MALANG POSCO MEDIA, MALANG-Kenaikan harga kedelai cukup dirasakan perajin tahu dan tempe di Kabupaten Malang. Untuk sekadar mendapat untung, mereka harus memutar otak dengan mengatur ukuran produk. Bahkan ada yang berhenti sementara, karena biaya produksi yang mahal.
Satuni, perajin tempe di Desa Penarukan Kecamatan Kepanjen ini salah satunya. Supaya tetap produksi, ia harus memutar otak untuk mendapat keuntungan. Ini akibat harga kedelai yang naik.
“Awalnya Rp 7 ribu per kilo, sekarang jadi Rp 11 ribu. Jadi keuntungannya tidak seberapa,” kata Satuni saat ditemui di sela kesibukannya membuat tempe.
Ia berujar kenaikan harga kedelai sudah terjadi sejak beberapa bulan terakhir. Dari harga yang semula berkisar 7 ribu per-kilogram, sekarang tembus Rp 11 ribu per-kilogram. Dengan kenaikan harga kedelai tersebut, otomatis biaya produksi semakin membengkak.
Banyak pengusaha tempe atau tahu seperti dirinya memilih tidak mengambil stok. Mereka hanya menghabiskan sisa untuk produksi tempe. “Sekarang banyak yang nggak kulakan, karena biayanya tidak nutut,” ujarnya.
Menurutnya, kenaikan harga tahun ini adalah yang terparah dibandingkan kenaikan harga kedelai yang terjadi setiap tahun. “Saya sekarang cuma jaga pelanggan saja, karena kedelai mahal. Kalau normal sehari keuntungan hanya Rp 50 ribu, tetapi sekarang tidak sampai segitu,” tutur perajin tempe yang memulai usahanya sejak tahun 1977.
Hal serupa dialami Sukartini, perajin tempe lain di Desa Penarukan. Ia mengaku mulai Desember kenaikan harga kedelai mulai signifikan. “Naiknya mulai Desember, tapi sekarang lebih parah,” ucap Sukartini.
Ia memilih tetap produksi namun mengecilkan ukuran produknya. “Setiap hari produksi 50 kilogram, menyiasatinya ya ukurannya terpaksa diperkecil,” tambahnya.
Terpisah Plt Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Malang Agung Purwanto menanggapi. Ia mengakui kenaikan harga kedelai yang terjadi pada komoditi kedelai impor memang dikeluhkan masyarakat produsen tempe.
“Memang ada kenaikan mulai Rp 10 ribu lebih. Rata-rata industri tahu dan tempe tidak suka kedelai dalam negeri, sukanya impor. Sementara musim panen masih sekitar Desember. Jadi berpengaruh ke pasokan kedelai di Kabupaten Malang,” ungkap Agung.
Dikatakannya, para perajin memilih untuk memperkecil ukuran demi tetap mengamankan keuntungan dan modal produksi. Agung mengaku terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan untuk mengatasi problem ini. Mengenai subsidi, kata Agung, masih dibicarakan di level Kementerian.
Pria yang menjabat Kepala Dinas Ketahanan Pangan itu menuturkan, dari hasil koordinasi dengan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, kedelai di Amerika Latin belum masa panen. Sehingga mempengaruhi import kedelai ke Indonesia. Ia juga sudah berhitung perkiraan kedelai untuk mencukupi kebutuhan produsen tempe.
Dimana kebutuhan kedelai Kabupaten Malang per-tahun sebanyak 1.725.000 kilogram. Agung berharap ada prioritas pasokan kedelai impor di Kabupaten Malang supaya dapat menstabilkan produksi tahu dan tempe.(tyo/agp)