MALANG POSCO MEDIA – Sesuatu yang berukuran kecil, tidak selalu nilainya kalah dengan yang berukuran besar. Terkadang justru jauh lebih bernilai. Ini terbukti dalam budidaya sayuran mini atau microgreens yang ditekuni oleh Mina Sugianto Tio.
Warga Kelurahan Sukun itu menjadi salah satu yang berupaya mempopulerkan urban farming berbentuk microgreens. Sayuran berukuran sekitar 2 sentimeter hingga 4 sentimeter ini memang belum banyak diketahui masyarakat umum, terutama di Kota Malang.
“Sebenarnya microgreens itu sudah pernah ada sebelumnya yang mencobanya, tapi tidak ada kelanjutannya. Entah mungkin karena salah teknik atau pemasarannya ya. Yang jelas kalau saya berupaya budidaya ini karena peluangnya besar,” cerita Mina kepada Malang Posco Media.
Keputusannya menekuni budidaya yang jarang dilakukan oleh umumnya petani ini muncul ketika sepulangnya dari Singapura beberapa tahun lalu. Pekerja swasta di bidang akunting ini pada tahun 2018 lalu kembali ke Kota Malang. Ia teringat microgreens begitu mudah dan umum ditemui di Singapura. Namun di Kota Malang belum populer.
Mina memang gemar berkebun. Ia sebelumnya sudah gemar menanam berbagai macam sayuran organik di rumahnya. Karena teringat microgreens, ketika ke Singapura pun ia kemudian bertekad membeli benih-benih sayuran microgreens.
Di Indonesia sebenarnya ada beberapa daerah yang menjual benih micrgreens. Tetapi karena harganya relatif mahal, maka ia memutuskan untuk membelinya langsung di Singapura bersamaan sekaligus ketika tugas dari pekerjaannya. Tidak dipungkiri, selain faktor kegemaran bertani, ia juga mempertimbangkan aspek ekonominya.
“Saya lihat microgreens sebenarnya sudah ada di supermarket. Tapi kebanyakan dari Australia, tidak ada yang dari sini. Harganya pun 100gram itu sekitar Rp 80 ribu sampai Rp 100 ribu. Memang mahal karena nilai nutrisi besar dan masih impor,” katanya.
“Saya pikir ini lumayan, siapa tahu bisa dibudidaya, makanya saya kemudian tekuni ini,” sambung wanita berusia 46 tahun ini.
Dari sisi perawatan, menurut Mina tidak terlalu berat. Namun butuh ketelatenan. Sayuran microgreens rata-rata bisa dipanen ketika berumur tujuh hari hingga 10 hari. Lebih singkat dibandingkan sayuran pada umumnya yang biasanya baru bisa dipanen sekitar satu bulanan.
Jenis sayuran microgreens ini pun beragam. Baik lokal hingga impor. Ada bayam hijau, bayam merah, sawi, bunga matahari, curly cress, wasabi hingga radish.
“Setiap orang bisa menanam kok. Tapi tekniknya beda-beda tiap tanaman. Kalau tidak pas, memang bisa busuk jadi harus mengulang lagi. Harus telaten kayak ngurus anak bayi. Starter kitnya pun kalau tidak punya baki, bisa pakai tempat makan dari mika. Dari segi biaya murah banget, walaupun memang benih yang dibutuhkan banyak,” sebut Mina.
Tentu bukan suatu hal yang mudah pada awalnya memasarkan microgreens, karena belum banyak yang tahu. Padahal microgreens di luar negeri sudah umum digunakan sebagai salad dan juga pelengkap hidangan makanan. Di Indonesia, khususnya di Kota Malang kebanyakan masih bisa ditemui di restoran dan hotel berbintang saja.
Ketika awal memperkenalkan ke teman-temannya masih relatif lancar. Namun ketika mulai mempromosikan lebih luas, tentu tidak leluasa. Bahkan pada awal itu, ia sempat dimarahi hingga dihujat oleh customernya.
“Setahun dua tahun pertama susah. Babat alas buka pasar istilahnya. Dimarah marahi kayak di marahin sama customer, ‘dipisuhi’ itu sudah biasa. Kalau mereka sudah oke deal, kita yang harus jaga untuk kontinuitas. Harus mampu untuk kirim terus. Dengan kata lain, kalau sudah tahu caranya harusnya ini mudah kok,” jelasnya.
Mina pun membuktikannya dengan mampu menjual microgreens secara rutin. Tiap minggunya, Mina memasok hingga empat baki microgreens. Sebulan, biasanya rata rata minimal 10 baki microgreens yang dijualnya. Harganya pun bervariasi. Tiap 100 gram dijual mulai dari Rp 80 ribu hingga Rp 120 ribu. Ini menjadi pemasukan yang berarti bagi seorang pekerja seperti dirinya.
“Makanya ini peluang bagus. Kalau nanti per hari bisa kirim dua baki, maka sudah sekitar Rp 150 ribuan. Kalau benih impor, tiga baki Rp 300 ribu bisa masuk. Peluang dapat uangnya lebih besar dari microgreen. Waktu satu bulan microgreens cuma tujuh hari 10 hari,” tukas alumnus Universitas Trisakti Jakarta ini.
Tidak hanya itu, budidaya microgreens juga tidak membutuhkan lahan yang luas. Di Kota Malang, lahan pertanian selalu berkurang tiap tahunnya. Alhasil di wilayah perkotaan seperti saat ini, begitu sulit untuk mengembangkan pertanian dengan mengandalkan luasan lahan. Maka dengan microgreens diyakini Mina jadi salah satu solusinya.
“Ini kan cuma modal baki, tempat tidak terlalu besar. Micrgreens cocok. Sebenarnya Malang tidak ada lahan lagi, menanam di polybag untuk sayur biasa tidak maksimal. Gantinya microgreens ditaruh di luar yang penting tidak kena matahari langsung bisa tumbuh bagus. Yang penting ada cahaya,” lanjutnya.
Tidak berhenti di situ, peluang microgreens kedepan cukup bagus lantaran fenomena asupan makanan saat ini. Belakangan jamak ditemui anak-anak yang tidak suka dengan sayur karena rasa sayur yang begitu kuat. Dengan sayuran berukuran mini ini, tentu dari segi rasa tidak sekuat sayuran biasanya.
Namun begitu dari segi nutrisinya dipastikan Mina tidak kalah dengan sayuran biasa. Bahkan banyak literatur yang menyebut bahwa sayuran microgreens nutrinisinya lebih besar, bahkan hingga dua kali lipat.
“Ketika dicoba ke keponakan saya, mereka mau kok. Nutrisinya memang beda-beda, tapi lebih banyak dari biasa. Ke depan ini, microgreens juga akan digunakan untuk fokusnya itu program stunting oleh ibu ibu PKK dan juga dari Dispangtan,” ungkap alumnus SMAK Santo Yusup Malang ini.
“Memang ada yang perlu direbus dulu supaya tidak terasa langu. Tapi banyak juga yang langsung dimakan itu mau kok,” sambung Mina.
Melalui dinas terkait, Mina mengaku siap menyebarluaskan pengetahuan tentang budidaya microgreens ini. Sebelumnya juga sudah beberapa kali ia menjadi pembicara dalam forum yang digelar pemerintah.
Mina berharap, kedepan makin banyak yang budidaya microgreens seperti dirinya. Ia yakin semua orang bisa menanamnya. Asalkan sudah mengetahui tekniknya, lalu menyemprot dan merawat dengan rutin, tanaman microgreens bisa tumbuh dengan bagus.
“Untuk menanam, jangan putus asa, menanam saja. 5-6 tahun saya menanam ini saja masih belajar kok. Sama sekalian cari tahu info-info teknologi yang bisa dikembangkan. Daripada hanya main gadget, lebih baik habiskan untuk kegiatan menanam,” tuturnya.
Ia pun berpesan kepada masyarakat luas agar tidak menyepelekan petani. Selain petani di Kota Malang ini sebenarnya banyak yang ahli, dikatakan Mina proses bertani sudah terbukti bukan suatu hal yang mudah.
“Harusnya kalau lihat caranya, prosesnya, harus lebih respect ke mereka. Jadi ya mulailah makan sayur dan hidup sehat,” pungkas Mina yang juga berwirausaha berjualan Leker ini. (ian/van)