Oleh: Rachmad K.Dwi Susilo, MA, Ph.D
Sekretaris Program Studi S2 & S3 Sosiologi,
Direktorat Pasca Sarjana UMM,
Alumni Hosei University, Tokyo
Pilkada yang diselenggarakan bangsa ini sejatinya merupakan hajatan rutin sebagai sirkulasi kepemimpinan baik di tingkat lokal maupun regional. Sekalipun bangsa ini sudah terbiasa proses politik ini, tetapi kita masih menilai tidak puas atas proses, output dan outcome selama ini. Di kalangan warga, ekspektasi tinggi pada kepemimpinan lokal ternyata sering bertepuk sebelah tangan, dimana rata-rata disebabkan rendahnya kualitas kepemimpinan publik.
Kita mendapati pemimpin berkapasitas rendah, terbukti ketika menjabat banyak permasalahan warga yang gagal diselesaikan. Ada pula pemimpin pasif yang sekadar menjalankan rutinitas birokrasi saja, seakan ada atau tidak ada pemimpin sama saja. Ada pula pemimpin yang “terlalu” enerjik dan piawai memanipulasi kebijakan, demi kepentingan pribadi kelompok.
Para aktor legislatif yang seharusnya memperkuat pelaksanaan kebijakan publik juga malahan “mengganggu” implementasi kebijakan yang rata-rata karena kepentingan pribadi dan golongan. Sekalipun “terkesan” tidak merugikan warga secara pribadi, tetapi tetap saja merugikan sistem.
Salah satu penyebab masalah tersebut karena defisit demokrasi lokal. Demokrasi melahirkan sisi positif berupa jaminan kebebasan dan transparansi, tetapi pengelolaan organisasi politik sering abai pada integritas dan kompetensi. Diakui atau tidak integritas dan kompetensi dikalahkan modal-modal pragmatis.
Menang dalam kompetisi politik jauh lebih seksi dari pada komitmen membela dan memperjuangkan kepentingan publik. Pragmatisme kekuasaan lebih seksi ketimbang urusan publik. Masuk akal, apabila muncul pemimpin-pemimpin miskin kompetensi pengaturan agenda (agenda setting) kebijakan. Di sinilah ia sekaligus menjadi permasalahan mendesak para pengelola pemerintahan pasca pilkada akhir-akhir ini.
Tugas Pemerintah
Tugas utama pemerintah perlu disegarkan kembali pemerintah. Nugroho (2022) dalam Tugas Pemerintah: Konsep, Teori & Praktik, menyatakan bahwapemerintah bertugas melayani Kebutuhan Rakyat untuk a).Dapat hidup (Nyawa, Makanan layak, Pakaian layak dan Hunian layak), b). Bertahan hidup (Perlindungan, Keadilan, Kesetaraan, Kesehatan, Pendidikan, Keamanan, Kenyamanan dan Ketertiban, serta c). Memenangkan Hidup (Kebersamaan, Pemihakan, Keandalan, Keberdayasaingan, Kemenangan dan Keberlanjutan
Nilai-nilai di atas masih abstrak, belum kongkret yang jelas membutuhkan upaya teknis, maka identifikasi permasalahan menjadi kewajiban pemerintah. Maka, telinga dan mata pemerintah harus cermat menilai dan menganalisa permasalahan, keinginan dan kebutuhan mendesak masyarakat yang dipimpinnya.
Kemampuan serap aspirasi ini berupa kemampuan mendengar isu yang disampaikan semua kelompok baik para aktivis komunitas, aktivis masyarakat sipil, pebisnis dan media massa. Isu-isu ini merupakan bahan berharga rumusan kebijakan publik.
Kecerdasan Agenda Setting
Untuk menjalankan tugas sebagai pejabat publik, diperlukan kompetensi menyusun agenda. Kompetensi ini mempertimbangkan ide-ide atau isu-isu yang muncul dari berbagai macam saluran politik yang diolah lembaga politik seperti eksekutif, legislatif atau pengadilan (Shafritz, Jay M.,dkk, 2022).
Agenda setting membekali pemimpin publik cerdas menyeleksi isu kebijakan yang bisa jadi isu mendesak kota/ kabupaten tertentu yaitu investasi daerah, pengentasan kemiskinan atau kerentanan lingkungan. Tetapi, untuk daerah lain pajak kafe-kafe. Persoalannya, jika pemimpin lokal tidak memiliki kompetensi tersebut secara baik, akhirnya, implementasi kebijakan tidak tepat, "gagal fokus", kebijakan miskin output/ outcomes atau program tidak berkelanjutan.
Dalam studi kebijakan publik, agenda setting merupakan tahap sebelum perumusan kebijakan yang dimulai dari identifikasi permasalahan kebijakan melalui tuntutan individu/ kelompok pada tindakan pemerintah dengan aktor-aktor yang terlibat yaitu media massa, kelompok kepentingan, inisiatif warga dan opini publik (Dye, 2013).
Isu yang muncul, bergerak liar, tidak fokus dan dikendalikan pelaku-pelaku beragam kepentingan, maka secara politis untuk menangkapnya diperlukan kecerdasan khusus dalam menangkapnya, baik kecerdasan menangkap realitas sosial, kecerdasan memberi solusi pragmatis dan sekaligus mengendalikan seperti tujuan kebijakan.
Berangkat dari pemaparan di atas, secara kongkret kecerdasan-kecerdasan dari para pemimpin lokal bisa diuraikan sebagai berikut. Pertama, Memahami "niat baik" dan Prosedur Kebijakan. Dalam bekerja, pemimpin lokal tidak bisa meninggalkan kebijakan sebab di dalamnya terdapat sumber daya dan pengawasan.
Kebijakan tidak akan berjalan tanpa dukungan sumber daya yang diatur dengan pemberikan reward dan sanksi. Dalam birokrasi, harus mampu menyeimbangkan tujuan dan cara. Tujuan yang baik belum tentu melahirkan hasil baik, jika prosedur tidak sesuai.
Kedua, Menggerakkan Aktor-Aktor Kebijakan. Pemimpin lokal harus memahami eksekusi kebijakan apakah cukup dipercayakan kepada birokrasi level atas atau perlu memberdayakan birokrasi tingkat bawah serta, bagaimana menguatkan kedua-duanya. Kemampuan mengorganisir kerja-kerja tim di lapangan dan memengaruhi aktor kebijakan seringkali menuntut lobi dan negosiasi.
Ketiga, Mengendalikan Kebijakan. Kendali kebijakan bertujuan menjamin kebijakan agar bisa dilaksanakan dengan baik. Pemimpin terlibat merumuskan kebijakan, mengimplementasikan dan mengontrol kebijakan. Ia selalu memonitor proses dan hasil kebijakan tersebut.
Akhirnya, kemampuan agenda setting saja tidak cukup, ia juga menyaratkan integritas dan etika kebijakan publik. Sebaik apapun agenda setting yang melahirkan perencanaan bagus, tetapi apabila pelaksana kebijakan tidak beretika dan berintegritas, maka amburadul pula kebijakan itu.(*)