Pilkada serentak tinggal menghitung hari. Panggung demokrasi satu ini, menyisakan banyak cerita unik, baik yang positif terlebih yang negatif. Sisi positif, banyak bermunculan ide dan gagasan menarik dalam debat terbuka Pilkada. Namun, justru debat terbuka Pilkada ini juga menyisakan kisah lucu dan unik. Alhasil, debat Pilkada yang menjadi panggung terbuka demokrasi, cukup signifikan dalam merubah peta survey, baik elektabilitas maupun hasil yang lainnya.
Kelucuan itu tampak dari debat Pilkada di sejumlah daerah. Misalnya saja, ada paslon yang mengatakan akan memberikan inovasi padi menjadi beras. Tanpa perlu terjebak dalam cibiran dan ujaran kebencian pada paslon terkait, mari kita bersama memahami frasa inovasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), inovasi berarti pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru; pembaruan: penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode, atau alat). Sehingga, secara sederhana, inovasi bisa dimaknai sebagai sebuah hal yang baru dan bukan yang terjadi pada umumnya.
Tentu saja, inovasi padi menjadi beras panen cibiran karena hal itu bukan hal yang baru. Data dari The Rice Association yang berbasis di Inggris menyebutkan bahwa para arkeolog yang melakukan penggalian di India telah menemukan padi yang diperkirakan berasal dari tahun 4530 SM (Sebelum Masehi). Namun, catatan pertama menyebutkan padi berasal dari Tiongkok pada tahun 2800 SM. Jejak tersebut tentu sudah sangat lampau, sehingga sangat unik jika di tahun 2024 baru disebutkan akan ada inovasi padi menjadi beras.
Keunikan lain, terjadi dalam beragam debat Pilkada lainnya, misalnya masing-masing paslon yang enggan memberikan pertanyaan pada paslon lain. Entah, memang tidak ada yang ingin ditanyakan atau justru bermain “aman” agar tidak terjebak pada pertanyaan yang ia ajukan sendiri. Lebih dari itu, banyak pula panggung demokrasi Pilkada yang menyajikan adu argumen yang menyerang pribadi paslon, bukan adu gagasan untuk mengurai permasalahan di daerah masing-masing.
Serangkaian fenomena di atas, bisa menjadi alarm bahaya akan terjadinya inflasi panggung demokrasi di negara kita. Figur yang maju dalam kontestasi Pilkada, bisa jadi bukan figur yang benar-benar mumpuni. Partai terjebak pada kerakusan jabatan dan nafsu politik semata, tanpa melihat figur potensial yang benar-benar layak maju dan bertarung dalam Pilkada.
Harapan terakhir kita, memang rakyat-lah yang menghukumnya. Tanggal 27 November nanti, rakyat seyogianya memilih paslon dalam Pilkada sesuai kompetensi mereka. Bukan memilih atas dasar amplop pemberian berisi gambar Soekarno tersenyum. Bukan pula memilih paslon atas dasar fanatisme belaka.
Istilah dan frasa inflasi sengaja dipilih, karena inflasi menggambarkan turunnya nilai demokrasi kita, di saat semakin banyak janji-janji manis kampanye, namun justru para paslon tersebut minim etika, moralitas dan yang berbahaya minus kompetensi.
Inflasi panggung demokrasi kita melalui pentas Pilkada, bisa merusak stabilitas bangsa. Sebab Pilkada adalah penentu kelanjutan pembangunan bangsa ini. Kita semua sudah muak dengan janji-janji manis di muka. Yang patut bersama kita waspadai, tak hanya sekadar sebagai panggung bagi para paslon, sejatinya Pilkada ini adalah panggung juga bagi para cukong.
Masyarakat perlu melihat secara komprehensif, tidak hanya pada paslon yang wajahnya muncul dalam baliho dan APK lainnya, tapi juga siapa penyokong di balik mereka. Kontrak politik seringkali menjadi sandera, bahwa siapa yang menyokong (meminjam istilah Prof. Jabal Tarik Ibrahim, disebut dengan istilah “Buwuh”) pasti akan mendapat balasan berupa “Berkat” dan oleh-oleh proyek strategis lainnya.
Ujung-ujungnya, rakyat tetap menjadi korbannya. Agar inflasi panggung demokrasi ini tak berlarut-larut, di sisa waktu yang ada, mari kita cermati bersama. Kita cermati, paslon mana yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat dengan tulus, paslon mana yang tidak pernah memiliki sejarah dan masa lalu yang buruk, paslon mana yang benar-benar berkeringat untuk rakyat.
Mari kita hukum paslon yang hanya cari muka, yang tanpa punya modal kompetensi dan hanya modal tajir belaka. Sebab demokrasi tak bisa dibangun dengan cara feodal dan brutal seperti itu. 27 November adalah hari besar kita bersama. Mari datang ke TPS, pilih paslon yang benar-benar baik, merakyat, dan seperti jargon demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.(*)