Asmari Romadhon, Perajin Woggle dari Malang
Di tangannya, woggle atau biasa disebut ring kacu atau kolong hasduk yang biasa digunakan saat berseragam Pramuka menjadi menarik. Itulah Asmari Romadhon. Ia memang kreatif.
===========
MALANG POSCO MEDIA– Jambore Nasional X Pramuka di Cibubur 2016 lalu menjadi titik balik Asmari Romadhon. Staf Kwarcab Pramuka Kota Malang yang kini telah menjadi seorang perajin aksesoris ini jujugan masyarakat luas.
Bukan aksesoris biasa seperti kebanyakan orang, pria yang berdomisili di Kelurahan Lowokwaru itu merupakan perajin woggle, atau biasa disebut ring kacu atau kolong hasduk yang biasa digunakan saat berseragam Pramuka.
Sembilan tahun menekuni usaha tersebut, woggle milik pria yang akrab disapa Irom itu sudah merambah mancanegara. Di antaranya Malaysia, Korea Selatan, Vietnam, Brunei, Amerika, hingga Qatar.
“Salah satu pelanggan setia, itu dari Selangor dan Johor, Malaysia. Kadang minta 300 biji, 400 biji, dan seterusnya. Pesannya itu setiap kali ada kegiatan. Jadi satu bulan sebelumnya itu mereka sudah pesan dulu,” cerita Irom kepada Malang Posco Media.
Aksesoris berupa woggle, diakui Irom memang masih jarang diketahui masyarakat luas. Selama ini, anggota Pramuka kebanyakan memakai ring hasduk berupa rotan. Sedangkan anggota Pramuka yang berusia pelajar, berupa ring hasduk yang biasanya berwarna warni.
Awal mula Irom menekuni pembuatan woggle ini ketika mengikuti Jambore Nasional X Pramuka di Cibubur 2016. Dalam satu kesempatan, Irom bertukar aksesoris kebanggan dengan anggota Pramuka yang ketika itu berasal dari luar negeri. Rupanya, anggota Pramuka dari luar negeri banyak yang menggunakan woggle dengan berbagai macam bentuk dan karakter.
“Ada yang bentuk singa, burung garuda, Apache dan lain lain. Saya dapat satu dari Thailand, karakter kerbau. Akhirnya saya terinspirasi, saya berpikir kok tidak ini saja yang saya kembangkan dan saya jual. Pulang dari Jakarta, saya mulai belajar,” kenang dia.
Setelah dari momen itu, Irom langsung mempelajari pembuatan woggle. Berdasarkan pengamatan Irom, woggle itu murni buatan tangan, bukan mesin. Sehingga dengan buatan tangan seperti itu, menurut Irom woggle ini mengandung nilai seni.
Sekitar dua pekan Irom harus berkali-kali merasakan kegagalan. Di pekan ketiga, Irom akhirnya berhasil membuat woggle berbahan resin miliknya sendiri. Minggu keempat setelah jambore, ia mulai memberanikan diri untuk menjualnya. Awalnya, tentu kepada rekan-rekan terdekat di kwarcab.
“Awalnya hanya 10 biji, Alhamdulillah laku semua. Tapi terus ada yang request; minta bentuk begini-begini bisa tidak. Akhirnya saya coba bentuk-bentuk sendiri, itu sampai satu bulan, sehingga saya bisa buat banyak karakter. Saya juga coba lewat marketplace online,” beber pria kelahiran 1 Juli 1982 tersebut.
Berjalannya waktu, Irom pun makin mahir membuat woggle. Untuk membuat satu biji woggle, Irom hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit, mulai dari cetak hingga pengecatan. Tidak hanya itu, dari sisi penjualan, woggle Irom kemudian perlahan makin diminati dari daerah lain. Misalnya seperti Bali, NTB, Batam, Kalimantan hingga Papua.
Padahal, dikatakan Irom, saat itu aksesoris woggle sebenarnya sangat jarang orang yang tahu.
“Di nasional, woggle itu orang masih awam. Jadi mengenalkan woggle itu juga tantangan buat saya. Awal-awal jual woggle, itu pernah satu biji satu bulan. Akhirnya harus bisa menjelaskan. Selain itu dari harga, biasanya harga Rp 65 ribu, saya jual Rp 30 ribu. Karakternya pun saya bikin macam-macam,” ungkapnya.
Tidak hanya karakter hewan seperti singa, garuda, dan kerbau, kini Irom memproduksi woggle dengan karakter yang menyesuaikan kearifan lokal. Salah satu yang diangkat Irom, adalah woggle dengan bentuk karakter topeng Malangan.
“Kami punya kebanggaan dari situ. Sebab, karakter topeng ini pernah dipesan orang Korea. Kami berikan pengenalan karakternya, lengkap sama cerita tentang topeng Malangan. Saya akan terus mengangkat karakter lokal, semisal Tugu Malang, topeng Malang, bahkan mungkin nanti Banteng karena ada Bantengan,” sebut alumnus MTs Sukopuro Jabung ini.
Kendati begitu, perjalanan usaha milik Irom ini bukan mulus-mulus saja. Ia sempat mendapati adanya rekan Pramuka yang meminta agar anggota Pramuka supaya mengenakan ring hasduk seperti biasanya saja. Terutama anggota Pramuka yang ada di gudep (gugus depan).
Padahal, woggle buatan Irom sebenarnya tidak masalah. Hanya saja memang penggunaannya untuk kegiatan non-formal. Misalnya seperti pertemuan, perkemahan, dan sejenisnya.
“Akhirnya, suatu saat itu kebetulan orang Kwarnas datang ke Malang, saya konsultasi dan tanya ke beliau. Nah beliau memastikan, tidak ada aturan khusus tentang woggle. Semisal itu melanggar aturan, dipastikan saya tidak akan menjual dan langsung tutup kok,” katanya.
Irom berharap usaha kerajinan woggle ini bisa terus berkembang. Sementara ini, Irom mengerjakan woggle di salah satu sudut kantor Kwarcab Pramuka Kota Malang yang ia ubah layaknya studio mini.
Kerajinan woggle ini, dikatakan Irom tidak hanya untuk kepentingan pribadinya saja. Lebih dari itu, kerajinan woggle ini juga menjadi satu bagian dari kegiatan Kwarcab Pramuka, sebagai wujud semangat Pramuka Produktif.
“Kedepan juga akan saya kembangkan ke gudep-gudep. Nanti mungkin juga ada pelatihan atau workshop ke teman-teman Pramuka untuk pembuatan woggle. Tidak hanya itu, nanti juga sekaligus aksesoris-aksesoris lainnya,” pungkasnya. (ian/van)