GERAKAN Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) telah menarik perhatian masyarakat dunia melalui aksinya yang radikal dan ekstrem karena dapat menimbulkan ancaman bagi keamanan dan perdamaian dunia.ISIS memanfaatkan berbagai instrumen media sosial untuk menyebarkan propaganda dan mendapatkan simpati umat muslim dari berbagai negara.
Pada November 2015 silam, pengikut ISIS melancarkan serangan beruntun terhadap kota Paris yang telah menimbulkan 132 korban tewas dan 349 lainnya terluka. Serangan tersebut tentu membuat kota-kota di Eropa bahkan Amerika hingga Asia, perlu mengantisipasi terkait kemungkinan menjadi sasaran selanjutnya.
Hal ini menjadikan ISIS tak lagi sebagai gerakan lokal melainkan sebagai gerakan transnasional. Di Indonesia, ISIS disebut dengan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS), kemudian dikatakan sebagai Islamic State (IS) atau Negara Islam untuk memperluas dukungan massa. Hal ini merupakan bentuk perlawanan baru para aktor non-state.
Mengatasnamakan Islam terhadap barat setelah tewasnya Osama bin Laden yang kemudian memukul mundur Al-Qaeda. Terdapat pandangan berbeda mengenai ISIS. Menurut pandangan tersebut, ISIS merupakan instrument of terror yang tak lepas dari campur tangan Amerika Serikat, ISIS dibentuk untuk memperkuat pengaruh AS di wilayah Timur Tengah.
ISIS merupakan Al-Qaeda yang bertransformasi dalam bentuk yang lebih radikal. Kekalahan ISIS beberapa tahun lalu, menyebabkan lebih dari 70.000 orang dari berbagai negara menetap di pengungsian karena tak dapat kembali ke negara asal mereka. Pengungsi terdiri dari para keluarga anggota ISIS, dan menjadi perbincangan lingkup internasional.
Pemerintah Indonesia, telah memberikan konsekuensi mengenai rakyatnya yang memutuskan untuk pindah kewarganegaraan, karena ISIS telah menganggap bahwa dirinya merupakan sebuah negara. Oleh karena itu, warga negara yang meninggalkan kewarganegaraannya untuk kewarganegaraan lain dengan kemauannya sendiri, akan kehilangan kewarganegaraannya di Indonesia.
Konsekuensi tersebut telah tertulis dalam Pasal 23 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI. Namun, seseorang tidak dapat dengan semena-mena dicabut kewarganegaraannya, karena setiap orang berhak memiliki kewarganegaraan.Sehingga perlu dipertimbangkan lagi terutama bagi para korban propaganda ISIS yang tidak ikut serta melakukan kejahatan.
Selain itu, warga negara yang telah meninggalkan kewarganegaraannya untuk ISIS dikhawatirkan membawa virus terorisme baru. Terungkap bahwa terdapat paling sedikit 800 orang Indonesia telah bergabung dengan ISIS di Suriah. Namun, data lain mengungkapkan bahwa paling sedikit 297 orang Indonesia yang telah bergabung.
Data ini diungkap Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan LSM internasional yang berkantor di Indonesia, mengedepankan angka diantara 200 dan 300 orang. Sekitar 60 hingga 70 orang dari angka tersebut telah pulang ke Indonesia. Menurut Badan Intelijen Negara (BIN), sejumlah 100 orang WNI pulang ke Indonesia setelah bergabung dengan ISIS di Suriah.
Hal yang mencengangkan adalah laporan dari Pew Research Center Poll setelah serangan beruntun di Paris, terdapat 10 juta WNI menyatakan tertarik dengan ISIS/IS. Propaganda di internet dipercaya telah menjadikan para pengikut ISIS asal Indonesia pergi ke Irak dan Suriah untuk bertempur memenuhi panggilan jihad. Enam orang terlacak tewas dalam aksi pertempuran tersebut.
Termasuk aksi bom bunuh diri. Data Kementerian Luar Negeri, sejumlah 217 WNI teridentifikasi sebagai Foreign Terrorist Fighter yang telah terdeportasi oleh otoritas sejumlah keamanan negara. Nasib para pengikut ISIS usai tewasnya pimpinan mereka akibat bom bunuh diri kian menjadi sorotan. Indonesia kembali dicengangkan oleh fakta baru.
Mayoritas anggota ISIS merupakan WNI yang meninggalkan negaranya demi bergabung dalam gerakan tersebut. Lebih dari 600 orang eks ISIS memiliki paspor WNI. Menghindari status stateless, beberapa masyarakat tanah air memiliki pandangan bahwa warga negara berpaspor Indonesia, sebaiknya dipulangkan ke NKRI.
Meski demikian, Kementerian Polkumham berpendapat bahwa kepulangan WNI eks ISIS dianggap berbahaya sehingga mengganggu keamanan nasional. Pemerintah Indonesia perlu untuk mengambil tindakan mengenai WNI yang masih menetap di Suriah dan sekitarnya. Pemerintah berhak untuk melindungi dan menjamin hak kewarganegaraan mereka.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengakui bahwa tidak ada seorang pun yang ditolak haknya untuk mengubah kewarganegaraannya. Indonesia merupakan negara yang masih mempelajari HAM, jika dibandingkan dengan negara-negara yang telah lama mempraktikkan HAM, tentunya Indonesia memerlukan proses penegasan yang berbeda.
Pemerintah dapat melibatkan BNPT untuk menangani pemulangan WNI eks ISIS ke Indonesia. Karena pemerintah tidak seharusnya menganggap sama para mantan gerakan radikal tersebut. Dengan bantuan BNPT, pemerintah dapat mengetahui profil setiap WNI dengan lebih jelas. Meski ISIS/IS menganggap bahwa gerakan mereka adalah sebuah negara, nyatanya tidak ada pernyataan resmi terkait hal ini.
Warga Indonesia yang merupakan mantan ISIS masih berstatus WNI dan dapat dipulangkan dengan syarat yaitu hukuman penjara 7-12 tahun. Dengan tidak mengizinkan WNI eks ISIS kembali ke Indonesia, justru akan mengakibatkan permasalahan internasional karena Indonesia tidak menindaklanjut dan membiarkan warga negaranya tanpa kewarganegaraan.
Indonesia akan dianggap melakukan pelanggaran HAM. Noor Huda, pendiri Institute for International Peace Building, berpendapat bila dengan kondisi seperti ini, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk tetap mengawasi musuh meskipun dari dekat. Pemulangan WNI eks ISIS juga menjadi pertimbangan, karena tidak hanya orang dewasa yang menetap di pengungsian, tidak sedikit anak-anak yang turut menetap sebagai keluarga teroris. (*)