Sholahuddin Al-Fatih, SH., MH.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
Ketua Bidang Advokasi MHH PDM Kota Malang
Momen perayaan kemerdekaan Republik Indoensia ke-79 tahun ini menyajikan cerita berbeda. Selain upacara peringatan kemerdekaan yang digelar di IKN, banyak pula cerita menghiasi hari sakral bangsa ini. Salah satunya dari kontroversi pelarangan penggunaan hijab saat pengukuhan Paskibraka. Biang keladinya tak lain tak bukan adalah BPIP, lembaga yang ditasbihkan paling Pancasila.
Sejatinya, Paskibraka berada di bawah naungan Kemenpora. Namun entah kenapa, kemudian dipindah tangankan pengelolaannya ke BPIP. Sebenarnya, tak ada hubungannya antara pemuda pemudi terbaik bangsa sang pengibar bendera dengan Pancasila. Sehingga lebih baik dikelola dan dikembalikan saja lagi ke Kemenpora. Toh, saat ini Kemenpora juga sedang melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh BPIP terhadap Paskibraka.
Sejak kapan jilbab dilarang bagi Paskibraka? Ya sejak BPIP menjadi pengelolanya. Tentu, suara keras datang dari seluruh ormas, elit partai dan masyarakat. Bahkan, beberapa elemen masyarakat sudah melaporkan ulah BPIP ini ke Polisi. Sah, dan absah menurut hukum. Optik hukum kita memang memberikan kemerdekaan bagi warganya untuk mengenakan atribut keagamaan tanpa ada diskriminasi.
Pertama, Pancasila sila pertama jelas, menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa. Bertuhan tentu tidak asal prasmanan. Malu lah kalau sudah bergelar kiai dan sudah berhaji, tapi tentang jilbab saja masih tak tahu diri. Jilbab itu kewajiban. Lha ini kiai kok malah melarang penggunaan jilbab. Kiai model apa yang begini.
Al-Qur’an sudah memberikan pedoman, dalam Surat An-Nur ayat 31, Al-A’raf ayat 26 dan Al-Ahzab ayat 59. Jilbab itu wajib bagi muslimah. Titik, tak pake koma. Hanya Prancis yang melarang wanita berjilbab. Apa iya Indonesia itu sama dengan Prancis. Tentu tidak.
Kedua, Konstitusi Indonesia, dalam UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa jaminan bebas beragama dan menjalankannya, diatur dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2). Jilbab adalah satu tarikan napas dalam instrumen kebebasan beragama tersebut. Apabila jilbab dilarang, maka ada tarikan napas yang tersengal, kalau gagal napas ujungnya kematian.
Logika ini yang gagal dibangun oleh BPIP, terkhusus ketua BPIP. Bagaimana mungkin berjilbab dilarang, sementara bangsa ini merdeka oleh peran Cut Nyak Dien, Cut Meutiah, bahkan hingga R.A. Kartini juga mengenakan jilbab dan menjadikan Habis Gelap Terbitlah Terang sebagai manifestasi nyata dari tafsir Surat Al-Baqarah ayat 256.
Ketiga, pengaturan dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), disebutkan bahwa masyarakat bebas beragama sesuai dengan keyakinannya. Termasuk di dalamnya, makna tentang atribut beragama, yakni mengenakan jilbab. Keempat, hukum Islam DI Aceh, yang menegaskan setiap muslimah wajib berpakaian menutup aurat sesuai ketentuan syariat.
Empat optik hukum tersebut di atas, telah dirangkai sedemikian rupa sesuai dengan amanat dari Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tentang stufenbautheorie atau norma berjenjang. Pancasila sebagai grundnorm atau norma dasar, menjadi pijakan hukum bagi norma-norma hukum yang lain, mulai dari Konstitusi, Undang-Undang hingga Peraturan Daerah.
Sehingga wajar, apabila ada elemen masyarakat yang melaporkan BPIP ataupun Ketua BPIP ke Polisi. Sebab dengan serangkaian landasan hukum tersebut, telah secara nyata dan jelas ada pelanggaran dalam terjadinya peristiwa pemaksaan penanggalan jilbab saat pengukuhan anggota Paskibraka.
Atas insiden tersebut, penulis menyarankan beberapa hal. Pertama, Presiden segera memberhentikan Ketua BPIP dan mengevaluasi kinerja BPIP. Mengapa Presiden? Sebab dalam sejarahnya, BPIP yang awalnya bernama Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dibentuk pada tahun 2017 oleh Presiden Jokowi berlandaskan pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.
Lalu UKP-PIP berubah menjadi BPIP atas dasar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Maka sah dan amat segera Presiden harus mengganti Ketua BPIP dan mengevaluasi lembaga tersebut.
Kedua, BPIP dibentuk dalam rangka koridor menjaga Pancasila sebagai ideologi bangsa. Tindakan memaksa pencopotan jilbab, tentu tidak sesuai dengan optik hukum Pancasila. Maka seyogianya, Paskibraka dikembalikan saja ke Kemenpora. Urusan pemuda pemudi terbaik bangsa memang sudah sepantasnya menjadi kewenangan Kemenpora.
Ketiga, Pemerintah perlu menerbitkan regulasi untuk melindungi atribut keagamaan agar jangan sampai dilecehkan. Saat ini terdapat kekosongan hukum mengenai aturan teknis dan pedoman dalam menjaga atribut keagamaan ini. Sehingga kekosongan tersebut rawan dicederai dan dilanggar.
Peristiwa tersebut menjadi pembelajaran bagi kita semua. Sebagai negara timur yang berlandaskan pada agama, kehidupan berbangsa dan bernegara akan goyah jika agama dilecehkan. Mari kita jaga kerukunan beragama, terutama dalam momen kemerdekaan ini. Jilbab saat ini bisa menjadi simbol merdeka, layaknya semangka yang menjadi simbol perlawanan Palestina atas agresi Israel. Saatnya kita merdeka yang seutuhnya, menjadi bangsa yang berdikari di negeri sendiri, bangsa besar yang bangga dengan atribut agamanya.(*)