Setiap bulan Agustus, sebagai bangsa kita merayakan hari kemerdekaan dengan meriah dan semarak. Namun, apakah tujuan subtansi dari dimerdekakannya bangsa Indonesia? Dalam Pembukaan UUD 1945 telah tersurat sekaligus tersirat tujuan dimerdekakannya bangsa ini, yaitu Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, Meningkatkan kesejahteraan umum, Mencerdaskan kehidupan bangsa dan Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Momentum lahirnya kembali nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagai dasar negara “1 Juni 1945-lahirnya Pancasila-”, dengan lahirnya Indonesia sebagai negara yang merdeka “17 agustus 1945” adalah kejadian yang saling kait mengait dan berkelindan. Keduanya tidaklah mungkin dipisahkan.
Tidak bisa kita memperingati makna kelahiran negara Indonesia tanpa memahami substansi lahirnya kembali nilai-nilai luhur bangsa sebagai dasar negara, begitu pun sebaliknya. Lebih dari sebagai fondasi sebuah bangunan negara yang akan didirikan, Pancasila memandu arah moral dari bahtera negara yang nantinya akan berlayar dan berlabuh. Sedangkan negara adalah satu satunya alat yang didirikan sebagai kekuatan yang dipercaya mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah gegap gempita dan sorak sorai kegembiraan bangsa setiap bulan Agustus mampu mewakili hakekat kemerdekaan bangsa Indonesia? Marilah kita melakukan refeleksi tentang kondisi bangsa Indonesia saat ini. Menurut berita Tempo Plus 8 Mei 2025 bertajuk “Angka Kemiskinan Indonesia Tertinggi di ASEAN. Mengapa?”
Dijelaskan, Bank Dunia mengestimasi jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 171,8 juta orang, sebanding dengan 61 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang jumlahnya 282.5 juta tahun 2024. Hasil ini sebanding dengan informasi yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik pada tanggal 2 Mei 2025 dengan tajuk “Memahami Perbedaan Angka Kemiskinan Bank Dunia dan BPS” yang membenarkan Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook bahwa tahun 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.
Walaupun nilai prosentase ini sangat jauh berbeda dengan hasil survei Badan Pusat Statistik yang menjelaskan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Apapun itu, semua data ini semakin menjelaskan bahwa Indonesia belum bisa menyelesaian permasalah yang berhubungan dengan tujuan didirikannya negara ini. Salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan umum. Alih alih kesejahteraan umum, justru kesejahteraan kelompok yang terjadi.
Sekarang mari kita bayangkan garis kemiskinan versi BPS. Jika garis kemiskinan rata-rata yang dihitung berdasarkan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) yaitu Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dari formula ini ditemukanlah garis kemiskinan rata-rata untuk Indonesia jika dihubungkan dengan penghasilan per bulan per keluarga atau rumah tangga adalah Rp 2.803.590,00. Selanjutnya, jika estimasi jumlah anggota keluarga adalah 4,7 orang, “Hal ini karena menurut BPS Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga” maka ditemukan garis kemiskinan per bulan per orangnya adalah Rp 595.242,00.
Artinya pemerintah ingin mengatakan bahwa untuk lepas dari garis kemiskinan, masyarakat cukup memiliki penghasilan lebih dari Rp 595.242,00 per orang per bulan, atau Rp 2.803.590,00 per rumah tangga per bulan, jika anggota keluarganya ada 4,7 orang.
Ironisnya, kondisi sangat memprihatinkan yang menimpa masyarakat ini berhubungan erat dengan mental suka korupsi di hampir semua lini pejabat di Indonesia. Dengan kata lain kemiskinan yang menimpa masyarakat, salah satu penyebab utamanya adalah kasus korupsi hampir di semua jenjang birokrasi di Indonesia.
Korupsi di Indonesia memiliki dampak signifikan terhadap kemiskinan. Korupsi mengurangi biaya yang seharusnya ditujukan untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga korupsi sangat memperlambat upaya pengentasan kemiskinan dan memperlebar kesenjangan.
Semua permasalahan yang menjerat bangsa ini, menggambarkan belum terimplementasikannya secara optimal nilai-nilai luhur Pancasila di setiap kebijakan yang diambil pemerintah. Pengamalan sila-sila Pancasila yang tertuang dalam kebijakan negara tidak terjadi secara holistik.
Sehingga tidak ada jalan lain, jika negara ini benar benar komitmen terhadap tujuan dimerdekakannya negara ini, maka masalah korupsi harus segera diselesaikan. Koruptor harus dimiskinkan. Selain mengakibatkan kesenjangan sosial, korupsi berakibat tidak terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di sisi lain, menurut berita Antara 25 Juli 2025 menyebutkan, pemerintah pada tahun 2025 ini telah mampu menurunkan 0,21 juta penduduk miskin dari tahun 2024. Pemerintahan Prabowo Subianto menargetkan penurunan angka kemiskinan ekstrem hingga 0 persen pada tahun 2029. Sebuah komitmen yang sebenarnya luar biasa. Yang menjadi pertanyaan, mengapa dipilih dan jatuh pada angka tahun 2029? Semoga dengan hilangnya korupsi akan mewujudkan cita cita Indonesia merdeka, yang juga menjadi target dari pemerintahahan Indonesia. Yaitu terciptanya masyarakat adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.(*)