Setiap orang tua menginginkan segala sesuatu yang terbaik untuk anaknya. Baik dalam pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder. Salah satunya adalah munculnya trend yang membuat antar orang tua satu dengan yang lain berlomba-lomba memberikan barang-barang sekunder, bahkan cenderung ke arah barang tersier karena harganya cukup menguras tabungan.
Pilihan untuk memasukkan anak pada sekolah-sekolah unggulan berbasis internasional, olimpiade, dan sejenisnya sudah menjadi hal yang lumrah. Tidak jarang orang tua menerapkan target tertentu yang harus dicapai oleh anak sebagai ukuran keberhasilan. Sehingga anak diharuskan mengikuti beragam les tambahan sepulang sekolah, untuk mengejar ketertinggalan dan menyiapkan perkiraan materi belajar yang akan datang.
Masalah bukan terletak pada pemenuhan fasilitas, menyekolahkan anak di sekolah unggulan atau les. Masalah terletak pada pola asuh yang tegas dan ketat. Keseharian anak diatur, bahkan setiap jamnya telah berisi kegiatan belajar yang padat.
Misalnya, dimulai dengan kegiatan sekolah reguler berprogram Fullday School, kemudian dilanjutkan dengan pembinaan-pembinaan tambahan. Tidak jarang anak tiba kembali di rumah saat hari terang telah berubah menjadi petang, dengan kondisi tubuh yang sangat lelah.
Orang tua tanpa sadar mulai menetapkan standar yang tinggi untuk anak mereka sendiri. Merasa amat berbangga ketika anak berhasil mencapai target tersebut. Kegembiraan disampaikan dalam segala bentuk, mulai dari bercerita pada kerabat dan tetangga, bahkan sampai mengunggah kebahagiaan tersebut di media sosial. Namun sikap berbeda ditunjukkan ketika anak tidak mampu mencapai target yang diharapkan. Anak akan disalahkan, dimarahi, bahkan mungkin menerima hukuman.
Tanda tanda Strict Parent
Fenomena sebagaiman digambarkan di atas, banyak ditemukan. Melalui tahap-tahap tersebut, secara sekilas mampu menghasilkan anak-anak yang patuh, pantang menyerah dan disiplin. Namun banyak orang tua yang kurang bahkan tidak menyadari bahwa perlakuanStrict tersebut membawa dampak negatif bagi anak. Sebagaimana yang dilansir dari buku berjudul “Introduction To The Real World” yang ditulis oleh Kaz Nagai pada tahun 2019, Strict Parents dimaknai sebagai sikap orang tua yang tegas tidak menjamin dapat membesarkan anak-anak yang berperilaku baik. Karena anak-anak akan berperilaku baik ketika mereka tahu mengapa sesuatu harus dilakukan.(Kaz Nagai, 2019 hal 95)
Menurut beberapa literasi yang penulis baca dari beberapa sumber, ada beberapa tanda-tanda tindakan yang termasuk dalam kategori Strict Parents. Pertama, minimnya orang tua meluangkan waktu untuk menjalin kebersamaan dalam keluarga.
Misalnya dengan menonton tv bersama di ruang keluarga, dan aktivitas kekeluargaan lainnya. Kepandaian orang tua dalam meluangkan waktu untuk selalu dekat secara fisik dengan anak, membuat wibawa orang tua tetap hidup di mata anak. Anak merasa berharga karena kehadirannya selalu dinanti oleh orang tua.
Kedua, penerapan aturan di rumah secara sepihak tanpa melibatkan anak. Bentuk penghargaan orang tua terhadap anak, salah satunya dilakukan dengan cara melibatkan anak dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Aturan di rumah dibuat berdasarkan diskusi dan musyawarah seluruh anggota keluarga.
Hal ini dimaksudkan untuk melatih anak untuk taat peraturan, saling menghormati, dan bertanggung jawab. Misalnya menentukan batas maksimal tiba di rumah adalah pukul 20.00 WIB, maka sebisa mungkin seluruh anggota keluarga telah tiba di rumah pada pukul 19.00 WIB.
Ketiga, mendiamkan dan mengabaikan anak dalam waktu lama saat melakukan kesalahan. Anak bisa melakukan kesalahan bukan berarti orang tua dalam pihak yang selalu benar. Saat anak melakukan kesalahan, hindari sebisa mungkin menghukum secara fisik, mengantinya dengan hukuman yang melatih kemandirian dan kedisiplinan tentu lebih baik.
Selain itu, sikap orang tua yang terlalu serius dan tidak bisa menerima perbedaan pendapat. Anak yang memasuki fase remaja mengalami transisi menuju dewasa. Mereka mulai memiliki sudut pandang berbeda dari orang tua, sehingga terkesan membangkang.
Orang tua harus mengikuti perkembangan zaman dengan mempelajari kabar populer di kalangan remaja. Sehingga ketika anak melakukan tindakan serupa, orang tua dapat menyampaikan penolakan atau persetujuan tentang baik tidaknya tindakan tersebut
Memberikan izin terbatas pada anak usia remaja untuk keluar rumah juga bisa tergolong tindakan strick parents. Izin terbatas yang dimaksud adalah kurangnya waktu yang diberikan pada anak untuk mengeksplorasi diri dan mengenal lingkungan sekitar. Orang tua perlu memberikan sedikit kepercayaan pada anak, misalnya memberikan izin keluar rumah namun tetap diantar dan dijemput oleh orang tua.
Hubungan yang Nyaman
Termasuk strict parents atau tidaknya orang tua terhadap anak-anaknya, hanya dapat dinilai dari hubungan kedekatan batin antara orang tua dan anak. Anak akan merasa disayangi dan dihargai ketika orang tua selalu mampu menjadi tempat paling nyaman setelah mereka lelah menghadapi rutinitas sehari-hari.
Terciptanya hubungan yang nyaman antara orang tua dan anak akhirnya menjadi hal yang paling penting dalam tumbuh kembang anak. Pola berpikir orang tua harus berkembang dan bergerak maju mengikuti perkembangan zaman. Misalnya orang tua berhenti menjadi pihak yang selalu benar, dan berganti peran menjadi pihak yang selalu mampu memberikan solusi bijaksana dalam menyelesaikan permasalahan anak.
Komunikasi antara orang tua dan anak menjadi hal penting berikutnya. Penerapan komunikasi yang baik diawali dengan memutus kebiasaan menjadi hakim dan mengadili kesalahan yang dilakukan anak, secara sepihak. Anak tidak akan serta merta berubah dengan hadirnya hukuman, maka perlu diskusi lebih lanjut untuk mengetahui alasan anak melakukan kesalahan. Selanjutnya orang tua menjelaskan dampak atau kerugian dari kesalahan yang telah dilakukan tersebut, sehingga anak memahami betul dimana letak kesalahan dan tidak akan mengulangi di kemudian hari. Penyampaian respon dengan baik mampu menjaga hubungan tetap dalam kondisi yang aman tanpa ketegangan.
Orang tua harus benar-benar mampu mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memposisikan diri sebagai orang tua, dan kapan memposisikan diri sebagai teman. Kemarahan dan penolakan terlalu keras tidak akan cukup membantu dalam mendisiplinkan anak-anak, terutama di usia remaja.(*)