Oleh: Imam Afudholi
Plt Kepala TU SMAN 1 Sumbermanjing
”Daeng Gassing. Mungkin engkau masih ingat keadaan orang tuaku dulu di kampung Barombong ini? Dulu orang tuaku cukup berada. Tapi sayang mereka tidak punya komitmen kuat menyekolahkan anak-anaknya, jadilah saya seperti ini. Tapi saya tidak akan meyalahkan almarhum orang tuaku karena pondasi saat itu tidak seperti sekarang ini. Saat itu tanpa pendidikan pun tetapi punya harta warisan, maka seseorang tetap bisa hidup layak.”
Kutipan di atas adalah percakapan antara Daeng Marewa dan Daeng Gasing pada buku fiksi Insya Allah Aku Bisa Sekolah: dan Merekalah Bintang Bintang Bersinar di Tepi Pantai Itu. Daeng Marewa dan Daeng Gasing mendominasi alur utama pada buku setebal 276 halaman yang bercerita tentang penyesalan Daeng Marewa karena tidak melanjutkan sekolah lantaran berbagai keadaan.
Cerita pendidikan pada masa lalu bahwa mencari ilmu bukanlah sebuah keharusan, asal memiliki harta pendidikan bisa terabaikan. Dul Abdul Rahman penulis buku mengemas cerita Daeng Marewa dan Daeng Gassing ini dengan manis dibumbui kehidupan berlatar pekerjaan nelayan. Buku ini diterbitkan Diva Press 2015 lalu.
Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hari Pendidikan Nasional ini dipilih karena sosok Ki Hadjar Dewantara dianggap sebagai Bapak Pendidikan Bangsa Indonesia. Melalui Keppres no. 316 Tahun 1959 secara legal tanggal 2 Mei diakui sebagai Hari bersejarah untuk pendidikan di Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta tanggal 2 Mei 1889. Lahir dari keluarga ningrat, Pangeran Soerjaningrat dan Raden Ayu Sandiah. Saat usia sekolah, ia bersekolah di ELS (sekolah dasar untuk anak-anak Eropa/ Belanda. Setelah lulus ia kemudian melanjutkan di Stovia (kini dikenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) meskipun pada akhirnya ia tidak tamat di Stovia lantaran sakit.
Saat usia beranjak dewasa, Ki Hadjar Dewantara sangat tertarik dengan dunia jurnalistik. Pada banyak referensi ditemukan pekerjaannya adalah sebagai wartawan. Tercatat pada surat kabar Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara (tercatat pada Biografiku.com).
Gaya penulisannya sangat kuat jika ia adalah anti kolonial. Hingga menjadi pencarian untuk ditangkap dan diasingkan ke Belanda. Di masa pengasingan ia sekolah dan mendapatkan ijazah Europeesche Akte atau ijazah yang sangat bergengsi saat itu di Belanda.
Selepas dari pengasingan ia hanya bercita-cita memajukan pendidikan kaum pribumi. Ia memiliki konsep pendidikan yang baru, hingga pada tanggal 3 Juli 1922 ia mendirikan sekolah. Sekolah tersebut bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa yang kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa. Sesemangat itu bapak pendidikan Indonesia pada masanya.
Saat ini tongkat estafet berada kuat di genggaman Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi ini harus berjibaku dengan beberapa permasalahan pendidikan di Indonesia. Pendidikan Indonesia (tahun 2021) berada pada peringkat ke-54 dari total 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan tingkat pendidikan dunia.
Data ini dipublikasikan oleh World Population Review tahun 2021. Indonesia masih kalah dengan berada di posisi ke-4 jika dibandingkan dengan sesama negara yang berada di kawasan Asia Tenggara. Seperti Singapura di peringkat 21, Malaysia di peringkat 38, dan Thailand di peringkat 46.
Permasalahan pendidikan sepertinya tak kunjung selesai. Masih terngiang jelas pembelajaran jarak jauh adalah sebuah solusi tepat saat pandemi Covid-19, namun juga mendapatkan rasa kekhawatiran bagi orang tua. Aneka game online ataupun offline dengan kemudahan untuk mengaksesnya juga dikeluhkan dan jadi biang atas penurunan prestasi peserta didik. Belum lagi tahapan permasalahan penataan waktu yang dipengaruhi oleh smartphone.
Selain itu angka putus sekolah (SD-SMA) juga masih menjadikan momok. Dengan diberikannya akses Dana BOS tujuan negara jelas untuk meringankan atau menekan biaya pendidikan. Menghapus stereotipe alasan tidak adanya biaya untuk melanjutkan pendidikan.
Angka putus sekolah meskipun setiap tahun mengalami tren turun tapi jumlahnya masih sangat mengerikan. Tercatat ada 75.843 peserta didik putus sekolah. Angka tersebut diperoleh pada setiap jenjang atau tingkat SD sebanyak 38.716, 15.042 peserta didik pada tingkat SMP dan 12.063 peserta didik tingkat SMK, serta 10.022 peserta didik pada tingkat SMA.
Belum lagi sarana prasarana pendidikan juga menjadi sebuah permasalahan tersendiri. Negara kita yang sangat luas memerlukan concern penuh dalam penataan pendidikan. Pemerataan sarana pendidikan bagi daerah pinggiran pasti menjadi sebuah pekerjaan yang sangat menyita waktu.
Rilis data dari Badan Pusat Statistik BPS per tanggal 26 November 2021 jumlah sekolah di Indonesia adalah sebanyak 217.283 sekolah. Sekolah Dasar Negeri mendominasi jumlahnya dengan besaran angka 148.743, SMP Negeri dan swasta sebanyak 40.597 sekolah. Dan jumlah sekolah SMA Negeri dan swasta 13.865 sekolah, SMK Negeri dan swasta sebanyak 14.078 sekolah.
Sangat besar jumlah sekolah di Indonesia, diperlukan penataan secara profesional dan berkesinambungan untuk memajukan pendidikan. Hal menarik lainnya secara kewilayahan, sekolah negeri dan swasta jumlah terbesar berada di Jawa Barat. Pertumbuhan penduduk pada satu titik tempat mendukung serta semakin banyaknya sekolah-sekolah baru didirikan.
Satu lagi yang menjadi tantangan pendidikan di Indonesia adalah persiapan implementasi dari kurikulum prototipe (kurikulum merdeka), penulis yakin juga tidak mudah. Membutuhkan migrasi dan persiapan data yang matang.
Perubahan kurikulum di Indonesia sudah mengalami pergantian kurang lebih 10 kali yang dilatar belakangi beberapa sebab tertentu sehingga ada kebijakan untuk menerapkan kurikulum yang baru. Setiap pengambilan keputusan ataupun kebijakan dipastikan memiliki kelemahan dan kelebihan.
Dari tantangan-tantangan di atas, negara melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dipastikan berusaha untuk mewujudkan pendidikan yang lebih maju seperti termaktum dalam alinea ke-4 Undang-undang Dasar Tahun 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terlebih tidak terjadi penyesalan layaknya percakapan Daeng Marewa dan Daeng Gassing pada pembuka opini ini. Seperti filosofi Jawa Manungsa mung ngunduh wohing pakarti memiliki makna mendalam baik buruknya hasil adalah sebagaimana usaha kita.
Jika usaha kita baik dan maksimal niscaya akan mendapat hasil baik dan begitu juga sebaliknya. Pendidikan di Indonesia yang diyakini penulis akan terus membaik, langkah tepatnya harus diusahakan pemerataan pendidikan. Baik dari segi sarana prasarana maupun sumber daya manusianya.(*)