Cakrahayu Arnavaning Gusti, Perintis Komunitas Difabel Pencinta Alam (Difpala)
Di tengah sunyi hutan, di bawah bayang-bayang pepohonan yang menjulang, langkah kaki perlahan menapak tanah yang lembap. Di antara rombongan itu, tampak seseorang mengulurkan tangan, bukan untuk meminta bantuan, tapi untuk membimbing. Ia adalah Cakrahayu Arnavaning Gusti (22 tahun), dan di belakangnya, menyusuri jalur yang terjal, adalah para difabel yang sedang belajar kembali tentang makna bebas.
MALANG POSCO MEDIA– Cakra, pria asal Jalan Untung Suropati Utara Kota Malang, bukan sekadar pendaki. Ia adalah pemandu jalan baru bagi mereka yang selama ini sering diabaikan di dunia petualangan: para penyandang disabilitas. Sejak 2020, ia merintis komunitas Difabel Pencinta Alam (Difpala), yang membuka akses bagi tunanetra, tuli, daksa, hingga pengidap epilepsi, untuk bisa ikut merasakan semilir angin puncak gunung. Cakra melatih dan membimbing para difabel mendaki gunung dan terlibat dalam pelestarian alam. Salah satunya sebagai terapi bagi difabel.
“Saya pertama kali mendaki Gunung Bhutak bersama difabel tahun 2020,” tuturnya, saat ditemui Malang Posco Media di Malang Creative Center (MCC), Rabu (30/7) kemarin.
Wajahnya tenang, bicaranya pelan tapi tegas, seperti pembimbing yang paham benar medan yang ia lalui, di alam maupun di hati manusia. Mendaki gunung bagi Cakra bukan hanya aktivitas fisik. Ia adalah bentuk pemenuhan hak: hak atas udara segar, hak atas pengalaman, dan hak atas rasa bahagia yang setara. Maka dari itu, ia mengajak para difabel yang kerap terkekang ruang untuk keluar, bergerak, dan merasa hidup.
Beberapa di antaranya adalah difabel daksa, yang ingin refreshing dari kepenatan sehari-hari. Mereka tak ingin dikasihani; mereka hanya ingin ikut menyalakan api semangat, menyalurkan tenaga, dan merasakan peluh sebagai tanda perjuangan.
“Motivasinya ingin menghilangkan pikiran jenuh. Karena epilepsi akan kambuh kalau mereka merasa stres,” kata Cakra, menjelaskan pentingnya kegiatan ini bagi para penyintas epilepsi. Dan hasilnya nyata dari yang semula kambuh dua hingga tiga kali sebulan, kini sudah dua tahun tak pernah lagi kambuh setelah mengikuti kegiatan Difpala.
Difpala bukan komunitas sembarangan. Di balik kegiatannya, tersusun kurikulum yang matang, bertajuk Agni Bhakti Caraka Dharma sebuah sistem klasifikasi dan pelatihan yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing peserta.
Agni adalah tahap pemula. Di sini, difabel diajarkan dasar-dasar pendakian, seperti mengenali alat, memasang tenda, dan mengoperasikan kompor portable. Bhakti adalah tahap lanjutan, berisi pelatihan kepramukaan dan pertolongan pertama (P3K) di lapangan. Caraka adalah puncak klasifikasi, di mana difabel telah siap menjadi pelatih atau pemandu, dan mampu mendaki gunung di atas 2.000–3.000 Mpdl.
“Pada Caraka ini para difabel sudah memiliki keterampilan mendaki,” ujar Cakra bangga.
Membimbing tunanetra, misalnya, membutuhkan kesabaran tinggi. Cakra melatih mereka untuk mengenali alat melalui perabaan dan bimbingan suara. Begitu pula saat membimbing penyandang tuli, ia perlahan belajar memahami bahasa isyarat. Semua proses dijalani dengan telaten dan empati.
“Awalnya saya kesulitan ketika mendaki dengan difabel. Namun seiring berjalannya latihan dan pendakian, saya memahami bahasa, baik untuk tunanetra maupun tuli,” katanya.
Di balik tiap langkah di jalur pendakian, ada pelajaran tentang kerja sama, saling percaya, dan melampaui batas diri. Difpala mengajarkan para anggotanya bahwa keterbatasan fisik bukan penghalang untuk meraih pencapaian. Justru dengan semangat kolektif, para difabel bisa menunjukkan bahwa mereka mampu bahkan setara.
Kini, sekitar 15 difabel aktif dilatih dan didampingi Cakra. Gunung bukan lagi tempat yang hanya bisa dipandang dari kejauhan. Bersama Difpala, mereka kini menjadi bagian dari pegunungan itu sendiri—mendaki dengan keyakinan, menuruni dengan rasa syukur.
Di langit yang biru dan di jalur yang terjal, Cakra dan para sahabatnya menuliskan jejak yang tak mudah dilupakan: jejak tentang perjuangan, inklusi, dan keberanian untuk hidup sepenuhnya. (khalqinus taaddin/aim)