MALANG POSCO MEDIA – Kuliah adalah impian tertinggi setiap orang tua. Di kota maupun di desa, setiap orang tua punya cita cita tinggi anak-anaknya harus kuliah. Setidaknya S1. Apapun jurusannya dan berapapun biayanya, pasti diusahakan dengan kerja keras. Apalagi kalau anaknya berminat, jurusan apapun akan dipenuhi, meskipun harus membayar biaya mahal. Apalagi jurusan favorit Kedokteran, Teknik dan Ekonomi.
Jangankan puluhan juta, ratusan juta pun disiapkan demi pendidikan sang buah hati tercinta. Harus jual tanah, atau aset berharga lainnya pasti dilakukan demi anaknya bisa kuliah tinggi. Sarjana masih menjadi ukuran bahwa sebuah keluarga itu tergolong ekonomi mampu dan sejahtera hidupnya.
Tak peduli setelah lulus itu anaknya bekerja apa, yang penting anaknya Sarjana dulu. Berpendidikan tinggi, meskipun orang tuanya hanya lulusan SD. Orang tua di desa akan sangat bangga kalau anaknya lulus sarjana. Kalau anaknya lulus, semua akan diberitahu, apalagi saat lebaran menjadi cerita membanggakan kepada sanak saudara. Mirip sinetron Si Doel Anak Sekolahan.
Dulu, orang tua dan lulusan SMA/SMK/MA/sederajat akan bangga bisa kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Apalagi yang punya nama, seperti Universitas Brawijaya (UB), Universitas Negeri Malang (UM), UIN Maliki, Universitas Airlangga (Uniar), Universitas Gajahmada (UGM). Apalagi dulu hanya ada jalur UMPTN, sebelum namanya diganti SBMPTN-SNMPTN.
Tapi sejak adanya perubahan status kampus negeri yang menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), maka semua berubah. Apalagi PTN membuka berbagai alternatif jalur, termasuk jalur Mandiri. Jalur inilah yang dijadikan alasan PTNBH untuk bisa mandiri mengelola kampus PTN yang punya tuntutan tinggi dari pemerintah.
Akibatnya muncul kebijakan jalur Mandiri. Setiap PTN pun punya penerimaan mahasiswa dari jalur mandiri. Jalur inilah yang dinilai mudah asal mampu membayar biaya sumbangan pendidikan atau apapun namanya dalam jumlah sangat besar. Gilanya, jumlah peminat jalur mandiri bukannya menyusut, tapi makin membesar dan tak pernah kekurangan jumlah.
Seperti diberitakan edisi Selasa (30/8), Malang Posco Media mengecek di https://selma.ub.ac.id. biaya Jalur Mandiri di UB tak sama. Ada tiga jenis pembiayaan. Yakni Biaya Pendaftaran, Uang Kuliah Tunggal (UKT) dibayar per semester dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang dibayar sekali di awal semester.
Biaya Pendaftaran sama, yakni Rp 350 ribu. Sedangkan UKT dan IPI berbeda, sesuai program studi yang dipilih dan kelompok UKT serta IPI. Terdapat tiga kelompok UKT dan IPI. Di UB, Fakultas Kedokteran (FK) merupakan fakultas paling tinggi UKT dan IPI.
Terdapat tiga UKT FK sesuai kelompok. Kelompok IV Rp 19.160.000, Kelompok V Rp 20.305.000 dan Kelompok VI Rp 23.450.000. Sedangkan IPI FK UB Kelompok IV Rp 125 juta, Kelompok V Rp 135 juta dan Kelompok VI Rp 150 juta.
Dilansir dari laman https://um.ac.id biaya kuliah program sarjana di UM dibedakan berdasarkan kemampuan mahasiswa. Mahasiswa diklasifikasiskan dalam tujuh golongan sesuai besaran gaji orang tua yang telah diinformasikan saat pendafataran.
Dari golongan tersebut akan ditentukan berapa besar biaya kuliah yang harus dibayarkan mahasiswa tiap semesternya. Biaya kuliah per sementer ini dikenal dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Selain itu mahasiswa juga harus membayarkan Sumbangan Penunjang Sarana Akademik (SPSA).
Sebut saja dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Prodi S1 Biologi misalnya, untuk golongan VII membayar UKT sebesar 6.000.000 dengan biaya SPSA 20.000.000. Atau dari Fakultas Teknik. Ada tiga Prodi dengan UKT paling tinggi di golongan VII. Yakni sebesar 7.500.000 dengan SPSA 20.000.000.
Dari sekitar 10.000 ribu mahasiswa baru, maka 5.000 mahasiswa yang masuk melalui Jalur Mandiri. Dengan rata-rata UKT 3.500.000 (Golongan III), maka UM dapat meraup pendapatan 17.500.000.000 dari Jalur Mandiri. Bagi orang-orang kaya mahalnya biaya kuliah tak jadi masalah, tapi bagi yang pendapatannya hanya cukup, maka akan bersikap tegas.
Pilih swasta dengan biaya yang sama, atau negeri tapi biayanya hampir sama dengan swasta. Apalagi sekarang soal kualitas bukan jaminan. Masyarakat semakin paham bahwa PTN tidak lagi seperti zaman sebelum ada jalur mandiri. PTN dulu dikejar dan hanya bagi mahasiswa mahasiswa yang tingkat kecerdasannya oke, yang bisa lolos.
Kini, orang tua lebih pragmatis. Sang anak juga akhirnya lebih fleksibel. Ketika jurusan yang diinginkan itu biayanya mahal, pasti akan mundur. Alasannya jelas, sang anak tak mau membebani orang tua dengan biaya yang mencekik. Bagi orang berpendapatan normal, biaya kuliah untuk masuknya saja Rp 100 – 150 juta dan praktik di lapangannya bisa lebih dari itu, bahkan bisa menyentuh angka di atas Rp 500 juta, maka ini sungguh tak masuk logika umum. Bagaimana mungkin untuk kuliah saja, harus merogoh kocek seperti beli sebuah rumah?. Itu belum biaya kuliah per semester dan kebutuhan kuliah dan sejenisnya, minimal selama 4 tahun.
Satu sisi jalur mandiri bisa diterima secara logika bahwa dengan status PTNBH, harus mencari dana mandiri untuk peningkatan dan kualitas kampus. Apalagi targetnya kelas Internasional. Tapi sisi lain, jalur ini semacam ‘jebakan.’
Bila tidak hati-hati maka akan rawan godaan tindak pidana penyelewengan. Sebab peminat jalur mandiri jumlahnya lebih banyak. Mereka orang kaya yang ‘gila’ soal biaya kuliah mandiri sanggup membayarnya. Apalagi ada dugaan, yang paling tinggi sumbangan pendidikannya yang lebih diterima.
Fakta soal besarnya minat kuliah, baik PTN dan Swasta dengan berbagai jalur membuktikan bahwa masyarakat masih peduli terhadap masa depan generasi masa depan. Satu sisi memang miris ketika tahu biaya kuliah sangat mahal, tapi di satu sisi, kampus tak pernah sepi dan kekurangan mahasiswa. Khususnya kampus kampus besar, baik PTN maupun swasta yang sudah mempunyai brand di masyarakat.
Jalur mandiri yang kini dipersoalkan menyusul dugaan korupsi yang dilakukan Rektor Unila saat terjaring OTT KPK makin membuat masyarakat makin tidak puas dengan sistem penerimaan mahasiswa baru. Masyarakat merasa menjadi korban system yang membuat sebagian besar lulusan SMA sederajat tidak bisa melanjutkan kuliah di kampus kampus yang diidam-idamkan. Salah satunya karena tingginya biaya kuliah.
Padahal kepuasan terhadap pendidikan dan keterampilan menjadi salah indikator penilaian dimensi kepuasan hidup. Seperti dilansir Kompas.com (14/1/2022), Badan Pusat Statistik telah merilis Indeks Kebahagiaan 2021 pada 27 Desember 2021. Adapun, dilansir dari publikasi BPS, kajian tentang tingkat kebahagiaan telah dilakukan beberapa kali, yaitu uji coba pada 2012 dan 2013, kemudian survei pengukuran tingkat kebahagiaan pada 2014, 2017, dan 2021.
Menurut Kepala BPS Margo Yuwono dalam pengantar Indeks Kebahagiaan 2021, ada tiga pendekatan yang digunakan. “Kepuasan hidup, afeksi, dan eudaimonia (makna hidup),” ujar Margo Yuwono.
Menurut BPS, Indeks Kebahagiaan 2021 Indonesia naik sebesar 0,80 poin. Jika pada 2017 indeks kebahagiaan tercatat 70,69 maka pada 2021 menjadi 71,49, dengan skala 0 – 100. Angka ini tentu juga lebih tinggi dibandingkan pada 2014 yang sebesar 68,28.
Jika dirinci lebih detail, maka dalam dimensi kepuasan hidup terlihat bahwa keharmonisan terhadap keharmonisan keluarga mencapai poin tertinggi, yaitu 82,56. Sedangkan, banyak yang belum puas akan pendidikan dan keterampilan dengan angka terendah yaitu 62,79. Dari dimensi perasaan, maka perasaan senang terlihat mencapai poin cukup tinggi dengan 77,64. Adapun, detail indikator dan dimensi penyusun Indeks Kebahagiaan sebagai berikut.(*)
A. Dimensi Kepuasan hidup
1. Kepuasan terhadap keharmonisan keluarga: 82,56
2. Kepuasan terhadap keadaan lingkungan: 81,56
3. Kepuasan terhadap kondisi keamanan: 81,20
4. Kepuasan terhadap hubungan sosial di lingkungan: 79,10 5. Kepuasan terhadap kesehatan: 76,28
6. Kepuasan terhadap ketersediaan waktu luang: 75,87
7. Kepuasan terhadap rumah dan fasilitas rumah: 73,64
8. Kepuasan terhadap pekerjaan/usaha/kegiatan: 72,37
9. Kepuasan terhadap pendapatan rumah tangga: 66,76
10. Kepuasan terhadap pendidikan dan keterampilan: 62,79
B. Dimensi perasaan
1. Perasaan senang/riang/gembira: 77,64
2. Perasaan tidak tertekan: 64,87
3. Perasaan tidak khawatir/cemas: 57,91
C. Dimensi Makna Hidup
1. Penerimaan diri: 76,15
2. Tujuan hidup: 75,33
3. Penguasaan lingkungan: 74,52
4. Kemandirian: 73,56
5. Hubungan positif dengan orang lain: 72,16
6. Pengembangan diri: 66,09