Di tengah derasnya arus informasi dan deras pula arus kepentingan yang membalut ruang publik saat ini, muncul sebuah pertanyaan yang menggelitik: masih perlukah keberanian intelektual akademisi? Pertanyaan ini tidak sekadar retorika, melainkan refleksi atas kondisi akademik dan sosial-politik kita belakangan ini.
Akademisi, yang idealnya berdiri di garda depan sebagai penafsir kritis realitas, kini sering terjebak dalam dilema antara idealisme dan pragmatisme, antara keberanian bersuara dan kenyamanan personal.
Keberanian intelektual bukan sekadar keberanian mengeluarkan pendapat, melainkan kemampuan seorang akademisi untuk menegakkan kebenaran berdasarkan data, analisis, serta nurani. Ia menuntut konsistensi antara ilmu yang diajarkan dengan realitas sosial yang dihadapi.
Dalam konteks ini, akademisi bukan hanya pengajar di kelas, melainkan juga agen perubahan yang membangkitkan kesadaran masyarakat. Namun, keberanian intelektual kerap berhadapan langsung dengan risiko: risiko kritik balik, risiko marginalisasi, bahkan risiko kriminalisasi.
Di Indonesia, kita bisa melihat bahwa suara kritis akademisi sering kali dipandang sebagai ancaman oleh kelompok yang merasa terganggu. Ada akademisi yang memilih diam karena khawatir reputasi, posisi jabatan, atau kenyamanan hidupnya terganggu. Ada pula yang berani berbicara, namun kemudian mengalami tekanan politik, administratif, atau bahkan sosial. Fenomena ini memperlihatkan betapa keberanian intelektual bukan hanya persoalan kapasitas berpikir, tetapi juga keberanian moral untuk menanggung konsekuensinya.
Apakah keberanian intelektual masih relevan? Jawabannya: justru semakin relevan. Di era pasca-kebenaran (post-truth), ketika opini bisa dengan mudah mengalahkan fakta, kehadiran akademisi yang berani menegakkan data dan akal sehat menjadi semakin penting. Bayangkan jika kampus hanya melahirkan lulusan cerdas secara teknis tetapi miskin keberanian moral.
Masyarakat akan kehilangan kompas etis dan intelektualnya. Akademisi yang memilih diam dalam pusaran kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sejatinya sedang menyumbang dalam kelanggengan masalah.
Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kompleksitas situasi.
Akademisi hidup dalam sistem yang kadang justru membatasi ruang kritik. Tekanan birokrasi, tuntutan administratif, hingga aturan-aturan formal sering membuat mereka sibuk dengan laporan, akreditasi, dan publikasi, sehingga energi untuk bersuara di ruang publik menjadi tersita.
Akibatnya, suara akademik sering kalah bising oleh komentar selebritas atau influencer yang lebih menarik perhatian media. Di sinilah letak tantangan keberanian intelektual saat ini: bagaimana menjadikan suara akademisi tetap lantang, relevan, dan terdengar, di tengah dominasi wacana instan.
Selain itu, perlu dicatat bahwa keberanian intelektual bukan berarti selalu mengkritik pemerintah atau kebijakan tertentu. Keberanian intelektual bisa berupa sikap konsisten dalam menjaga integritas akademik, menolak plagiat, menegur mahasiswa yang curang, atau menolak proyek penelitian yang sarat kepentingan. Semua itu juga bentuk keberanian, meski tidak selalu mendapat sorotan media. Sayangnya, bentuk keberanian seperti ini kerap dianggap sepele, padahal ia pondasi dari integritas ilmu pengetahuan.
Dalam sejarah bangsa ini, banyak contoh akademisi yang berani bersuara dan memberikan dampak besar. Sebutlah Nurcholish Madjid dengan gagasan pembaruan Islam, atau Soedjatmoko dengan refleksi intelektualnya tentang pembangunan dan demokrasi. Mereka tidak hanya menulis untuk jurnal akademik, tetapi juga mengisi ruang publik dengan gagasan segar, berani berbeda, dan siap dikritik. Apakah generasi akademisi saat ini masih sanggup meneladani sikap itu? Pertanyaan ini sekaligus tantangan yang harus dijawab. Masyarakat membutuhkan akademisi yang tidak hanya cerdas di ruang kelas, tetapi juga berani di ruang publik. Tanpa keberanian intelektual, kampus bisa terjebak menjadi “menara gading” yang indah dipandang, tetapi tak menyentuh realitas sosial.
Ilmu pengetahuan akan terkurung dalam jurnal, sementara masyarakat sibuk mencari jawaban dari sumber yang belum tentu kredibel. Padahal, salah satu peran strategis akademisi adalah menyuarakan kebenaran dengan dasar ilmiah. Lalu bagaimana sebaiknya? Keberanian intelektual perlu ditopang dengan solidaritas akademik.
Akademisi yang berani bersuara tidak boleh dibiarkan sendirian. Kampus, asosiasi profesi, dan jaringan ilmuwan perlu memberi dukungan moral dan institusional. Tanpa dukungan kolektif, keberanian intelektual akan rapuh, hanya menjadi kisah heroik segelintir orang yang akhirnya dilupakan. Di sisi lain, media massa juga punya tanggung jawab untuk memberi ruang pada suara akademis, bukan sekadar sensasi.
Akhirnya, keberanian intelektual akademisi memang bukan perkara mudah, tetapi tetap perlu. Ia adalah denyut nadi yang menjaga ilmu tetap hidup, relevan, dan berpihak pada kemanusiaan. Di tengah kegaduhan politik dan banjir informasi yang membingungkan, suara jernih akademisi adalah oase. Bagaimana pendapat anda? (*)