spot_img
Saturday, July 12, 2025
spot_img

Judol, Pinjol, Ojol

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Judol, Pinjol, Ojol, ketiga kata ini berakhiran dengan “ol” yang artinya online. Judol diartikan sebagai judi online, pinjol sama dengan pinjaman online, dan ojol alias ojek online. Tiga istilah ini mungkin terdengar ringan, bahkan akrab di telinga kita, tetapi di balik istilah yang singkat dan seolah lucu, ketiganya menyimpan potret buram masyarakat urban yang sedang berjuang bertahan di tengah arus digitalisasi yang deras dan serba cepat saat ini.

          Fenomena munculnya judol, pinjol, dan ojol tak lepas dari kemajuan teknologi dan derasnya arus digitalisasi. Munculmya tiga istilah ini mewakili sisi kehidupan urban saat ini. Yakni tentang harapan (judol), keputusasaan (pinjol), dan kenyataan (ojol). Judol menjanjikan kaya mendadak, pinjol menawarkan solusi cepat saat terdesak, dan ojol menjadi perlambang perjuangan dalam situasi ketidakpastian ekonomi.

          Di sudut-sudut kota Malang dan banyak daerah lain, kita bisa dengan mudah menemukan driver ojek online yang lalu lalang, iklan pinjaman cepat lewat selebaran atau WhatsApp (WA), hingga obrolan tentang judi online di warung kopi. Judol, pinjol, dan ojol telah menjadi bagian dari lanskap sosial yang semakin akrab dalam kehidupan warga dan jadi cermin tekanan hidup masyarakat, terutama kelas menengah bawah yang makin terjepit.

          Para ojol bekerja keras dalam sistem yang sangat bergantung pada algoritma dengan diperlakukan sebagai mitra, tapi tanpa hak sebagaimana pekerja formal. Sering kali mereka bekerja 10–12 jam sehari demi mengejar target, hanya untuk membawa pulang penghasilan yang tak sebanding dengan tenaga yang dicurahkan. Dalam kondisi seperti ini, banyak pengemudi ojol lantas mencari jalan pintas ketika penghasilan tak mencukupi dengan lari ke judol dan pinjol.

Kejahatan yang Mendigital

          Zaman dulu orang berjudi secara sembunyi-sembuyi. Orang bermain judi dadu atau judi sabung ayam misalnya. Mereka berjudi di tempat-tempat yang sepi seperti di kebun. Judi sabung ayam juga dilakukan di tempat yang tak mudah diakses oleh aparat keamanan. Kini, praktik perjudian masuk ke ruang-ruang pribadi melalui layar ponsel. Judol hadir dalam bentuk game, aplikasi, bahkan iklan-iklan yang menghiasi media sosial (medsos).

          Banyak orang tergoda dengan iming-iming cuan cepat, padahal yang menanti adalah jerat adiksi dan kehancuran finansial. Judol merebak tak hanya karena kemudahan akses, tetapi juga karena krisis harapan. Dalam tekanan ekonomi yang makin berat, imajinasi tentang cepat kaya mendadak menjadi pelarian.

          Ironisnya, negara kerap tertinggal dalam mengatasi laju aneka platform ilegal. Penindakan lambat, regulasi belum adaptif, dan aparat yang gamang membuat ruang digital kita menjadi lahan subur bagi penjudi berkedok teknologi.

          Tak sedikit orang yang terjerat judol akhirnya lari ke pinjol atau sebaliknya. Kita menyaksikan banyak kasus penagihan pinjol yang mengarah ke intimidasi, penyebaran data pribadi, bahkan bunuh diri. Fenomena ini membuktikan bahwa pinjol bukan lagi inovasi finansial, melainkan bentuk baru rentenir digital. Mereka menjelma predator di tengah keresahan ekonomi rakyat dengan menebar utang dan rasa takut dalam satu paket.

          Seiring dengan kemajuan teknologi, kejahatan berkembang dengan beragam modus yang baru. Digitalisasi juga telah mengubah praktik kejahatan go online. Kejahatan tak hanya terjadi di ruang-ruang nyata namun juga banyak beroperasi di ruang-ruang digital. Munculnya judol dan pinjol merupakan contoh bagaimana ruang digital itu jadi media melajunya kejahatan digital yang saat ini jadi persoalan serius.

Ekosistem Digital Tak Sehat

          Merebaknya judol, pinjol, dan ojol menunjukkan bahwa ekosistem digital kita tak sehat. Dalam situasi krisis seperti ini negara perlu hadir bukan hanya sebagai pemadam kebakaran, tetapi sebagai arsitek ruang digital yang adil. Regulasi harus diperkuat, penegakan hukum terhadap penyalahgunaan teknologi perlu tegas, dan edukasi literasi digital harus menjadi agenda utama, terutama bagi kelompok rentan.

          Ekosistem digital di area ojol juga tak sehat. Para ojol tak jarang dimainkan oleh algoritma digital. Di satu sisi, ojol memang memberikan ruang ekonomi baru yang fleksibel, mudah, langsung dapat penghasilan harian. Namun, jika dilihat lebih dalam, kerja ojol juga penuh tekanan. Pendapatan tak menentu, harus kejar poin dan bonus, dan sering kali jadi sapi perahan algoritma aplikasi.

          Ekosistem digital yang tak sehat hanya akan menjadikan teknologi digital jadi potret getir tentang bagaimana ekosistem digital yang tak sehat. Pemanfaatan teknologi digital alih-alih mampu membebaskan manusia dari penderitaan, justru bisa memperdalam ketimpangan. Ini alarm bahwa ekonomi digital tak bisa dibiarkan berjalan liar tanpa arah. Lewat judol, pinjol, dan ojol jadi pengingat bahwa di balik layar-layar aplikasi, ada jutaan orang yang sedang bertarung dengan kenyataan hidup yang keras.

          Judol, pinjol, dan ojol muncul dari akar persoalan yang sama yakni ekonomi yang tak adil, akses terhadap kesejahteraan yang timpang, dan ruang digital yang lebih cepat dari etika. Ketiganya menjanjikan solusi instan untuk kebutuhan dasar yakni hiburan, uang, dan pekerjaan. Namun semuanya memiliki potensi dapat memperdalam ketergantungan dan menjerumuskan dalam lingkaran masalah baru.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img