MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Babak final kasus kredit fiktif Bank Jatim yang melibatkan oknum Mantan Kepala Kantor Bank Jatim Kepanjen masih belum usai. Pasalnya, meski empat dari enam terdakwa telah divonis, satu di antaranya mengajukan banding. Dialah Abdul Najib, salah satu debitur terdakwa kredit fiktif yang divonis 13 tahun bui dan denda Rp 11 miliar.
Sumardhan, SH, penasihat hukum Abdul Najib mengatakan, keputusan banding disampaikan usai sidang putusan di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat (8/4) lalu. Ia dan tim kuasa hukumnya menyebut, kasus yang melibatkan kliennya murni masalah perdata, bukan pidana.
“Betul, memori bandingnya baru kami kirim,” ucap Sumardhan saat dikonfirmasi, Selasa (19/4).
Ia mengatakan, bahwa fakta di persidangan menunjukkan bahwa saksi-saksi dari Bank Jatim memperkuat bahwa kliennya, Abdul Najib dalam membayar cicilan tetap lancar. Di mana, ada perintah dari Bank Jatim pusat untuk menghentikan kredit atas nama kliennya.
“Jadi para saksi itu juga tidak mengerti ada Col 5. Bukan ketidakmampuan membayar debitur,” tambahnya.
Col 5. yang dimaksud bermakna Kredit tidak lancar yang tertunggak lebih dari enam bulan dan telah diusahakan untuk diaktifkan kembali tapi tetap tidak membuahkan hasil. Yang ia sayangkan, JPU Kejari dalam tuntutannya, Abdul Najib dipidana 13 tahun penjara dan mengganti sekitar Rp 11,4 miliar.
Sedangkan terdakwa lain, Chandra Febrianto dituntut 14 tahun bui dengan kerugian negara Rp 22,5 miliar dan Dwi Budianto dituntut 18 tahun, dengan kerugian Rp 48,9 miliar. “Klien kami bahkan memberi nilai jaminan sama dengan uang pinjamannya,” kata pria yang disapa Mardhan itu.
Sebelumnya, dalam perkara ini, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya menetapkan Abdul Najib dinyatakan telah terbukti terlibat dalam korupsi kredit fiktif. Sebagaimana yang diatur dan diancam pada Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Abdul adalah tersangka keempat yang menjalani sidang pembacaan putusan setelah Chandra Febriyanto yang harus mendekam 14 tahun penjara. Di mana kasus tersebut diketahui sejak tahun 2017 hingga 2019 lalu. Sementara tersisa dua terdakwa lain masih menjalani proses hukum di Kejaksaan Tinggi Jatim Surabaya. Dua terpidana tersebut masih proses kasasi.
Mardhan beranggapan, jika persyaratan kredit kliennya Abdul Najib tidak terpenuhi, harusnya Bank Jatim Kepanjen berhak menolak memberi pinjaman kredit.
“Kalau tidak mampu bayar, harusnya ada peringatan tiga kali hingga terakhir jaminan dilelang,” ungkapnya. Ia menambahkan, sesuai keterangan saksi fakta hingga surat dakwaan, tidak jelas disebutkan kapan tepatnya tindakan kredit fiktif yang dilakukan Abdul Najib.
“Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum. Kemudian Jaksa dan hakim tidak bisa menentukan kapan kerugian Negara mulai ada,” tuturnya.
Sumardhan menyampaikan beberapa catatan, di antaranya putusan hakim yang dinilai bertentangan dengan sejumlah pasal. Salah satunya Pasal 19 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban dalam perjanjian utang.
“Kami menilai tuntutan yang ditujukan diskriminatif dan putusan hakim tidak adil. Sebab, harusnya klien kami dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum,” tukas Mardhan.(tyo/ggs)