Malang Posco Media – Setiap tanggal 21 Maret, warga dunia memeringati hari Hutan se-Dunia dan disusul Peringatan Hari Air se-Dunia pada 22 Maret. Dari kedua hari tersebut, para pengambil kebijakan dan para pegiat lingkungan memberi perhatian “lebih” pada hutan dan air.
Nah, membicarakan kedua unsur alam tersebut sama artinya membincangkan karakter Kota Batu karena kota ini kaya akan sumber daya tersebut. RJMD tahun 2017- 2022, menyatakan hutan di Kota Batu meliputi hutan lindung sebesar 3.563,30 Ha (17,9%), kawasan Taman Hutan Raya Raden Suryo 5.342,50 Ha (26,84%), Ruang Terbuka Hijau 1.777,70 Ha (8,93%), kawasan hutan produksi 2.521,70 Ha (12,67%), dan kawasan pertanian 4.018 Ha (20,19%).
Tidak heran di tengah menjamurnya lingkungan buatan manusia (human made environment), akronim wana, tirta dan giri masih tepat menggambarkan kekhasan kota ini. Wana menjelaskan hutan yang selain ia sebagai lahan penyangga konservasi, juga dimanfaatkan untuk tempat bercocok tanam dan pariwisata. Sedangkan tirta menunjuk kepada air baik pada sungai, anak sungai, mata air dan kolam. Jenis-jenis air baik air permukaan maupun air bawah tanah.
Sumber daya air merupakan berkah air bagi warga Kota Batu karena ia dimanfaatkan penduduk untuk kebutuhan domestik, kebutuhan ekonomi dan kebutuhan spiritual. Air untuk kebutuhan domestik merupakan pemenuhan sehari-hari seperti minum, makan dan mandi. Kebutuhan ekonomi yakni pemanfaatan air untuk bercocok tanam dan industri. Ikatan komunitas dengan air merupakan ikatan historis sosiologis secara turun temurun dan melekat dalam artefak-artefak masyarakat.
Sementara itu, giri menunjuk kepada gunung dan bukit yang mengelilingi kota. Gunung-gunung di Kota Batu meliputi: Gunung. Anjasmoro, Kembar, Rawung, Jeruk, Kerubung, Arjuno, Preteng, Penderman, Bokong, Punuk Sapi, Banyak/Kitiran.
Perkembangan berikutnya, kota berkembang dinamis dimana mengundang keterlibatan investor yang kebanyakan bergerak pada sektor pariwisata. Oleh karena itu, lingkungan dan alam tidak lagi menjadi penentu utama. Pembangunan fisik yang identik dengan betonisasi dipilih dan lingkungan alam sekadar background demi mempercantiknya.
Pemerintahan Kota Batu menyadari ancaman krisis dan kerusakan hutan dan air, maka muncul kebijakan pengelolaan lingkungan, di antaranya seperti Perda RTRW peraturan daerah Kota Batu Nomor 7 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu tahun 2010-2030 dan Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 16 Tahun 2011 tentang Perlindungan, Pelestarian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kota Batu.
Dengan kondisi obyektif ekologis seperti di atas, sumber daya hutan dan air harus mendapat perlakuan berbeda karena ia menyimpan air tanah, hutan menjaga kesejukan kota dan kini hutan juga memiliki fungsi mitigatif demi melindungi komunitas dari banjir dan tanah longsor.
Namun, kota ini sering menghadapi masalah kuantitas air. Kuantitas menyangkut pasokan air untuk kebutuhan domestik yang berbagi dengan kebutuhan pariwisata.
Ekspansi pembangunan pariwisata, agresifnya pelaku bisnis dan ketidakjelasan kebijakan menjadi penyebab protes lingkungan dan “berpotensi” pada ancaman krisis perkotaan, krisis ekologis, krisis tata kelola, krisis kebijakan dan krisis sosial.
Penguatan Tata Kelola dan Modal Sosial
Kenyataan menyatakan bahwa Kota Batu merupakan kota hutan, kota air dan kota gunung. Karena itu, lingkungan alamiah dan sumber daya alam adalah nyawa masyarakat yang bersentuhan dengan perhutani, pemerintah kota dan komunitas lokal. Penghormatan, selebrasi konservasi dan penyelamatan keduanya harus mendapat prioritas utama.
Penyelamatan lingkugan bisa menerapkan pengelolaan sumber daya alam terpadu (integrated natural resource management) yang diperkuat dengan perbaikan tata kelola lingkungan lokal (local environmental governance) dan kontribusi modal sosial (social capital).
Tata kelola mendorong penegakan hukum lingkungan oleh negara. Lingkungan akan terganggu oleh pemanfaatan sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab. Sekalipun perizinan sudah dibuat seideal mungkin penegakan aturan sering terbentur relasi ekonomi dan politik. Misalnya, jika daerah tertentu sudah ditetapkan sebagai wilayah konservasi, maka dengan pertimbangan apapun seharusnya tidak boleh diubah.
Substansi tata kelola tidak menyandarkan kekuatan sentral pada pemerintah, tetapi jalinan antara stakeholders pengelola sumber daya alam dan konservasi lingkungan. Jalinan interaksi tidak boleh dikonotasikan bahwa semua aktor/pemangku kepentingan mengikuti kata pemerintah.
Jika pemerintah serius dalam konservasi, maka bolehlah kerja sama, tetapi jika melenceng maka harus dikritisi. Di sinilah kerja sama seimbang dengan check and balance. Kasus gerakan konservasi Gemulo (2016) dan Protes air di Alas Kasinan (2020) merupakan contoh peran masyarakat sipil dan organisasi berbasis komunitas .
Sementara itu modal sosial dimanfaatkan untuk memperkuat (bonding), menghubungkan (bridging) dan menghubungkan (linking) antar aktor konservasi. Studi penulis tentang HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) menjelaskan besarnya peran modal sosial di Kota Batu. Ia membangun kohesi warga di internal desa, antar desa dan relasi warga dengan pemerintah. Model pengelolaan air di kota ini sejatinya menyaratkan tata kelola lingkungan lokal dan kontribusi modal sosial. Di sinilah, selain pemerintah desa memerankan sebagai fasilitator dengan back up partisipasi komunitas peduli lingkungan.
Sayangnya kontinuitas tata kelola sosial menjadi batu sandungan konservasi. Banyak program dan gerakan komunitas yang dilaunching secara glamour, tetapi akhirnya kandas. Maka, basis ideologis dari tata kelola dan modal sosial perlu ditata. Kejujuran menjadi basis ideologis yang paling penting.
Tidak ada lobi dan “perselingkuhan” pengusaha dan penguasa. Selain itu, pembelajaran “sosial dimana antarstakeholders terbuka saling kerja sama. Pembelajaran ini nilai-nilai asli Batu yang terlembaga di organisasi komunitas.
Yang tidak boleh dilupakan, harus komitmen diposisikan sebagai penguat. Komitmen akan melahirkan penegakan hukum dan pengerahan sumber daya untuk konservasi. Keberhasilan memanfaatkan komitmen sebagai basis dan pengerahan sumber daya sebagai fasilitas akan menjadi jurus penyelamatan hutan dan air di Kota Batu.(*)