Hati-hati saat mengunggah konten di media sosial (medsos). Apapun yang pernah kita publis di ruang digital bakal jadi jejak digital kita. Bagi siapa saja, terutama seorang politisi, semua sepak terjang yang terekam di ruang digital bisa jadi memori kolektif masyarakat. Kapan pun jejak digital itu bisa dimunculkan lagi oleh siapapun sebagai bentuk peradilan di medsos (trial by social media).
Lihat saja dalam kasus mantan Wamenaker Immanuel Ebenezer atau Noel. Noel ditetapkan sebagai tersangka bersama 10 orang lainnya dalam kasus dugaan pemerasan pengurusan sertifikat K3. KPK menduga Noel menerima jatah pemerasan Rp 3 miliar. Seiring bergulirnya kasus ini, netizen berbondong-bondong mengais jejak digital sang politisi. Mulai dari postingan lama di medsos, wawancara di media, hingga beragam statemen politiknya.
Dulu saat Angelina Sondakh, politisi partai berseragam biru itu tersangkut kasus korupsi, dengan cepat warganet memutar kembali rekaman lama jejak digital sang politisi. Termasuk di antara jejak digital yang ramai dibicarakan kembali oleh netizen adalah iklan pemberantasan korupsi yang dibintangi Angelina Sondakh. Dalam iklan tersebut dia mengatakan dengan tegas “katakan tidak pada korupsi.”
Masih banyak kasus politisi lain yang diunggah publik lewat jejak digital yang pernah dibuat sejumlah politisi. Publik membandingkan ucapan lama dengan kenyataan terkini, terutama jika politisi tersebut pernah berpidato tentang integritas atau anti korupsi. Ini memicu ironi publik dan memperkuat kemarahan kolektif sehingga kasus hukum tak hanya berjalan di ranah pengadilan formal tetapi juga pengadilan oleh warga digital.
Memori Kolektif
Jejak digital adalah rekam data yang ditinggalkan individu dalam aktivitas online baik secara sadar atau tidak yang bersifat permanen, dapat ditelusuri, dan memiliki implikasi identitas, privasi, serta reputasi. Menurut Goodwin (2010),jejak digital adalah rekam data yang ditinggalkan seseorang saat menggunakan internet baik disengaja maupun tidak disengaja. Artinya, setiap aktivitas online seperti mengunjungi situs website, mengirim email, mengunggah konten, dan berinteraksi di medsos akan meninggalkan bukti yang dapat ditelusuri.
Saat ini jejak digital bisa jadi memori kolektif. Apapun yang pernah muncul di ruang digital akan tersimpan dan dengan gampang bisa dipanggil kembali (recall) oleh siapapun. Dulu sebelum era digital, memori kolektif masyarakat biasanya dibentuk melalui cerita lisan, arsip fisik, buku sejarah, atau media massa. Ingatan tentang seseorang atau peristiwa tertentu sangat tergantung pada dokumentasi resmi, media arus utama, atau catatan sejarawan.
Sejak munculnya internet dan medsos telah mengubah cara kita mengingat. Unggahan di beragam akun medsos seperti Facebook (Meta), Twitter (X), Instagram (IG), YouTube, TikTok, WhatsApp (WA), dan portal berita online tak bisa hilang begitu saja. Aneka konten tersebut tersimpan, bisa ditelusuri, diarsipkan, bahkan diputar ulang kapan pun. Jejak digital telah jadi memori kolektif baru yang lebih terbuka dan partisipatif karena siapa pun bisa mengakses dan menghidupkannya kembali.
Dalam kasus Wamenaker Noel misalnya, saat sang politisi tersandung kasus saat ini, dengan cepat netizen mengunggah beragam konten tentang narasi sang politisi yang sebelumnya sangat keras melawan tindakan korupsi namun justru ia saat ini jadi tersangka korupsi.
Potongan video, podcast, penyataan wawancara, dan artikel lama sang politisi menjadiingatan kolektif digital yang membentuk opini publik. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana memori digital lebih tajam daripada arsip kertas karena ia hidup dan bisa dibagikan ulang.
Peradilan Ruang Digital
Dalam kaitan ini muncul apa yang disebut sebagai trial by social media. Kasus hukum seorang politisi tak hanya berjalan di pengadilan formal, tetapi juga di ruang digital. Di sana, netizen menjadi hakim, jaksa, sekaligus juri. Unggahan lama digunakan sebagai bukti moral yang memperkuat kemarahan kolektif.
Peradilan publik di medsos memang tak punya kekuatan hukum, tetapi punya kekuatan moral dan politik. Reputasi seorang politisi bisa runtuh bukan karena putusan hakim, melainkan karena narasi viral yang mengaitkan masa lalunya dengan kebusukan yang sedang terungkap saat ini.
Fenomena pengadilan digital oleh publik menandai lahirnya demokratisasi pengawasan. Jika sebelumnya kontrol terhadap politisi hanya dilakukan oleh lembaga formal seperti KPK, BPK, atau media arus utama, kini masyarakat luas ikut berperan. Netizen dengan gawai di tangan bisa menggali arsip, menyebarkan potongan video, hingga membangun narasi tandingan. Di sinilah letak kekuatan sekaligus tantangan jejak digital.
Di satu sisi jejak digital bisa jadi alat akuntabilitas publik yang efektif. Politisi tak bisa lagi dengan mudah mengumbar narasi muluk-muluk tanpa risiko karena publik akan menagih konsistensinya lewat jejak digital. Di sisi lain, ada bahaya jika jejak digital digunakan secara serampangan tanpa konteks. Pernyataan lama bisa dipelintir atau dipotong demi membentuk opini yang tidak utuh. Fenomena pembongkaran jejak digital seseorang bisa punya sisi baik dan buruk. Bisa mungkin pencarian jejak digital berujung pada disinformasi jika konteks lama dimanipulasi. Ada pula kemungkinan doxxing atau penyebaran data pribadi yang berlebihan. Sehingga meski peran netizen dapat memperkuat akuntabilitas namun perlu literasi digital agar publik tak hanya ikut-ikutan tanpa memverifikasi kebenaran.(*)