MALANG POSCO MEDIA – Bulan Muharram adalah salah satu bulan istimewa dalam Islam. Bulan ini disebut juga dengan syahrullah, bulan Allah. Penamaan ini mengindikasikan kemuliaan dan keistimewaan Muharram dibanding bulan lainnya. Dikarenakan Muharram bulan mulia, dianjurkan memperbanyak amalan sunah pada bulan tersebut. Di antara amalan sunah yang paling utama dilakukan pada bulan Muharram ialah puasa. Rasulullah SAW berkata, “Puasa paling utama setelah Ramadan ialah puasa pada syahrullah, yaitu Muharram,” (HR Muslim).
Selain puasa, berbagi rezeki juga dianjurkan pada bulan Muharram, terutama pada hari ‘Asyura. Keluarga terdekat adalah pihak utama yang mesti diperhatikan pada hari tersebut. Rasulullah SAW berkata : “Orang yang melapangkan keluarganya pada hari Asyura’, maka Allah akan melapangkan hidupnya pada tahun tersebut” (HR At-Thabarani dan Al-Baihaqi).
Yang dimaksud melapangkan keluarga di sini ialah mencukupi kebutuhan hidup keluarga, yaitu kebutuhan makanan ataupun kebutuhan lain. Dalam hadits tersebut dijanjikan bagi orang yang mencukupi kebutuhan keluarganya, kebutuhan hidupnya akan dilapangkan setahun.
Kebenaran hadits ini pernah dibuktikan oleh Sufyan As-Tsauri. Ia berusaha untuk melapangkan kehidupan keluarganya pada hari Asyura. Setelah itu, ia merasakan kalau kehidupannya dilapangkan sebagaimana dijanjikan dalam hadits tersebut. Sufyan As-Tsauri berkata: “Kami pernah mencobanya, dan kami memperoleh ganjarannya (kelapangan)”.
Meskipun berbagi di hari Asyura kepada keluarga itu baik dan diutamakan, tetapi harapannya, usahakan berbagi kepada siapapun, terutama keluarga terdekat, kapanpun dan di manapun, tanpa harus menunggu hari Asyura. Pada hari Asyura, kita usahakan melebihkan kebutuhan keluarga dan termasuk orang miskin agar mendapat kesunahan.
Dalam Islam, mengenal trilogi ukhuwwah, yaitu ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan antar umat Islam), ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan antar sesama warga Negara) dan ukhuwwah insaniyah (persaudaraan antar sesama anak manusia).
Islam sangat meniscayakan persaudaraan sejati, dengan dasar pemikiran bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri melainkan membutuhkan uluran tangan orang lain, karena manusia sendiri adalah makhluk sosial (zoon politicon), sehingga manusia perlu saling hormat menghormati, membantu, menyayangi dan tidak saling curiga mencurigai, menghasud, dengki, memfitnah serta mencari keburukan orang lain. Bila sifat negatif itu ada pada diri manusia sesungguhnya ia sudah tercerabut dari dasar kemanusiaannya, jauh dari ibadah.
Meminimalisir Kejahatan
Muharram termasuk salah satu dari empat bulan haram yang dimuliakan dalam Islam. Setiap memasuki bulan haram umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah, termasuk di antaranya sedekah. Sedekah adalah ibadah sosial yang dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Pada dasarnya sedekah dapat dilakukan kapan saja, tidak mengenal hari atau bulan untuk meringankan beban orang miskin. Namun, ada waktu-waktu tertentu yang jika diisi dengan sedekah akan mendapat keutamaan dari ibadah yang dikerjakan. Salah satu hari yang dimuliakan dalam Islam adalah Jumat, maka sedekah Jumat memiliki banyak keutamaan bagi yang melakukannya.
Syekh Ahmad bin Hamzah al-Ramli mengataka bahwa “Perkataan Syekh Zakariyya, dan hari raya, demikian pula hari Asyura (10 Muharram). Al-Imam al-Adzra’i berkata dari sudut pandang fiqih, dan demikian pula sangat dianjurkan bersedekah di hari Jumat karena ia adalah hari raya kita, Umat Islam seperti keterangan dalam hadits.” (Syekh Ahmad bin Hamzah al-Ramli, Hasyiyah al-Ramli ‘ala Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 406).
Masalah kemiskinan dianggap sebagai bagian dari masalah penting yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Terdapat ungkapan bahwa orang dengan kemiskinan adalah kelompok masyarakat yang berada pada tingkat yang paling rendah. Kemiskinan dianggap pendorong pelbagai tindak kejahatan. Menurut Mahmud Ahmad Sa’id al-Athrasy, dalam buku Hikmah di Balik Kemiskinan, menjelaskan bahwa kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok (makanan) adalah pendorong terkuat manusia melakukan tindak kejahatan.
Dengan demikian, ukhuwah (persaudaraan) adalah satu terobosan penting agama. Islam dengan ajarannya yang suci selalu memberikan jalan keluar bagaimana seharusnya menghadapi kemiskinan. Umat Islam yang kaya diperintahkan untuk menyantuni mereka yang hidupnya serba kekurangan (miskin). Mencintai sesama adalah ukuran terhadap pelaksanaan agama itu sendiri. Dalam sebuah hadist dikatakan “Layadkhul al jannah hatta tu’minu, wa laa tu’minu hatta tahabbu”. Tidak akan masuk surga, orang yang belum beriman, tidak dikatakan beriman jika belum mencintai.
Al-Quran memberi label mereka yang enggan berpartisipasi (walau dalam bentuk minimal) sebagai orang yang telah mendustakan agama dan hari kiamat. Seperti yang tertuang dalam QS. 107: 1-3 yang artinya “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Islam memerintahkan umatnya untuk saling membantu dan saling menolong antar sesama. Salah satunya dengan infak (sedekah), antara lain melalui QS. 35:29 yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (Al-Quran) dan melaksanakan salat dan menginfakkan sebagian rejeki yang kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perdagangan yang tidak akan merugi”.
Para jumhur mufassir dan ulama menyepakati suatu kondisi sosial yang mewajibkan orang untuk peduli. Pada banyak riwayat dikatakan bahwa infak dan sedekah bukan mengurangi harta, bahkan sebaliknya, menjadi banyak dan berkah. Dalam hal lain juga disampaikan bahwa infak dan sedekah dapat menghindarkan orang dari’ dan kesempitan. Dengan demikian hakikat shodaqoh adalah mengemban amanah sosial, meniscayakan kehidupan seimbang, dan meminimalisir kejahatan. Situasi sosial yang seimbang akan berdampak kenyamanan kepada individu. (*)