Sharing Session Malang Mbien (1)
Dalam rangka HUT ke 110 Kota Malang, Malang Posco Media akan menurunkan rubrik Malang Mbien. Rubrik ini mengulas berbagai kebiasaan dan tempat yang pernah populer namanya namun mulai redup atau bahkan terlupakan seiring perkembangan zaman. Untuk memperkaya wawasan tentang Malang Mbien, Malang Posco Media menggelar Sharing Session, Jumat (1/3). Kali ini bersama pemerhati sejarah Agung Harjaya Bhuana.
Mungkin pernah bertanya mengapa sering digelar karnaval pada setiap hari besar? Ternyata ini salah satu kebiasaan yang sudah biasa diadakan sejak era Kolonial Belanda.
Agung menceritakan tradisi karnaval dan pawai budaya menciptakan suasana meriah memang menjadi kesukaan warga sejak lama. Menurut penelusurannya, pada era Kolonial Belanda setiap ada hari besar selalu ada karnaval.
“Misalnya memperingati Ulang Tahun Ratu Wilhemina (Ratu Belanda pada saat itu). Pawai sudah lama dilakukan. Jadi seperti kendaraan dihias, lalu keliling di sekitar Kota Malang itu meriah sekali,” papar Agung.
Dan saat itu pula memang Malang sering disebut Kota Karnaval. Selain karena senang dengan kemeriahan, Kota Malang juga dikenal sebagai Kota Bunga. Hiasan demi hiasan saat karnaval dipenuhi dengan tema bunga-bunga.
Kemudian ditambah pula kultur warga Malang yang welcome dan ramah terhadap pendatang. Maka mudah beradaptasi dengan budaya lain. Hal ini menyebabkan budaya karnaval saat itu sangat dikenal di Kota Malang.
“Ditambah, saat itu komunitas-komunitas orang Belanda banyak ada di Malang. Mereka, memandang Kota Malang sebagai Leisure Place. Tempat tenang, bersenang-senang dan santai. Nyaman. Jadi orang Belanda ketika mau menikmati suasana santai atau rileks mereka ke Malang,” papar Agung.
Karena senang dan antusias dengan tradisi karnaval, warga Malang pun kerap menggelar sendiri ketika merayakan hari besar keagamaan.
Bahkan di tingkat RT RW (kawasan kampung-kampung warga) diadakan karnaval kecil-kecilan. Agung mengatakan hal ini bisa menjadi alasan mengapa warga Malang Raya sangat senang dengan kegiatan karnaval hingga saat ini.
“Karena mungkin DNA nya warga Malang sejak dulu memang suka dengan karnaval. Sampai sekarang kan,” tutur mantan Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang ini.
Hal lain yang menunjukan tradisi penduduk Malang yang masih diteruskan hingga saat ini adalah budaya olahraga. Warga Malang suka berjalan, berolahraga sambil bersosialisasi. Menurut penelusuran Agung, di era Kolonial Belanda, pemerintahan Belanda memiliki peta tracking (jalur olahraga).
Ini menjadi kebiasaan penduduk Malang dulu saat ingin bersosialisasi. Mereka akan berjalan menyusuri jalur tracking.
“Kalau sekarang sebutannya hash atau uklam-uklam. Itu dulu memang sudah dilakukan orang Belanda dulu. Mereka jalan, makan, lalu bicarakan bisnis. Sepertinya sekarang masih dilakukan, kalau kita lihat orang tua kita masih sering jalan-jalan mlaku-mlaku, jalan sehat. Anak mudanya mungkin jogging,” tegas Agung.
Mengapa orang Malang bisa dibilang tertib dalam berolahraga? Juga bisa dilihat 100 tahun lalu. Dimana warga Malang sudah biasa melihat dan merasakan atmosfer dan fasilitas olahraga yang berkembang. Jauh lebih berkembang dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Buktinya dengan dibangunnya Stadion Gajayana yang juga kemudian ada fasilitas renang yang dulu dikenal dengan nama Slembat.
“Dan dulu di lokasi Poltekes di Jalan Simpang Balapan sekarang, itu dulu tempat pacuan kuda. Zaman itu pacuan kuda sangat populer di kalangan orang Belanda. Dan aristocrat lainnya. Banyak yang datang dari luar daerah dan khusus ke Malang untuk melihat pacuan kuda. Selain karena ada praktik judi pacuan kuda memiliki daya tarik,” jelas Agung.
Keberadaan pacuan kuda memicu banyaknya perkembangan infrastruktur juga kultur bagi warga pribumi Malang saat itu. Warga biasa dengan fasilitas olahraga, kemudian juga biasa dengan budaya asing yang dibawa. Seperti gaya hidup, cara berpakaian dan budaya kemeriahan.
Hal tersebut membuat Malang menjadi lebih terkenal. Tidak hanya karena menjadi kota tujuan wisata saat itu, tetapi juga destinasi olahraga kelas atas.
“Dan menariknya, saya pernah menemukan artikel dokumen berita lawas. Banyak laporan kriminalitas, yakni copet di area pacuan kuda itu. Bahkan copet nya datangnya bukan dari Malang. Makanya kenapa orang tua atau orang dulu itu, kalau yang wanita biasanya menempatkan uang di dalam bra atau stagennya. Karena dulu sudah marak copet karena ya Malang ramai memang,” papar Agung.
Hal-hal lain yang dibahas dalam sharing session ini pun masih banyak. Agung juga menceritakan lebih dalam uniknya penamaan-penamaan daerah Kota Malang zaman dahulu. Seperti nama-nama daerah Kacuk, Jagalan, Penanggungan, Dinoyo yang dulu disebut Mbioro, dan mengapa banyak nama tempat di Kota Malang dinamakan dengan nama-nama tanaman. (ica/van/bersambung)