aksi-aksi akrobatik di depan jamaah. Misalnya, ada seorang da’i yang nangkring di atas mimbar, ada pula pendakwah yang muter-muter dan guling-guling seperti pemain sirkus saat berceramah, dan ada juga pendakwah laki-laki yang berdandan ala perempuan.
Sikap dan model pendakwah semacam itu tentu mengundang komentar miring dari banyak kalangan karena telah meruntuhkan muruah pendakwah-pendakwah lainnya yang tetap konsisten menjaga karakteristik ulama sebagai pewaris ajaran nabi.
Majelis dakwah bukanlah pentas dagelan. Jika ada cerita lucu yang sarat dengan ilmu, banyak hikmah yang dapat diambil, itu tak ada masalah. Majelis dakwah bukan panggung lawak, seorang pendakwah adalah ahli ilmu agama, bukan pelawak. Majelis dakwah adalah majelis untuk membahas kalamullah dan ucapan Rasul-Nya, membicarakan hukum halal haram yang telah ditetapkan oleh syariat.
Ada baiknya seoang pendakwah memerhatikan empat standar etis ketika ingin menggunakan humor dalam berdakwah. Pertama, humor yang disampaikan masih dalam kadar yang diperlukan, seperti untuk memberikan gairah pada jamaah yang sudah mulai lesu dan bosan.
Kedua, isi humor yang disampaikan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, tidak memojokkan maupun menghina satu suku atau etnis tertentu, serta tidak menimbulkan dampak perpecahan di masyarakat. Ketiga, konten humor tetap bernuansa pesan yang ada hikmah dan pelajaran yang mendukung materi dakwah.
Bagaimanapun, humor yang diselipkan dalam dakwah sejatinya memiliki kandungan pesan yang mendidik dan membawa misi pencerahan. Humor tidak hanya membawa misi rekreatif, tetapi juga membawa misi edukatif. Humor yang pas dan pantas niscaya akan memiliki efek yang kuat dalam menanamkan dimensi kognitif jamaah untuk melakukan perubahan mindset ke arah yang lebih baik, cerdas, dan berkemajuan.
Kenyataan bahwa humor dapat menjadi penarik perhatian jamaah, maka seorang pendakwah penting memerhatikan batasan-batasan humor yang cocok disampaikan. Humor dalam dakwah diperbolehkan selama dalam koridor kesopanan, keimanan, tidak mengandung bahaya, tidak terjerumus dalam perbuatan yang sia-sia.
Humor dalam dakwah bisa bermasalah jika porsinya terlalu berlebihan. Tatkala porsi humor melebihi porsi inti dakwahnya, jamaah justru akan lebih fokus pada humor yang disampaikan oleh sang pendakwah. Tidak jarang ada pendakwah dalam dakwahnya sama sekali tidak menyinggung pesan dakwah yang dari awal direncanakan.
Sebagian pendakwah terkadang juga lepas kontrol ketika berhumor sehingga pesan dakwah yang seharusnya dapat terserap melalui humor-humor tersebut, tidak tersampaikan dengan baik. Kehadiran pendakwah yang semestinya dapat mengatasi problem keberagamaan umat, malah menjadi bagian dari problematika umat.(*)
-Advertisement-.