TIGA tahun bukan usia yang terlalu muda dan hijau untuk memiliki mimpi besar. Khususnya, dalam mengawal dan menyelamatkan masa depan demokrasi. Demokrasi dan media saling bersinggungan. Aras perjumpaan keduanya pada kemerdekaan berekspresi. Titik temu tersebut bahkan disebut dan mendapatkan ruang khusus dalam Undang-Undang Dasar 1945 di pasal 28.
Kendati praktiknya tidak mudah. Demokrasi dan media, kasus di Indonesia, dalam realitas empirisnya pernah mengalami awan gelap dan tergelincir dari cita-cita kemerdekaan. Tatkala demokrasi ekonomi, kesejahteraan dan keadilan sosial makin lebar. Ketimpangan sosial yang ditunjukkan dalam rasio kini kian bertambah dan meningkat. Belum lagi, makin leluasanya para kelompok warga kaya, yang mampu dan bisa menguasai asset lebih dari 50 persen dari total asset nasional.
Tergelincirnya demokrasi dan media, akibat dan berujungnya kebebasan bereskspresi menjadi terhambat. Tidak jarang, statistik berekspresi harus dipaksa masuk dalam level negatif.
Tatkala interaksi demokrasi dan media mengalami kebuntuan dan berada di level negatif, praktik demokrasi liberal diadopsi habis tanpa melihat kondisi riil masyarakat yang masih berada di tahapan agraris menuju industri level awal, tingkat buta huruf masih tinggi buta, partisipasi pendidikan belum massif dan sejumlah masalah lainnya yang masih mendera.
Keinginan revolusi industri di Indonesia dalam awal perjalanannya berakibat terjadinya konflik ideologi yang cukup kritis. Konsekuensi logis, yang mesti diterima dan dihadapi secara kolektif, adalah hadir dan lahirnya sejumlah media massa pasca liberalisasi demokrasi dan kini ditandakan adanya media digital sebagai hasil teknologi dan kebudayaan luar, masuk tanpa tersaring dengan baik. Selain itu, makin langkanya sumber daya manusia yang berkualitas dan mumpuni yang bisa menjadi sosok pendobrak di dunia demokrasi dan media.
Media massa pada dasarnya berfungsi untuk sebuah agen stabilitas serta agen pembaharu dalam semua aspek, karena tujuan media sendiri adalah menjadi media penyeimbang serta memberikan pengaruh terhadap publik atas informasi yang disebarkan. Oleh sebab itu, sebuah media massa pasti mempunyai sebuah ideologi yang mendasarinya, agar sistem yang diterapkan sebuah media tercapai sesuai dengan tujuan serta arah yang dibuat sebelumnya. Ideologi media sendiri terbentuk karena bertujuan untuk menjadi cermin dan refleksi sebuah realitas media terhadap publik.
Undang-Undang Pers Tahun 1966 dan Tahun 1982, berusaha mempribumikan pers (media) Indonesia dalam sistem Demokrasi Pancasila dengan paradigma bebas dan bertanggung jawab serta positif, pemerintah, pers, dan masyarakat (1982-1999). Kontrol pemerintah terhadap pers, dilakukan melalui SIT (1966-1982) dan SIUPP (1982-1999).
Kemudian SIUPP itu hilang dalam Undang-Undang Pers 1999 yang bernuansa Media Libertarian abad ke-18 dan 19 di Eropa dan Amerika. Kontrol terhadap pers (media berita) dilakukan oleh pemodal (konglomerat) yang membentuk grup media, dalam sistem Demokrasi Indonesia Baru era reformasi.
Grup itu merupakan bentuk monopoli media yang mampu mendominasi informasi dan opini publik yang dapat merusak demokrasi dan kebebasan berekspresi. Media Libertarian yang disebut kebebasan negatif itu, sudah ditinggalkan penganutnya di barat sejak tahun 1947, dengan menciptakan sistem baru, yaitu: Media Tanggung Jawab Sosial (1947) dan Media Demokratik Partisipan (1980), yang disebut kebebasan positif.
Terlepas dari pasang surutnya keterkaitan demokrasi dan media, imbas kemajuan teknologi komunikasi, media massa dan kini diikuti media digital termasuk media sosial mengalami kemajuan pesat yang tak diduga sebelumnya.
Fenomena menarik yang tak bisa diabaikan yakni lahirnya perilaku hausnya informasi yang dilakukan masyarakat. Baik secara personal maupun komunal. Perkembangan media tersebut lebih banyak dipicu oleh banyaknya kebutuhan akan informasi yang cepat akurat dan dapat di percaya.
Dalam perkembangan budaya dan teknologi tidak terlepas dari media yang ada. Bahkan media baik media massa maupun media sosial sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan budaya manusia saat ini. Tiap orang sangat membutuhkan media. Informasi yang dari ada di media menjadi kebutuhan pokok bagi individu, masyarakat, organisasi bahkan budaya suatu daerah.
Sebagai the fourth state, pers memiliki dan menjalankan kekuasaan publik tanpa mengubah statusnya sebagai pranata sosial (social institution), yang menjalankan fungsi untuk kepentingan publik (orang banyak) seperti menyampaikan dan menyebarkan informasi, membangun saling pengertian dan harmonisasi publik (Manan, 2013: v-vi).
Media seharusnya mampu menjadi kekuatan kontrol atas proses politik yang berlangsung dan tidak terjebak menjadi corong kepentingan kekuatan elit politik serta mengabaikan fungsi media. Sehingga Jurnalisme politik seharusnya dalam pemilu dapat menghindari jurnalisme propaganda dan atau jurnalisme borjuis serta jurnalisme yang menghamba kepada kepentingan politisi dan pemodal kapitalis untuk aktivitas tawar-menawar politik demi menjaga keberlangsungan bisnis atau karir politiknya.
Relasi antara media dengan ranah politik adalah relasi yang dilematis. Hal ini dikarenakan sikap pemberitaan media yang tidak sepenuhnya netral dari intervensi politik maupun patronase kapital. Tentunya ini sesuatu yang paradoksal mengingat media merupakan pilar keempat dalam demokrasi setelah lembaga trias politika. Media seharusnya berperan sebagai anjing pengawas (watchdog) dalam kekuasaan sehingga terciptalah check and balances dalam negara dan masyarakat. Pengawasan media tersebut terkait dengan fungsi sentralnya sebagai korelasi sosial (social correlations) memandu publik dalam menerjemahkan berbagai realitas hiruk-pikuk kehidupan berbangsa dan bernegara ke dalam konsumsi informasi baik cetak dan elektronik.
Maka, media di sini berkuasa atas pengetahuan publik melalui framing teks dan gambar sehingga menjadi rujukan utama publik dalam membentuk opini mereka terhadap jalannya pemerintahan. Informasi menjadi kata kunci yang menautkan relasi media dengan politik melalui pembentukan opini publik atas pemberitaan tersebut.
Secara konseptual, kebebasan media memang diposisikan sebagai fourth estate dimana media adalah pilar demokrasi setelah lembaga trias politika yang berperan mengawasi dan jalannya pemerintahan. Namun secara realita, batas antara politik dan media sangatlah tipis bahkan imajiner karena kedua ranah ini berperan besar dalam melakukan politisasi satu sama lain.
Dalam memberitakan sebuah informasi politik, terdapat tiga kecenderungan ideologis yang dimiliki media yakni 1) sikap konservatif atau pro status quo, 2) sikap progresif, pemberitaan media diarahkan kepada perubahan rezim atau melakukan reformasi dan restorasi terhadap rezim sekarang dengan menampilkan sosok transformatif yang dinilai bisa memimpin rezim perubahan tersebut. 3) sikap skeptis dan apatis. (Sularto, 2011:310)
Ketiga model tersebut sebenarnya mencerminkan relasi media dalam sistem demokrasi yang sifatnya masih transisional. Dalam nuansa demokrasi transisi tersebut, media memang akan menampilkan dirinya sebagai agregator terhadap euforia demokrasi yang berkembang dalam masyarakat maupun sebagai resistor karena ingin mengangkat romantisme rezim terdahulu. Posisi media dalam model pembangunan demokrasi memang menjadi penting karena media menjadi tolok ukur kesuksesan transisi dari otoritarian menuju demokrasi.
Media yang bebas dan kritis akan dinilai sebagai bagian kesuksesan demokrasi, sedangkan media apatis justru dianggap sebagai bayangan rezim otoritarian.
Kini masyarakat tengah memasuki revolusi media dengan kehadiran internet yang membawa perubahan besar dalam struktur ekonomi dan bisnis media. Kehadiran internet hampir mirip dengan kehadiran televisi di tahun 1950an yang banyak membawa perubahan dalam bidang komunikasi.
Perubahan besar sedang terjadi di dunia jurnalistik terutama dikarenakan proses digitalisasi. Perusahaan media-media konvensional berubah menjadi media digital atau juga sering disebut media siber atau menggunakan media siber sebagai salah satu cara untuk memperluas dan atau mempertahankan kehidupannya di era digital. (Chan, 2014:107).
Pengguna media sosial di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun seiring dengan meluasnya penetrasi internet dan meninggkatnya jumlah pengguna telepon cerdas (smartphones). Menurut penelitian yang dilakukan lembaga We Are Social dan Hootsuite, disebutkan bahwa dari total 274,9 juta penduduk di Indonesia, 170 juta di antaranya telah menggunakan media sosial. Dengan demikian, angka penetrasinya sekitar 61,8 persen. Jumlah Pengguna Internet Indonesia 2021 Tembus 202 juta Angka pengguna aktif media sosial di Indonesia tersebut tumbuh sebesar 10 juta atau sekitar 6,3 persen dibandingkan bulan Januari 2020. Dalam periode yang sama, pengguna internet di Indonesia tumbuh 27 juta atau 15,5 persen menjadi 202,6 juta.
Menurut lembaga We Are Social, lebih dari separuh orang Indonesia sudah dapat mengakses internet dan lebih dari separuh aktif bersosial media. Pelanggan telepon seluler di Indonesia sebesar 400 juta lebih, artinya, warga Indonesia menggunakan dua nomor telepon seluler. Sekitar 120 juta orang Indonesia bersosial media menggunakan telepon seluler. (tekno.kompas.com/24/2/2021).
Di Indonesia, media baru (new media) tumbuh bak cendawan di musim hujan. Dewan Pers mencatat saat ini sekitar 4.500 media baru yang berbasis internet di Indonesia, meskipun yang terdaftar baru sekitar 250 media. Tahun lalu, Dewan Pers mendapatkan ratusan pengaduan yang berkaitan dengan media daring. Sebagian besar permasalahan yang diadukan masyarakat yakni ketiadaan verifikasi dalam berita-berita yang dimuat dalam media daring.
Karena itu, masyarakat memiliki harapan agar media secara benar dan nyata mampu menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi keempat dengan nyata dan benar karena media adalah aktor penting dalam mendorong demokrasi.
Media massa sebagai duta-duta kepercayaan dalam membangun tradisi demokrasi dalam kontestasi politik agar informasi politik yang didapat publik menjadi faktual, akurat dan seimbang. Selamat ulang tahun Malang Posco Media.(*)