Inspiring Ramadan
MALANG POSCO MEDIA – Masa lalu bukan menjadikan penghalang untuk berbuat kebaikan. Justru menjadi pelajaran kehidupan untuk masa depan yang lebih baik. Itulah yang dialami dan dilakukan Abiet Hunter. Dari jalanan, ia kembali ke masyarakat agar bermanfaat.
“Saya sebetulnya sejak tahun 1998 udah bantuin ngajar ngaji di rumah pakde buat anak-anak. Tapi sempat jeda karena saya ada kebutuhan ekonomi jadi saya merantau ke mana-mana,” kata Abiet Hunter membuka ceritanya.
Ia sempat merasakan menjadi buruh kasar, ngamen serta lainnya. Dan akhirnya terjerumus di kehidupan keras jalanan di perantauan. “Lama saya bergelut di jalanan sampai segala macam pahitnya kehidupan saya alami,” kata Abiet.
Ia yang dulu hidup di jalanan dengan berbagai latar kehidupan yang dijalaninya, kini mendedikasikan dirinya untuk mengabdi kepada masyarakat. Ia tergabung dalam program Preman Mengajar dari Republik Gubuk yang didirikan oleh Gus Irul (Fachrul Alamsyah) yang ada di Jabung Kabupaten Malang. Disana ia merasa nyaman, sesuai dengan latar belakangnya.
“Motivasi saya mengajar lagi karena saya kangen di masa-masa saya mengajar ngaji anak-anak kecil yang penuh dengan keceriaan, kesederhanaan dan tentunya membawa manfaat yang luar biasa bagi generasi saya,” ujarnya.
Sasarannya memang anak-anak kecil. Karena menurut dia, anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Selain itu, biasanya ia juga akan merangkul kedua orang tuanya untuk dapat mendukung program belajar dari anak-anaknya.
“Jadi dari situ saya niatkan untuk mengajar lagi. Tapi saya tidak mengajar ngaji lagi karena saya rada malu dengan rekam jejak saya. Jadi saya pilih ngajar sebisanya. Ya seni, ya akhlak dan lain-lain. Dengan arahan Mas Irul saya didorong untuk membuat Gubuk Baca di kampung kami yaitu Gubuk Baca Kampung Treteg. Ini sebagai wadah pergerakan saya dan teman-teman saya” imbuhnya. .
Ia bersama dengan teman-temannya yang lain berkeliling dari desa ke desa untuk menyiarkan program ‘Lali Gadget’ atau ‘Lupa Gadget’. Maksudnya adalah ditujukan kepada anak-anak yang makin banyak kecanduan bermain handphone.
“Di mana sarana kami waktu itu membawa permainan tradisional seperti kelereng, dakon, egrang dan sedikit buku cerita untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari gadget. Kami berbekal seni tari untuk modal keliling kampung dan melakukan pertunjukan kecil untuk memantik anak-anak kecil datang,” jelas Abiet.
Meskipun memiliki niat baik, namun tetap saja, ia bersama dengan teman-teman yang lain masih mendapatkan perlakukan yang kurang baik. Salah satunya karena penampilan yang dianggap seperti preman.
“Kita juga waktu itu ke sekolah-sekolah untuk bergiat. Tapi awalnya kami tidak diterima gara-gara penampilan kami yang sedemikian rupa. Juga di kampung kami tidak jarang mendapatkan pandangan sinis dari warga. Namun karena niat kami tulus, kami tetap melakukannya dengan ikhlas. Demi melihat senyum anak-anak,” ungkapnya.
Selain mengajar, ia juga turut menyiarkan budaya daerah, salah satunya yakni Topeng Jabung.
“Kami berkeliling dari kampung ke kampung, hasilnya alhamdulillah. Dari awalnya tidak ada yang bisa menari topeng sekarang sudah hampir seribu anak sudah bisa nari dan itu tentang topeng Jabung,” tuturnya
Ia berharap generasi muda lebih bisa mengontrol kehidupan mereka dan berusaha menjadi orang yang bermanfaat dimana pun, kapan pun dengan siapapun
“Karena kami ada motto pergerakan ‘Hidup dan Saling Menghidupkan, Gerak dan Saling Menggerakkan’,” tandasnya. (adm/van)