Oleh: Imam Afudloli
Plt Kepala TU SMAN 1 Sumbermanjing
Perayaan hari kemerdekaan negara Republik Indonesia yang ke-79 ini sangat meriah dan beragam. Berbagai acara digelar oleh masyarakat. Pentas seni, jalan santai, hingga karnaval budaya yang menjadi agenda tahunan. Dengan perayaan kemerdekaan yang meriah, apakah kita sudah benar-benar menjiwai perjuangan para pahlawan pendiri bangsa ini?
Berbagai kegiatan di atas mudah kita jumpai di kurun waktu bulan Agustus hingga September. Paling menyita perhatian adalah karnaval budaya yang dilengkapi dengan berbagai piranti pendukung. Seperti penggunaan sound system versi horeg. Tak jarang pula kita jumpai pasukan penari berbaju seksi baik versi kebaya maupun model casual. Karnaval budaya secara sihir mampu memutar keuangan masyarakat tanpa sadar dengan jumlah besar seperti kebutuhan sewa sound system hingga pengadaan kostum.
Di beberapa platform digital akhir-akhir ini ramai dibahas perayaan hari kemerdekaan yang berlebihan memunculkan pro dan kontra. Semisal karnaval budaya tetapi penggunaan baju seksi dan sound system yang berlebihan. Komentar miring acapkali terdengar tetapi tidak sedikit pula yang menangkis dengan kalimat “halah wong setaun pisan ae.”
Pertanyaannya sudah siapkah kita dengan perayaan karnaval budaya seperti di atas? Siapkah kita dengan digital vigilantism karena jejak digital (konten video yang dibuat) bisa dinikmati kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun. Atas beredarnya video karnaval budaya yang bisa dikatakan serba seksi kalangan dancer dan sound horeg yang berlebihan, semua masyarakat bebas memberikan pendapat tanpa terkecuali. Penghakiman sepihak dan komentar negatif sudah sepatutnya bisa kita minimalisir.
Lantas seperti apa langkah tepat yang harus ditempuh dalam rangka perayaan karnaval budaya? Siapkah kita dengan infiltrasi budaya yang masih ada pro kontra di masyarakat? Sudah siapkah kita dengan konten-konten seksi menjadi tayangan reels dan video pada platform digital untuk anak-anak kita nantinya?
Seni memang tidak pernah ada batasan-batasan yang mengharuskan seseorang bersikap lebih kaku, namun seni terapan mampu menempatkan audience yang sesuai dengan kapasitas seni yang ditampilkan. Kita sering memiliki anggapan bahwa budaya seni Indonesia yang luar biasa, apakah kita sepakat budaya karnaval yang menampilkan pasukan berbaju seksi dan sound system yang berlebihan sebagai budaya adi luhung bangsa ini?
Sejarah karnaval itu sendiri pernah dilakukan saat sehari setelah kemerdekaan tepatnya 18 Agustus 1945. Mengutip indiekraf.com (30/8/2024) sekitar ratusan orang berkumpul dan melakukan iring-iringan di Jalan Pegangsaan Timur dengan membawa tongkat ujungnya diberi bendera merah putih.
Beberapa orang lainnya membawa kain bertuliskan “sekali merdeka tetap merdeka”, inilah cikal bakal perayaan kemerdekaan yang kita temui hari ini. Hingga kurun waktu tahun 1950 perayaan ini rutin dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia hingga saat ini.
Apakah fenomena ini hanya terjadi di wilayah Malang Raya? Jawabannya adalah tidak, hampir wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah melaksanakan perayaaan kemerdekaan dengan karnaval sound horeg dan berbaju seksi. Kajian perayaan seperti ini sepertinya perlu dilakukan mendalam sebelum benar-benar kita adopsi sebagai budaya baru dan penormalan akan hal ini berlaku di masyarakat. Menuntut peran-peran efektif dari setiap struktur masyarakat untuk berdialog dan menghasilkan gagasan.
Filosofi Jawa yang sering kita dengar adalah ‘Papan Nggowo Empan’ rasanya tepat untuk dikumandangkan kembali kepada sebagian masyarakat sebelum benar-benar menerima budaya baru layaknya karnaval yang sering kita dapati.
Filosofi ini memiliki arti ketika melakukan sesuatu harus dengan kehati-hatian dan memperhatikan situasi keadaan. Jangan sampai penormalan masuknya budaya baru adalah hal yang tidak pernah kita pikirkan, kita suarakan lantas menjadi penyesalan di kemudian hari.
Secara Psikologi (Notoatmodjo, 2007) bahwa Perilaku dapat juga diartikan sebagai aktivitas manusia yang timbul karena adanya stimulasi dan respons serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku manusia dalam menerima respon inilah yang menuntut kita untuk lebih waspada dan bijak mengambil sikap.
Perilaku refleksif dilakukan secara spontan ketika seseorang mendapati respon dari luar. Sedangkan perilaku non refleksif adalah perilaku yang dikendalikan atau diatur oleh kesadaran atau otak dan hasilnya adalah perilaku yang dibentuk dan dikendalikan.
Mengutip quote Ibnu Khaldun seorang sejarawan muslim dari Tunisia bahwa “Manusia adalah anak dari kebiasaan, bukan anak dari nenek moyangnya.” Menginterprestasikan hal tersebut bahwa perilaku manusia dibentuk atas dasar kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus bukan tidak mungkin akan menjadikan sebuah budaya baru. Sejauh mana kita mampu berpikir bahwa masuknya budaya baru itu perlu atau tidak perlu diikuti.
Mengulang beberapa pertanyaan atas apa yang kita alami saat ini, apakah kita sebagai masyarakat sudah siap dengan infiltrasi budaya seperti ini?. Apakah kita siap juga dengan warisan budaya yang akan kita berikan kepada generasi penerus setelah kita? Jawabannya mungkin ada jauh di lubuk hati anda sekalian.(*)