.
Friday, December 13, 2024

Keadilan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si

Ada sebuah kisah teladan kepimpinan dari Khalifah Umar bin Khattab. Di suatu petang menjelang Adzan Maghrib berkumandang sang Amirul Mukminin Umar bin Khattab berjalan menuju Masjid Nabawi di Madinah. Di langit, matahari yang hendak beranjak ke peraduan menyisakan semburat kemerahan di saat terbenam. Suasana di Kota Nabi semakin menawan karena pelepah kurma di kebun-kebun warga melambai-lambai dihembus angin senja. Di tengah perjalanan sang Khalifah bergumam, seandainya saja aku menjadi pohon kurma, maka nanti ketika mati tak akan dipersoalkan lagi.

Namun, Umar bukanlah pohon kurma. Sahabat Nabi yang diberi gelar Al Faruq itu adalah manusia yang nanti setelah mati akan dibangkitkan lagi untuk dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dia lakukan selama di dunia. Apalagi Umar adalah seorang pemimpin umat. Khalifah yang juga dijuluki Singa Padang Pasir itu tak mampu membendung air matanya jika ingat akan pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Suatu ketika, Aslam sang pembantu yang melihat Umar menangis bertanya, mengapa engkau menangis sang Amirul Mukminin? kepada Aslam, Umar menjawab bahwa dia takut akan siksa kubur dan azab neraka. Tapi bukankah engkau telah dijamin masuk surga? tanya Aslam. Menurut Umar, di akhirat nanti dia akan mendapatkan hukuman paling awal apabila melakukan kesalahan. Dia baru tidak akan mendapat hukuman jika mendapatkan ampunan dari Allah SWT.

Wahai Amirul Mukminin, engkau pemimpin yang adil yang tak pernah berbuat kesalahan, kata Aslam. Umar bukannya terhibur, namun air matanya justru kian deras mengalir. Sambil berderai air mata, Umar menjelaskan bahwa di akhirat nanti sebagai pemimpin, dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinanannya. Termasuk jika dalam kepimpinannya masih ada rakyat yang tidak mendapat perlindungan, lalu di akhirat kelak mereka menuntut keadilan di hadapan Allah SWT.

Terkait dengan kepemimpinan Allah SWT berfirman di dalam al Quran Surat Shod, 26 yang artinya “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah SWT. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah SWT akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.

Sering Umar ‘blusukan’ di tengah malam, membelah dinginnya angin malam Kota Madinah demi memastikan bahwa semua rakyat telah terpenuhi hak-haknya dan mendapat keadilan. Di waktu yang seharusnya dia bisa beristirahat di tempat tidur empuk, mewah serta nyaman, Umar bin Khattab ‘blusukan’ untuk memastikan tak ada rakyat yang kelaparan.

Hingga suatu malam ketika tengah beristirahat sebuah lorong jalan di dekat rumah kecil, sayup-sayup Umar mendengar percakapan dari dalam sebuah rumah. “Wahai Tuhan, kehidupan kami diimpit kemiskinan. Namun, Khalifah Umar bin Khattab tidak pernah peduli kepada kami”, kata seorang Ibu dari dalam rumah tersebut. “Duhai ibuku janganlah kita mengeluh. Sesungguhnya, Allah Maha Adil. Meski tidak dibantu oleh Khalifah Umar, Allah memberikan kita rezeki,” kata wanita lain dari dalam rumah.

Umar kemudian tahu bahwa di dalam rumah tersebut tinggal seorang ibu dan anak gadisnya. Umar menyesal karena tidak pernah ‘blusukan’ sampai di tempat ini untuk membantu keluarga miskin tersebut. Umar kemudian mencoba mendengar lagi percakapan dari dalam rumah kecil itu. Tadi sore ibu memerah susu kambing. Besok, ibu akan membawa susu itu ke pasar. Semoga kita bisa membeli sedikit makanan dan keperluan kita, kata sang Ibu. Saya doakan ibu semoga besok ada orang yang membeli susu kambing kita. Jika ada uang yang tersisa setelah membeli bahan makanan dan keperluan kita, semoga ibu bisa membelikanku pakaian. Pakaianku yang ada sudah robek. Aku malu memakainya keluar rumah, kata sang anak.

Kian terenyuhlah hati Umar bin Khattab mendengar percakapan tersebut. Ucapan sang gadis membuat Umar makin sedih. Sebelum tidur, jangan lupa masukkan susu itu ke dalam botol. Besok pagi, Ibu akan membawanya ke pasar, kata sang Ibu. Baiklah, Ibu, aku masukkan sekarang, jawab si anak. Namun tiba-tiba, susu yang dituangkan ke dalam botol itu tumpah ke lantai. Dengan perasaan menyesal, gadis itu berkata, Maafkan aku, Ibu, karena susu yang aku tuangkan tumpah ke lantai. Jadinya tinggal separuh.

Dengan kesal, Ibunya berkata, Wahai anakku, kita memerlukan uang untuk membeli makanan dan pakaianmu. Dengan susu yang sedikit itu, tentu tidak akan cukup. Wahai Ibu, apa yang harus aku lakukan? Ucap anak itu sedih. Campurkan susu itu dengan air agar bertambah banyak, suruh ibunya. Namun gadis itu tidak mau. Kepada sang ibu, dia menyampaikan pesan Umar bin Khattab bahwa manusia harus senantiasa bersikap jujur. Mendengar hal itu, Umar pun beristighfar. Keesokan harinya, Umar bin Khattab menyuruh Aslam, pembantunya pergi ke rumah wanita tersebut. Sang khalifah meminta kedua perempuan itu menemuinya.

Umar bin Khattab terpikat dengan kejujuran gadis yang kemudian diketahui bernama Fatimah tersebut. Umar pun meminang Fatimah untuk dinikahkan dengan salah satu putranya Ashim. Tidak lama setelah itu, Ashim dan Fatimah pun menikah. Mereka hidup bahagia. Khalifah Umar bin Khattab pun sangat sayang kepada Ashim dan Fatimah. Umar senantiasa memanjatkan doa, Wahai Tuhan, alangkah bahagianya jika ada dari keturunanku mengisi dunia ini dengan keadilan, sebagaimana dunia ini dipenuhi kezaliman.

Pada akhirnya Allah SWT mengabulkan doa Umar. Ashim dan Fatimah memiliki anak perempuan cantik bernama Laila yang ketika dewasa menikah dengan Abdul Aziz. Dari pernikahan tersebut Laila dan Abdul Aziz dikaruniai putra bernama Umar bin Abdul Aziz yang kelak menjadi khalifah.

Keteladanan Sang Pemimpin

Setelah Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab adalah teladan berikutnya bagi para pemimpin. Banyak kisah keteladannya yang bisa dicontoh oleh para pemimpin. Dan pada dasarnya kita semua adalah pemimpin, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW, yang artinya “Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpinnya.

Penguasa adalah pemimpin bagi manusia, dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya, dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin terhadap harta tuannya, dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang harta yang diurusnya. Ingatlah, masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.

Maka, menjadi pemimpin seperti Umar bin Khattab mungkin tidak mudah, tapi setidaknya kita berusaha agar bisa berlaku adil terhadap yang kita pimpin, menebarkan energi positif, menjauhkan energi negative serta member manfaat kepada elemen di sekelilingnya. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img