.
Saturday, December 14, 2024

Jalan Berliku Anies-Muhaimin

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Bukan Muhaimin Iskandar (MI) jika tidak membuat kejutan. Tentu masih ingat tahun 2019 bagaimana MI sangat piawai dalam memainkan peran politiknya sehingga Mahfud MD terpental mendampingi Jokowi. Bahkan Ketua umum PBNU Prof. Dr Said Aqil Siradj secara terang benderang mengatakan bahwa Mahfud MD bukan kader NU, hal itu dilakukan semata-mata untuk menghadang Mahfud MD. Publik mafhum bagaimana sepak terjang dan relasi MI dengan Prof. Dr Aqil Siradj.

          Sungguh piawai peran MI, sebagai mantan Ketua Umum PB PMII ini tentu sudah terbiasa melakukan manuver bahkan aneka ragam cara dilakukan. Demi mewujudkan ambisi politiknya dan berpijak pada hasil Muktamar PKB pada tahun 2022 maka menggandeng Anies Rasyid Baswedan (ARB) sebagai cawapresnya menjadi solusi, meski menuai kontroversi. Karena ketidak pastian berkoalisi dengan Prabowo Subianto (PS) untuk menjadi cawapresnya tak memukan titik terang.

          Tentu Langkah MI telah merobohkan koalisi bahkan secara terang-terangan mengusir Partai Demokrat dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). KPP dideklarasikan oleh PKS Nasdem dan Demokrat (24/3/2023) untuk mengusung capres Anies Rasyid Baswedan (ARB).

          Piagam Deklarasi Kerjasama Politik dirobek oleh Nasdem dan PKB, dalam beberapa pernyataan sekjen Demokrat Teuku Riefky Harsya bahwa ARB telah berkhianat, ARB dan Surya Paloh (SP) dinilai telah menelikung dari belakang karena tidak melibatkan Demokrat dalam proses penentuan cawapres yakni MI.

          Sejak Nasdem mengusung dan mendeklarasikan ARB  pada 3 Oktober 2022 sebagai capres, harapan publik terhadap ARB luar biasa. ARB yang pandai berkata-kata dan membuat narasi apik membuat publik semakin terkesima. Seringkali keriuan terjadi dalam ruang netizen yang menyampaikan bahwa ARB adalah sosok yang cocok sebagai Presiden masa depan.

          Mencuri momentum dan menciptakan momentum dilakukan oleh SP yang mendeklarasikan ARB sebagai capres partai Nasdem. Tentu Nasdem berupaya untuk meyakinkan banyak pihak terutama parpol untuk diajak berkoalisi. Karena mandat UU Pemilu dalam pasal 221 mengatakan bahwa syarat capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

          Syarat normatif tentu tidak memungkinkan bagi Nasdem di mana perolehan suaranya pada Pemilu 2019 hanya memperoleh 59 kursi atau setara dengan 9.05 persen. Solusinya adalah menggandeng atau berkoalisi dengan PKS dan Demokrat adalah cara untuk mencapai 20 persen.

          Dalam konstelasi politik nasional tentu Nasdem  sudah mafhum akan berkoalisi dengan siapa. PKS sebagai pengusung ARB saat pilkada 2017 tentu menjadi koalisi pertama dengan mengajak Demokrat yang berada di luar pemerintahan Jokowi lebih mudah untuk diajak berkoalisi mengusung ARB. Gabungan Nasdem, PKS dan Demokrat mencapai 25,03 melampaui syarat UU Pemilu.

          Dalam perjalanannya, Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) ini mengalami kegamangan tingkat tinggi. Jika merujuk terhadap berbagai hasil survey elektablitas ARB berada di urutan ketiga jauh tertinggal di bawah Prabowo Subianto (PS) dan Ganjar Pranowo (GP). Fakta itulah yang mengakibatkan Nasdem tidak segera mendeklarasikan cawapres yang layak dan mampu mengatrol elektablitas ARB.

          Dalam berbagai kesempatan Adi Prayitno pengamat politik dari Parameter Politik sering menyampaikan bahwa ARB didukung oleh kalangan masyarakat Islam kota yang terpelajar  seperti pendukung PKS. Maka harus dicarikan cawapres yang mampu dan membantu elektablitas ARB agar bisa merangksek dan mendekati elektablitas PS dan GP.

          Alih-alih akan mengatrol elektablitas ARB, kehadiran MI justru semakin meruntuhkan elektablitas ARB. Kenapa demikian, karena pendukung ARB selain PKS ada juga sebagian warga Muhammadiyah yang sangat mengidolakan ARB. Tetapi kehadiran MI membuat  dilematis bagi warga Muhammadiyah untuk memberikan dukungan kepada MI yang berlatar belakang Islam tradisional.

          Kawin silang politik santri-Islam tradisional dan Islam modernis ini akan menemukan jalan berliku, bahkan berbahaya. Perbedaan pandangan mengenai paham keagamaan tentu berdampak dalam pilihan politik bagi Islam modernis maupun tradisional. Ibarat menyatukan air dan minyak yang sulit untuk menyatu.

          Mungkin ARB meyakini bahwa dalam politik elektoral dan liberal seperti saat ini, paham keagamaan dinilai tidak berdampak signifikan, sehingga memilih MI menjadi cawapres dinilai tepat.

          Lagi-lagi pertanyaan yang menggelitik adalah mengapa ARB menggandeng MI untuk menjadi cawapresnya dan rela meninggalkan AHY. Padahal jika dilihat dari berbagai hasil survey cawapres elektablitas AHY lebih unggul ketimbang MI. Jika dilihat dari perolehan kursi di parlemen PKB 58 kursi dan Demokrat 54 kursi, selisih 4 kursi.

          Sungguh harga yang sangat mahal yang harus dibayar oleh ARB saat meninggalkan AHY. ARB yang dinilai intelektual dan pandai merangkai kata-kata seketika runtuh karena terima penghianat semakin melekat terhadap ARB.

          Jejak digitalnya yang mengatakan jika PS maju menjadi presiden maka ARB tidak akan maju menjadi capres, karena PS lah yang menolong dan menjadi mentor politik sehingga bisa menjadi Gubernur DKI. Faktanya PS juga dikhianati oleh ARB.

          Lantas apa yang diharapkan oleh ARB dengan menggandeng MI. Jika basis suara Nahdiyin yang diharapkan oleh ARB lantaran MI kader tulen NU, tentu analisnya terlalu buru-buru. Karena bukan rahasia lagi, perseteruan Gus Yahya sebagai Ketua umum PBNU dengan MI akan berdampak serius terhadap elektoral PKB dan MI.

          Diperparah lagi perseteruan Yeni Wahid dengan MI di media sosial akan berdampak serius terhadap elektablitas MI dan PKB. Yeni Wahid sebagai anak kandung biologis dan Politik Gus Dur di berbagai kesempatan menyampaikan bahwa Gus Dur dikudeta oleh MI. Pendiri PKB yang sah saja dikudeta dan dikhianati oleh MI apalagi rakyat.

          Tentu pernyataan Yeni Wahid itu memiliki spektrum politik elektoral terhadap MI, mengingat para murid, pengagum, simpatisan Gus Dur bertebaran di mana-mana. Tak hanya orang-orang NU, tetapi yang tergabung dalam Gusdurian akan tegak lurus dengan keluarga besar Gus Dur.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img