.
Thursday, December 12, 2024

Ironi Transformasi Produksi dan Konsumsi Susu Sapi

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Sunardi Siswodiharjo
Penulis Buku Narasi Nutrisi dan Kesehatan di Zaman Pasca-Kebenaran

          Peristiwa peternak membuang susu sapi hasil produksinya karena tidak diserap oleh industri pengolahan susu (IPS) sangat memilukan. Apalagi di tengah persiapan salah satu program unggulan presiden Prabowo Subianto, yakni makan bergizi gratis (MBG), termasuk susu gratis untuk anak sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi untuk balita dan ibu hamil.    

          Banyak pihak berharap, susu lokal akan mengalami perkembangan yang menggembirakan seturut dengan pelaksanaan program tersebut. Tampaknya insiden di atas menunjukkan fakta yang sebaliknya.

          Revolusi peternakan dalam laporan “Livestock to 2020: the Next Food Revolution” memprediksi peningkatan signifikan dalam produksi dan konsumsi produk hewani, termasuk susu sapi (Delgado et al., 1999). Pertumbuhan penduduk, ekonomi, dan perubahan gaya hidup di Indonesia mendorong konsumsi protein hewani.

          Namun, hal ini justru meningkatkan impor padatan susu sapi dalam jumlah fantastis, menjadikan Indonesia salah satu negara berkembang yang masuk dalam food trap, terperangkap oleh ketergantungan pada negara maju eksportir susu.

Ketimpangan Produksi dan Konsumsi

          Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga 2022, produksi susu segar dalam negeri (SSDN) hanya sebesar 968.980 ton dari kebutuhan nasional yang mencapai 4,4 juta ton. Artinya nilai rasio kemandirian atau self sufficiency ratio (SSR) hanya sekitar 20 persen. Sebaliknya nilai rasio ketergantungan impor atau import dependency ratio (IDR) masih sangat tinggi sekitar 80 persen.

          Sebuah ironi, sebab kondisi tingkat ketergantungan impor yang sangat tinggi, dampaknya akan sangat terasa jika terjadi gangguan sistem produksi dan distribusi dari negara pengekspor bahan baku susu. Impor bahan baku industri susu umumnya berupa padatan susu (milk solid) seperti skim milk powder, whole milk powder, dan full milk powder. BPS mencatat Indonesia selama Januari-Oktober 2022 mengimpor susu senilai USD 1,08 miliar atau setara Rp 16,71 triliun (kurs Rp 15.472 per USD).

          Susu sapi dalam bentuk padatan telah menjadi komoditas pangan, artinya bahan yang diproduksi, diperdagangkan, dan dikonsumsi secara global. Hal ini dapat menyebabkan fluktuasi harga, sehingga harga susu impor tidak selalu lebih murah dibandingkan susu lokal, dan sebaliknya.

          Dari titik inilah pemerintah perlu berkomitmen untuk melindungi peternak lokal melalui kebijakan yang mendukung peningkatan kuantitas dan kualitas susu sapi dalam negeri (SSDN). Penurunan rasio kemandirian terjadi sejak krisis moneter 1998, ketika Inpres No. 2/1985 tentang Pembinaan Persusuan Nasional dicabut untuk memenuhi letter of intent  antara Pemerintah RI dan Dana Moneter Internasional (IMF).

          Keadaan menjadi semakin parah ketika Kementerian Pertanian merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) dari No 30/2018 menjadi No 33/2018 pada 1 Agustus 2018. Perubahan ini, sebagai revisi kedua dari Permentan 26/2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu, menghapus sanksi bagi pelaku usaha pengolahan susu yang tidak bermitra untuk menyerap susu lokal.      Sebelumnya, sanksi meliputi peringatan tertulis, penghentian sementara usaha, pencabutan izin, dan larangan impor selama setahun. Akibatnya sangat jelas, nilai rasio ketergantungan impor susu meningkat drastis, dari 40 persen pada 1997 menjadi 80 persen saat ini.

          Rencana Menteri Pertanian untuk segera menerbitkan regulasi baru dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) merupakan angin segar bagi para peternak lokal. Peraturan ini nantinya akan mewajibkan semua IPS membeli susu produksi peternak lokal, terkecuali susu mengalami kerusakan.

Kontribusi dan Peran IPS

          Selama ini, sejatinya IPS juga telah melakukan pembinaan dan memberikan bantuan yang intensif terhadap peternak lokal, sehingga kuantitas atau jumlah produksi serta kualitas susu segar dari para peternak mengalami peningkatan yang bermakna.

          Misalnya, pelatihan teknis, seperti manajemen pakan, kesehatan hewan, dan teknik pemerahan yang baik. Selain itu IPS juga membantu penyediaan infrastruktur seperti fasilitas pendingin (cooling tank) untuk menjaga kesegaran susu serta pembuatan instalasi biogas yang mengubah limbah menjadi berkah.

          Konsekuensi dari kemitraan antara IPS dan peternak lokal terkadang memang terasa “painful” bagi IPS, terutama saat terjadi pada periode surplus, atau season di mana global supply padatan susu impor melimpah, sehingga harganya jauh lebih murah daripada harga susu peternak lokal.

          Pada saat seperti ini, IPS tetap harus menyerap susu lokal. Nah, jaminan penyerapan susu peternak lokal akan selalu membawa implikasi seperti di atas di mana IPS tetap harus membeli bahan baku yang sebenarnya lebih mahal dengan berusaha tidak serta merta menaikkan harga jual produk, demi menjaga kemitraan.

          Sangat dimaklumi jika hanya IPS yang tangguh, memiliki value yang kuat serta kemampuan finansial yang mumpuni, yang mampu menjaga dan mempertahankan pola kemitraan dengan para peternak susu lokal. Kemitraan yang selalu dilandasi dengan nilai-nilai mulia seperti “Creating Shared Value” (CSV).

          Sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Michael Porter dan Mark Kramer pada 2006, yang meyakini bahwa perusahaan dapat menciptakan nilai bersama (shared value), nilai ekonomi yang sekaligus memberi manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.

          Memadukan antara tujuan bisnis dan kesejahteraan sosial, di mana perusahaan tidak hanya selalu fokus pada profit semata, namun juga berusaha memberikan dampak positif yang lebih luas. Seperti meningkatkan kualitas hidup masyarakat, memperbaiki kondisi sosial, dan melestarikan lingkungan. Semoga semakin banyak IPS yang mengadopsi nilai-nilai seperti CSV.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img