Hanya Sekadar Tempat Kuliner, Reklame Tumbuh Subur Tak Beraturan
MALANG POSCO MEDIA-Makin ke sini, Kawasan Koridor Kayutangan (khusus poros Jalan Basuki Rahmat) terkesan kian ke sana. Kesan kawasan heritage dinilai mulai melenceng. Koridor utama Kayutangan itu justru berganti wajah jadi pusat perdagangan saja.
Apalagi banyak wisatawan yang datang ke Kayutangan menilai bahwa nuansa yang ada di sepanjang Jalan Basuki Rahmat itu tidak terasa konsep heritagenya. Sebaliknya, dengan banyaknya tempat kuliner, Kayutangan malah dinilai mirip seperti Malioboro.
“Sejujurnya menurut saya yang cocok disebut heritage mungkin hanya di dalam kampung. Cuma saya juga belum eksplor lebih dalam lagi. Kalau di sepanjang jalan ini (koridor Kayutangan) ya mirip-mirip sama Malioboro, tapi lebih modern ini,” ucap Maya Agatha, wisatawan asal Surabaya, Minggu (8/6) kemarin.
Komentar senada, sebenarnya telah banyak terlontar dari banyak wisatawan yang berkunjung ke Kayutangan. Tidak hanya itu, sejak lama juga dikritik banyak pihak karena nuansa heritage di Kayutangan memang tidak terasa.
Berdasarkan pengamatan Malang Posco Media, kawasan Kayutangan, khususnya yang ada di koridor atau sepanjang Jalan Basuki Rahmat memang telah dipenuhi banyak kafe maupun resto. Kebanyakan kafe maupun resto itu, mengusung konsep modern dan kekinian. Sehingga nuansa heritage di kawasan tersebut makin tidak terasa. Bahkan, sejumlah media reklame turut mewarnai lunturnya kesan heritage di kawasan tersebut.
Dari pantauan, setidaknya ada 16 kafe, 18 resto dan lima minimarket yang tersebar di sepanjang jalan tersebut. Sementara untuk media reklame berukuran besar terdapat sedikitnya 10 media reklame.
Pengamat sejarah dan perkotaan, Ir Budi Fathony, MTA yang juga termasuk salah satu tokoh yang mulanya menghidupkan kembali kawasan Kayutangan, bahkan sejak lama mengaku cukup kecewa dengan Kayutangan yang dinilainya melenceng dari konsep awal.
Sebelum menjadi seramai saat ini, Budi telah menyusun kajian menjadi sebuah buku berjudul; ‘Potensi Kampung Heritage Kayutangan Menjadi Destinasi Wisata di Kota Malang’. Di dalam buku tersebut, ia bersama sejumlah akademisi telah menyusun berbagai kisi-kisi penting untuk bisa dikatakan sebagai heritage.
Buku itu pun sebenarnya telah disampaikan dan diusulkan ke pemangku kebijakan di Kota Malang untuk membuat wisata heritage di Kayutangan. Sayangnya, ternyata pemangku kebijakan maupun dinas terkait, dikatakan Budi tidak cukup serius mempelajari dan mewujudkannya. Sehingga akhirnya terbentuk lah Kayutangan Heritage dan cukup viral di awal.
“Kecenderungan saat ini Kayutangan memang seperti menjadi sentra tempat kuliner. Ini yang dulu saya khawatir dan memang sempat kecewa. Bahkan ini seperti menjadi konsumsi untuk pencitraan diri bagi mereka yang ingin diakui,” ujar Budi.
Sebagai pengusul sejak 2017, Budi juga tidak pernah diajak ngobrol atau diskusi untuk pengembangan wisatanya. Jika tidak ada diskusi atau setidaknya ngobrol, tidak heran pemangku kebijakan tidak paham dengan maksud wisata heritage.
Masyarakat umum bahkan wisatawan, baik regional maupun mancanegara, tidak heran banyak yang tidak mendapatkan apa-apa dari Kayutangan selain berkulineran. Sehingga sampai saat ini, kritik terus mengalir. Bahkan mengarah kepada dirinya.
Sebagai pengusul 2017 lalu, pihaknya buktikan dengan kajian akademisi. Pihaknya tidak pernah diajak ngobrol.
“Mereka selama ini jalan sendiri. Padahal kami yang mengawali, saat itu kami sebagai Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang. Tapi banyak kritik disampaikan kepada kami. Ya saya biarkan saja,” tutur dia.
Sementara terkait banyaknya reklame yang tersebar di Kayutangan, menurut hemat Budi, dirinya tidak terlalu mempermasalahkan. Namun semestinya reklame itu pun masih bisa dikonsep dan didesain dengan kreatif.
“Sebenarnya heritage bisa diterjemahkan style dan karakternya. Reklame kalau tempo dulu sesuai di buku Malang Tempo Dulu karya Pak Dukut itu sudah lengkap. Mulai font, warna, dan sebagainya ada. Kreativitas itu tidak dibatasi wilayah, tapi vintage kan bisa. Jadi reklame pun jangan ’emosional’ sehingga wajah koridor yang semestinya punya nilai jual heritage, tapi malah mengaburkan heritage,” kata dia.
“Jadi boleh saja ada reklame, tapi tematik heritage harus dipegang dulu. Kreatifitas designer media, periklanan, itu yang malah kami tuntut. Sebenarnya tidak salah, tapi tolong ada batasan,” sambungnya.
Budi pun berpesan kepada seluruh pemangku kebijakan agar melibatkan kembali penggagas awal. Setidaknya, agar Kayutangan tidak menjadi seperti Malioboro seperti anggapan masyarakat luas
“Mengajak kami itu kami tidak minta bayaran kok. Libatkan kami karena kami itu yang mengusulkan tapi kami yang dapat kritik. Ya monggo duduk bersama, itu untuk mencari pembenaran bukan mencari kesalahan,” harap Budi.
Terpisah, Kepala Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata Kota Malang Baihaqi menyampaikan, Pemkot Malang telah menyusun redesain Kayutangan yang menggandeng Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). (ian/van)