spot_img
Friday, July 18, 2025
spot_img

Jejak Digital Bisa Berujung Hukum, Mengapa Bijak Bermedia Sosial Itu Penting

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Di era teknologi yang terus berkembang dan derasnya informasi yang beredar lewat media sosial, isu pencemaran nama baik menjadi sorotan penting dalam ranah hukum dan sosial.  Tak lagi sekadar urusan hukum formal, persoalan ini turut menyentuh aspek personal yang sangat berharga: reputasi.

Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (UNIKAMA), Darajatun Indra Kusuma Wijaya, M.H., reputasi merupakan bagian dari identitas sosial yang sangat bernilai.

“Reputasi itu aset sosial yang penting bagi setiap individu,” ungkap Indra.

Ia menambahkan, pemahaman masyarakat terhadap hukum dan etika sosial menjadi hal yang mutlak, terutama di tengah gaya hidup digital saat ini.

“Ketika media sosial sudah menjadi kebutuhan pokok, kemajuan teknologi bisa berbalik merugikan jika tidak diiringi pemahaman hukum yang memadai,” jelasnya.

Kasus pencemaran nama baik sendiri dapat diselesaikan melalui dua jalur, yakni pidana dan perdata. Jalur pidana biasanya ditempuh jika korban ingin memberikan efek jera kepada pelaku, sedangkan perdata lebih fokus pada pemulihan nama baik dan ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan.

Secara hukum pidana, pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, serta Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurutnya, jika pelanggaran dilakukan secara elektronik, pelaku dapat dikenakan sanksi penjara hingga empat tahun atau denda maksimal Rp 750 juta.

Sementara dari sisi perdata, ketentuan ini mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata yang memungkinkan korban mengajukan gugatan atas kerugian, baik materiil maupun imateriil. Indra menegaskan bahwa jalur perdata sangat penting untuk memberikan pengakuan atas dampak yang dirasakan korban, baik secara ekonomi maupun psikologis.

“Pemulihan nama baik melalui jalur hukum perdata dapat menjadi bentuk keadilan bagi korban,” terangnya.

Tren kasus pencemaran nama baik di ruang digital pun menunjukkan peningkatan. Data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengungkap bahwa antara 2017 hingga 2021, pelanggaran terkait pencemaran nama baik menjadi salah satu laporan terbanyak di bawah UU ITE.

“Pada awal 2022 saja, Polri menangani 162 kasus serupa, termasuk yang terjadi melalui media elektronik, menurut catatan Robinopsnal Bareskrim Polri periode 1 hingga 19 Januari 2022,” katanya.

Baru-baru ini, kasus pencemaran nama baik kembali mencuat di Malang, melibatkan seorang selebgram berinisial IZ. Ia dituduh mencemarkan nama baik pemilik sebuah brand kosmetik berinisial SP, yang akhirnya berbuntut pada tuntutan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 10 juta.

Meningkatnya jumlah kasus ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap batas kebebasan berpendapat di dunia maya masih minim. Tak sedikit pengguna media sosial yang belum menyadari bahwa unggahan atau komentar di platform digital bisa berdampak hukum jika merugikan pihak lain.

Sebagai penutup, Indra mengingatkan pentingnya kebijaksanaan dalam bermedia sosial. “Kebebasan berekspresi memang dijamin oleh undang-undang, tapi bukan tanpa batas. Perlu kesadaran untuk menghargai hak orang lain demi menjaga keseimbangan sosial,” katanya.

Ia pun menegaskan, setiap tindakan di dunia digital bisa meninggalkan jejak hukum. “Kata-kata yang kita ucapkan dan tulis di ruang digital memiliki konsekuensi. Maka, mari lebih bijak dalam berinteraksi di media sosial,” pungkasnya. (adv/mar/aim)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img