spot_img
Sunday, August 10, 2025
spot_img

Kasus “Es Teh Goblok”: Etika dalam Merespons Kritik

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Dalam salah satu momen ceramahnya, Gus Miftah kembali menjadi sorotan ketika sebuah interaksi ringan dengan seorang penjual es teh viral di media sosial. Dalam kejadian tersebut, awalnya beberapa teman dan jemaah yang hadir menyarankan Gus Miftah untuk memborong dagangan si penjual. Namun, respons Gus Miftah justru mencuri perhatian publik.

Ia bertanya kepada penjual itu, “Es teh kamu masih ada, nggak?”. Ketika dijawab masih ada, Gus Miftah menanggapi dengan kalimat, “Ya dijual lah, goblok!” sambil bercanda. Pernyataan ini segera menyebar luas dan menuai beragam reaksi, dengan sebagian menganggapnya lucu, tetapi tidak sedikit yang merasa itu kasar, bahkan merendahkan si penjual.

Pendukung Gus Miftah melihat peristiwa ini sebagai bagian dari gaya bicara spontan dan bercanda yang khas dari dirinya. Mereka beranggapan bahwa Gus Miftah hanya ingin mencairkan suasana dan menyampaikan pesan bahwa setiap orang harus tetap berusaha, termasuk dengan berjualan.

Namun, pihak lain mengkritik bahwa candaan tersebut tidak pantas, terlebih diucapkan di depan umum saat berdakwah, dan terhadap seseorang yang sedang mencari nafkah. Kritik ini juga menyoroti posisi Gus Miftah sebagai seorang tokoh agama, di mana setiap kata yang diucapkannya memiliki bobot lebih besar dan diharapkan mencerminkan akhlak Islami.

Candaan tersebut, meskipun mungkin tidak bermaksud buruk, menunjukkan betapa pentingnya sensitivitas dalam berbicara, terutama di tengah masyarakat yang sangat beragam persepsinya. Sebagai dai yang sering tampil di ruang publik, Gus Miftah seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih kata, meskipun dalam konteks bercanda.

Islam mengajarkan bahwa ucapan adalah cerminan dari hati, dan Rasulullah SAW selalu mencontohkan kelembutan, bahkan ketika bercanda. Dalam QS. Al-Ahzab: 70, Allah memerintahkan umat-Nya untuk berkata yang baik dan benar, yang dapat mempererat hubungan, bukan memicu salah paham.

Kejadian ini juga mencerminkan bagaimana media sosial dapat memperbesar dampak dari tindakan atau ucapan yang sebenarnya dimaksudkan sebagai humor ringan. Dalam era digital, di mana segala sesuatu dapat dengan mudah direkam dan disebarkan, setiap pernyataan, baik serius maupun bercanda, akan selalu berada di bawah sorotan. Gus Miftah, sebagai figur publik, perlu memahami bahwa audiensnya sangat luas dan heterogen. Apa yang dianggap biasa di satu konteks bisa saja diterjemahkan berbeda oleh orang lain, terlebih jika disampaikan dalam forum yang formal seperti ceramah keagamaan.

Kritik terhadap candaan tersebut adalah pengingat penting bahwa humor dalam dakwah harus dilakukan dengan penuh kebijaksanaan. Candaan yang baik adalah yang mampu menciptakan keakraban tanpa meninggalkan rasa sakit atau merendahkan martabat orang lain. Meski demikian, sebagai manusia biasa, Gus Miftah tentu tidak luput dari kekhilafan. Namun, momen ini bisa menjadi refleksi bagi dirinya untuk lebih cermat dalam mengemas pesan-pesan dakwahnya di masa mendatang, sekaligus menjadi pelajaran bagi kita semua untuk lebih bijak dalam berbicara dan bertindak. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img