Cerpen Oleh Wiwin Ernawati
“Aku ingin pernikahan kita diakhiri” Gayatri duduk sembari menyodorkan secangkir kopi untuk suaminya.
“Aku sudah menduga kamu akan berkata seperti itu. Kamu berubah sejak bekerja di madrasah itu. Sudah merasa suci sekarang? Hingga ingin meninggalkan suamimu yang hina ini” Rian berkata datar.
“Bukan seperti itu. Aku tidak ingin Gendis tau seperti apa hubungan kita sebenarnya. Anak itu tidak akan mengerti”
“Hubungan kita adalah sepasang suami istri seperti yang sudah kita sepakati lima tahun lalu”
Gayatri tak menyahut. Tatapannya kosong terpaku pada secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas. Pikirannya menjelajah meratapi pernikahan semu yang tak lain hanyalah permainan peran layaknya pertunjukan drama. Dengan tokoh utama Rian sebagai suami, Gayatri sebagai istri dan Gendis bocah lucu yang mereka ambil dari panti asuhan sebagai anak. Disutradarai oleh Rian dan Gayatri dengan skenario semesta sebagai penentu alur ceritanya.
Peran yang mereka mainkan sungguh apik. Tak seorang pun menyadari jika keluarga mereka hanyalah fiktif. Rekayasa dan modifikasi data membuat pernikahan mereka tampak nyata.
“Tak akan ada yang tau kebenarannya jika kamu tetap tutup mulut” Rian melanjutkan.
Gayatri bergeming hatinya berontak ingin teriakkan “ini salah”. Namun mulutnya membeku mengatup rapat tanpa celah.
“Kita tidak akan berpisah. Aku tidak akan melepaskanmu” ucap Rian.
Gayatri masih tidak menjawab, lem kuat mengatupkan mulutnya. Amarah bergejolak di dada, mengendap tak terucap.
***
Malam harinya ketika pekat menguasai pandangan, Gayatri mengendap keluar kamar. Dengan bantuan senter kecil dalam genggaman ia berjalan menuju ruang depan. Rian lelap dalam tidurnya tak menyadari jika Gayatri lenyap meninggalkan pembaringan.
Dalam keheningan malam Gayatri bergegas menghubungi seseorang. Ia menyalin nomor telepon yang ia simpan dalam secarik kertas. Sambungan telepon terhubung, sambil berbisik Gayatri berkata.
“Assalamualaikum ibu”
“Astaghfirullahhaladzim, Gayatri?” ibu terkejut mendengar suara putri kesayangannya yang sudah lama tak ia dengar.
“Assalamualaikum ibu” Gayatri mengulangi.
“Waalaikumussalam nak”
Tanpa sempat mengucapkan kata-kata tanpa sadar airmata telah mengalir di kedua pipinya. Hanya isak tangis yang terdengar.
Ibu mengerti putrinya sedang tidak baik-baik saja.
“Maafkan aku bu” ucap Gayatri terbata-bata disela isak tangisnya.
Gayatri menceritakan semua yang terjadi. Kemana dia selama ini pergi dan dengan siapa ia sekarang tinggal. Dan mengapa dia sekarang ingin kembali. Bocah kecil bernama Gendis telah membuat Gayatri menjadi seorang ibu. Meski Gendis tidak terlahir dari rahim Gayatri tapi dia telah berhasil mendorong Gayatri untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Gayatri takut jika suatu saat nanti Gendis tau yang sebenarnya. Dia juga takut dengan hukuman yang akan ia terima dari Tuhan. Gayatri tak mampu lagi menanggung beban dosa di tubuhnya. Dia tak mau jika surga enggan memeluknya.
Ibu yang paham kegundahan hati putrinya berusaha bersikap tenang mendengar penjelasan Gayatri. Ibu bersyukur akhirnya Gayatri mau kembali. Ibu siap menerima Gayatri apapun yang terjadi. Terlepas Gayatri pernah berdosa ibu ikhlas memaafkan.
Kisah kelam Gayatri bermula ketika ia bertemu dengan Rian. Gayatri mengenal Rian sejak duduk di bangku SMA. Keduanya sangat dekat. Teman sekelas sekaligus sebangku. Kemana mana selalu bersama. Pertemanan yang tampak wajar dan biasa saja. Keanehan mulai terjadi setelah lulus sekolah. Entah mengapa rasa cinta muncul diantara keduanya. Tak ada yang mengira jika hubungan itu akan terjadi. Setiap orang yang melihat pasti berpikir jika Gayatri dan Rian adalah sahabat bukannya sepasang kekasih.
Tau jika hubungannya tak mungkin direstui Rian dan Gayatri memilih untuk minggat. Pergi ke kota kecil daerah pesisir. Disanalah mereka memulai hidup baru. Dengan identitas dan status baru. Memburu kebahagiaan semu yang suatu saat nanti akan Gayatri sesali. Berat menanggung beban dosa yang selalu membayangi.
***
Angin semilir berhembus menyapu dedaunan. Butiran pasir berserak di pelataran rumah. Gayatri lelah menyapu. Pasir-pasir itu akan datang lagi. Entah itu terbawa angin atau kaki-kaki nelayan yang lalu lalang melintas. Musim ikan tiba para nelayan berlalu lalang setiap harinya. Sibuk menyiapkan keperluan mencari ikan.
Gendis terbangun dari tidur siangnya. Gayatri mengajaknya ke pinggiran pantai menikmati angin laut sore. Perahu-perahu berjejer rapi menunggu pemiliknya. Para nelayan akan segera berangkat.
Gendis yang masih mengantuk terdiam dipangkuan ibunya. Memandang laut dengan ombak jinak bersahabat. Gayatri memeluk erat putri semata wayangnya. Bocah lima tahun itu memandang ibunya.
“Ibu, boleh aku bermain pasir?”
Gayatri menganggukkan kepala.
Gendis turun dari pangkuan ibunya. Kakinya berjingkat ketika menyentuh pasir, geli. Ia lalu duduk dihamparan pasir tak jauh dari Gayatri. Mengeruk-ngeruk pasir dengan tangan mungilnya.
Gayatri terdiam mengawasi putrinya. Tak lupa bibirnya sesekali melengkungkan senyum. Hatinya terasa ringan setelah ia berbicara dengan ibu dan bapaknya semalam. Lega karena kedua orangtuanya telah memberinya maaf dan mau menerimanya kembali.
Ibu dan bapaknya akan menjemput Gayatri dan Gendis segera. Pulang dan terlepas dari belenggu suaminya yang abnormal. Rumah dan laut ini akan segera ia hapus dari ingatannya. Gayatri berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak merindukan kota kecil berpasir dengan aroma laut yang khas yang saat ini ia tinggali. Dan sekarang Gayatri hanya ingin menikmati hari-hari terakhirnya sebagai orang pesisir. Tempat yang akan segera ia tinggalkan. Tempat penuh kenangan yang tidak akan pernah ia tengok lagi. Baik buruknya akan ia kubur dalam-dalam.
***
Lima hari berlalu sejak Gayatri menghubungi ibunya. Hari-hari terasa begitu panjang untuk dilalui. Berharap dengan cemas menunggu hari penjemputan datang. Dihari yang telah disepakati, diam-diam ketika Rian sedang tidak dirumah Gayatri mengajak Gendis pergi. Ibu dan bapak sudah menunggu di perempatan jalan. Tangis ibu pecah begitu melihat putri kesayangannya tiba. Gayatri pun tak kuasa menahan tangis. Ibu dan Bapak memeluk Gayatri dengan penuh kerinduan. Tanpa menunggu waktu lama ibu dan bapak segera mengajak Gayatri untuk pergi.
Gayatri meninggalkan Rian begitu saja. Dengan secarik pesan ia ungkapkan kata perpisahan
“Maaf aku tak bisa melanjutkan ini. Aku dan Gendis pergi. Tolong jangan cari aku”
Tak bisa dipungkiri jika Gayatri perih meninggalkan Rian seperti ini. Orang yang pernah ia sayangi. Airmata kesedihan pun mengalir.
“Rian maafkan aku”
***
Rian teronggok lesu disudut ruangan. Hari-harinya dilalui dengan duka. Sejak Gayatri dan Gendis meninggalkannya Rian tampak seperti orang linglung. Dia lebih banyak diam, badannya juga tak terurus. Rambutnya kian memanjang seiring berlalunya waktu. Sisa-sisa keelokan masih tergambar di wajahnya.
Tapi bukannya raut tampan yang terlihat. Dengan rambut panjang tergerai Rian justru tampak begitu cantik. Dadanya yang tak dibebat terlihat membusung. Ya, Rian adalah seorang perempuan yang menjelma menjadi laki-laki. Itulah sebabnya Gayatri ingin berpisah darinya. Gayatri sadar jika yang mereka lakukan adalah salah. Tapi Rian tak mau menerimanya.
Rianti terpaku, menangis disudut ruangan meratapi kisah cintanya yang telah usai. Gayatri tak mungkin kembali. Meninggalkannya terpuruk seorang diri. Mengakhiri hidup dengan sebilah pisau dalam genggaman. Rianti tumbang dengan darah menggenang. Tak seorang pun menyadari nyawanya telah pergi, bahkan orang yang paling ia cintai sekalipun. Jasadnya ditemukan warga berhari-hari kemudian. (*/cerpenku/bua)