UU Kesehatan Disahkan
MALANG POSCO MEDIA-DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-Undang (UU) di tengah protes berbagai organisasi profesi dokter dan sejumlah kalangan. Bagi pemerintah, UU ini justru memudahkan izin praktik tenaga kesehatan.
Persetujuan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan itu ditetapkan dalam sidang paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7) kemarin.
Tujuh fraksi dari sembilan fraksi di DPR menyatakan setuju. Yakni PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN dan PPP. Sementara Fraksi Demokrat dan PKS menolak setuju.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengemukakan sejumlah pengaruh dari pengesahan UU Kesehatan pada perbaikan sistem layanan kesehatan di Indonesia yang lebih baik.
“Dari semula fokus mengobati, menjadi mencegah. Pemerintah sepakat dengan DPR tentang pentingnya layanan primer yang mengedepankan promotif dan preventif berdasar siklus hidup,” kata Budi Gunadi Sadikin saat menyampaikan sambutan dalam agenda Rapat Paripurna RUU Kesehatan di Gedung DPR RI, kemarin.
Kemenkes memperkuat aspek layanan promotif dan preventif sesuai siklus hidup masyarakat. Berikut dengan penyediaan standarisasi jejaring layanan primer dan laboratorium hingga ke seluruh pelosok daerah.
Budi mengatakan UU Kesehatan juga menghadirkan akses layanan kesehatan menjadi lebih mudah. Yakni dengan penguatan layanan kesehatan rujukan, pemanfaatan telemedisin, pengampuan layanan prioritas, sampai layanan unggulan nasional berstandar internasional.
“Pemerintah sepakat dengan DPR melalui pemenuhan infrastruktur, SDM, sarana prasarana, pemanfaatan teknologi telemedisin dan pengampuan jejaring prioritas berstandar nasional dan internasional,” katanya.
Budi mengatakan UU Kesehatan membuka peluang bagi industri kesehatan di Tanah Air tumbuh lebih mandiri tanpa bergantung pada kemampuan luar negeri.
Untuk mendukung hal itu, pemerintah memperkuat rantai pasok dari hulu sampai hilir serta menetapkan prioritas penggunaan bahan baku dan produk dalam negeri, hingga pemberian insentif kepada industri yang melakukan penelitian, pengembangan dan produksi di dalam negeri.
Dikatakan Budi, UU Kesehatan menghadirkan sistem kesehatan yang lebih tangguh di masa wabah dengan menyiapkan tenaga kesehatan yang sewaktu-waktu siap dimobilisasi saat terjadi bencana.
Pada sektor pembiayaan, lanjutnya, jadi lebih efisien, transparan, dan efektif melalui anggaran berbasis kinerja. Ini mengacu pada program kesehatan nasional yang menjadi pedoman jelas bagi pemerintah pusat dan daerah.
Budi mengatakan UU Kesehatan mengakomodasi distribusi tenaga kesehatan menjadi cukup dan merata di seluruh daerah. Itu melalui percepatan produksi dan pemerataan jumlah dokter spesialis melalui penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit atau collegium based.
“Izin praktik tenaga kesehatan lebih cepat, mudah, dan sederhana melalui penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku seumur hidup tanpa menghilangkan fungsi penjagaan mutu dan kompetensi,” bebernya.
Budi menambahkan, UU Kesehatan melindungi tenaga kesehatan kesehatan yang rentan dikriminalisasi, menjadi terlindungi secara khusus, baik dari risiko kekerasan, pelecehan, maupun perundungan.
Melalui UU Kesehatan, pemerintah menghadirkan sistem informasi terintegrasi agar setiap orang lebih mudah mengakses data kesehatan yang dimiliki tanpa mengurangi jaminan perlindungan data individu.
“Teknologi kesehatan menjadi terdepan dengan pemanfaatan teknologi genom atau biomedis untuk pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kedokteran presisi,” katanya.
Presiden Joko Widodo berharap UU Kesehatan yang disahkan kemarin dapat mengatasi kekurangan dokter di Indonesia.
“Kita harapkan kekurangan dokter bisa lebih dipercepat, kekurangan spesialis bisa dipercepat, saya kira arahnya ke sana,” kata Presiden Jokowi di Sumedang usai meresmikan Jalan Tol Cisumdawu, Jawa Barat, kemarin.
Sebelumnya Sejumlah pihak yang kontra terhadap RUU Kesehatan termasuk Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) mengajukan petisi kepada Presiden Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani, Senin (10/7) lalu. Mereka meminta agar RUU Kesehatan ditunda pengesahannya.
Sejumlah masalah yang diidentifikasi FGBLP antara lain penyusunan RUU Kesehatan tidak secara memadai memenuhi asas krusial pembuatan UU. Yakni keterbukaan atau transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan (filosofis, sosiologis, dan yuridis) serta kejelasan rumusan.
Menurut FGBLP, saat ini tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan yang akan mencabut sembilan UU terkait kesehatan dan mengubah empat UU lainnya. Berbagai aturan dalam RUU Kesehatan justru berisiko memantik destabilitas sistem kesehatan.
Selain itu, munculnya pasal-pasal terkait ruang multibar bagi organisasi profesi. Berikutnya ada kemudahan bagi dokter asing masuk ke Indonesia dan implementasi proyek bioteknologi medis, termasuk proyek genome yang dinilai mengancam biosekuritas bangsa serta kontroversi terminologi waktu aborsi.
Padahal, masalah aborsi sudah diatur dalam UU KUHP yang baru, dan RUU Kesehatan hanya mengikuti apa yang sudah ada di UU KUHP agar tidak bertentangan. Isu lain yang salah kaprah terkait kebijakan genomik. (ntr/van)