Keberadaan dan peran strategis IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) memiliki peran penting dalam upaya penyelesaian masalah domino korban penyalahgunaan dan pencandu NAPZA. Data BNN sepanjang tahun 2022 ada 31.868 pecandu atau penyalahguna narkotika yang menjalani rehabilitasi, baik medis maupun sosial.
Belum lagi jika melihat data Indonesia Drugs Report tahun 2022 (puslitdatinbnn.2022) menyebutkan 43.320 orang menjalani rehabilitasi pada tahun 2021 yang saat ini berada di fasilitas rehabilitasi milik BNN, Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Sosial RI, dan Lembaga Pemasyarakatan Kemenkumham RI.
Rehabilitasi Medis dan Sosial
bagi Korban dan Pecandu Narkotika
Mandat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, secara eksplisit menyatakan penanganan korban dan pecandu narkotika, perlu mendapatkan layanan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Artinya penanganan korban dan pecandu narkotika “wajib” dilakukan upaya sinergis rehabilitasi medis dan sosial, dengan operator/ pelaksana kementerian, OPD, dan mandatory yang terkait.
Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri. Artinya tidak semua rumah sakit boleh melaksanakan rehabilitasi medis apabila tidak memenuhi syarat dan kualifikasi layanan medis bagi pencandu narkotika.
Kemudian, keterlibatan pemerintah atau masyarakat untuk menyelenggarakan, lembaga rehabilitasi tertentu yang dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri, semacam IPWL milik masyarakat karena kepeduliannya terhadap korban dan pecandu NAPZA.
Selanjutnya, rehabilitasi sosial korban dan pecandu narkotika dapat melalui pendekatan keagamaan, tradisional, dan pendekatan alternatif lainnya. Sejalan dengan rehabilitasi medis, bahwa lembaga rehabilitasi sosial dapat diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
Rehabilitasi medis dan sosial, ibarat sekeping mata uang yang pelaksanaannya tidak dapat parsial. Pola-pola kebijakan yang dibangun oleh pemerintah, masyarakat dan juga stakeholder, harus berperspektif dan berfrekuensi yang sama.
Upaya tersebut tercantum dalam komitmen antar pihak dalam pemerintahan melalui Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, dan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor PER005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, dan Nomor PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.
Ke ‘HADIR’ an Komunikastif untuk IPWL
Program ATENSI selama dua tahun ini bagi pegiat aktif IPWL kerap mengesampingkan peran dan fungsi IPWL yang selama ini berjalan bahkan perubahan sangat cepat. Bahkan slogan HADIR (Humanis, Adaptif, Dedikatif, Inklusif dan Responsif)Kemensos RI, dalam program ATENSI NAPZA dipandang dan seolah-olah menjadi aktivitas charity (baca: bantu-bantu), mengesampingkan fokus rehabilitasi sosial di IPWL, sehingga beralih menjadi program bantuan sosial temporer, tidak sustainable dan hak-hak dasar pencandu narkotika diabaikan.
Mencermati hal tersebut, jelas ada ketersumbatan delivery policy yang berkomitmen dalam merawat asa korban dan pencandu narkotika di IPWL, dalam program rehabilitasi sosial yang utuh. Kajian Kemensos RI setelah mendapatkan laporan BPK terkait temuan ketidakpatuhan pengelolaan bantuan IPWL.
Dasar temuan itulah yang menjadi titik perubahan kebijakan oleh Kemensos RI, namun demikian para pegiat IPWL yang melakukan aksi damai tanggal 10 Januari 2023 mencermati bahwa kebijakan baru Kemensos RI dengan Program ATENSI justru banyak mengabaikan hak-hak korban dan pecandu NAPZA serta peran-peran tenaga profesional.
Ke ‘HADIR’ an komunikatif perlu dilakukan semua pihak, baik KEMENSOS RI maupun pegiat IPWL, dalam ruang dialog. Slogan HADIR, layak dielaborasi semisal, Humanis dengan mengedepankan aspek kemanusiaan untuk kepentingan korban penyalahgunaan dan pencandu NAPZA, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam implementasi layanan di lapangan.
Selanjutnya, Adaptif yang dalam hal ini bukan dimaknai pengeloaan bantuan yang tidak patuh karena tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan kemudian dimafhumi dan diamini, tetapi mencermati temuan BPK adanya ketidakpatuhan dalam pengelolaan bantuan itu dengan mencari solusi terbaik, sesuai dengan prinsip pelaporan keuangan dan sekaligus sesuai dengan apa yang sebenarnya diperlukan penerima manfaat di IPWL. Kemudian, Dedikatif, komitmen semua pihak dalam urusan pencegahan dan rehabilitasi korban dan pecandu NAPZA perlu diapresiasi yang tinggi. Pola intervensi yang komprehensif, terhadap korban dan pencandu NAPZA dengan melibatkan keluarga, skema multilayanan, perlu ditinjau kembali agar dedikasi ini lebih optimal sesuai dengan kualifikasi dan kepakarannya.
Inklusif, dalam konteks korban dan pencandu NAPZA harus dilakukan oleh semua pihak tidak hanya petugas di IPWL. Namun keluarga dan masyarakat juga harus inklusif untuk mau dan rela menerima kembali meraka yang telah sembuh dan sehat dari ketergantungan penyalahgunaan NAPZA, baik saat penerima manfaat itu dalam proses rehabilitasi maupun pasca rehabilitasi. Dukungan sosial, menihilkan stigma perlu menjadi kunci inklusifitas publik. Terakhir yaitu Responsif, yang tidak reaktif dan tidak intimidatif, penulis kira langkah yang harus dilakukan semua pihak dalam mendukung semua kebijakan dalam upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA serta proses rehabilitasi.
Kopi Darat Nasional untuk IPWL
Kopi darat nasional (KOPDARNAS) untuk IPWL, mungkin diksi tepat dalam mengurai problem yang ada di IPWL, setidaknya perlu dibahas antara lain: pertama, mencari titik temu program ATENSI bagi korban penyalagunaan NAPZA, pada aspek pengeloaan bantuan, layanan rehabilitasi sosial, dan sumber daya manusia profesional (konselor, pekerja sosial, tenaga medis, ahli agama, dll), mengundang semua stakeholder terkait NAPZA.
Kedua,melakukan evaluasi menyeluruh atas implementasi Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2014 Tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Yang Berhadapan dengan Hukum Di Dalam Lembaga Rehabilitasi Sosial.
Kemudian, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Standar Nasional Rehabilitasi Sosial Bagi Pecandu Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya.(*)