spot_img
Wednesday, July 30, 2025
spot_img

Kena Mental Main Padel

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIAOlahraga padel sedang naik daun. Di berbagai kota besar, termasuk Malang, lapangan padel bermunculan, dari pusat kebugaran mewah hingga kompleks olahraga untuk kelas menengah ke atas. Di media sosial, para selebritas, influencer, hingga pekerja kantoran mulai mengunggah aktivitas olahraga padel lengkap dengan raket baru, outfit stylish dan hingga sepatu kekinian.

Padel seolah menjadi simbol gaya hidup baru yang menyenangkan, modern, namun berbiaya mahal. Awalnya cuma ingin olahraga, tapi lama-lama jadi stres sendiri. Bukan karena kalah di lapangan, tapi karena dompet makin tipis. Ujung-ujungnya? Kena mental dan kantong pun ambyar.

Padel memang bukan olahraga murah. Untuk satu kali sesi bermain, biaya sewa lapangan bisa mencapai Rp 200.000 – Rp 300.000 per jam, tergantung lokasi dan jam main. Itu belum termasuk sewa raket yang bisa dikenakan tarif Rp 25.000 – Rp 50.000, sepatu non-marking khusus padel, hingga pakaian olahraga yang kerap harus match dengan standar estetika media sosial.

Jika ingin rutin bermain seminggu dua kali, biaya bulanan bisa menyentuh angka jutaan rupiah. Bagi sebagian kalangan, pengeluaran sebesar ini bisa menggerus pos penting lainnya dalam anggaran keuangan pribadi. Fenomena ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah semua orang yang kini berbondong-bondong main padel benar-benar menikmati olahraganya, atau hanya sekadar tidak ingin ketinggalan tren?

Dalam istilah kekinian, inilah yang disebut Fear of Missing Out (FOMO). Keinginan untuk terlihat up-to-date, tidak ketinggalan, dan diterima dalam lingkaran sosial membuat seseorang rela mengorbankan keuangan pribadi demi mengikuti gaya hidup yang belum tentu sesuai dengan kebutuhannya. Bermain padel jadi lebih tentang “bisa dipamerkan” daripada manfaat kebugaran itu sendiri.

Dalam perspektif manajemen keuangan, fenomena ini berkaitan erat dengan dua konsep penting: opportunity cost dan budgeting behavior. Opportunity cost adalah biaya peluang, nilai dari alternatif terbaik yang dikorbankan ketika seseorang memilih suatu keputusan ekonomi. Dalam konteks padel, seseorang yang mengeluarkan Rp 2 juta per bulan untuk bermain bisa jadi sedang mengorbankan kesempatan menabung untuk dana darurat, cicilan rumah, investasi pendidikan, atau bahkan modal usaha kecil. Uang yang dihabiskan untuk kesenangan jangka pendek bisa berarti kehilangan peluang membangun kestabilan jangka panjang.

Sementara itu, budgeting behavior atau perilaku dalam menyusun anggaran menjadi cerminan sejauh mana seseorang memiliki literasi keuangan yang sehat. Individu yang terbiasa membuat anggaran umumnya memiliki kemampuan membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta mampu mengalokasikan dana secara proporsional berdasarkan prioritas.

Sayangnya, dalam realitas sosial yang serba digital dan penuh tekanan citra, banyak orang “menganggarkan” gaya hidup berdasarkan keinginan dilihat sukses, bukan kebutuhan riil. Hasilnya, anggaran menjadi defisit, tabungan tersentuh, atau bahkan muncul utang konsumtif.

Data dari beberapa survei nasional menunjukkan bahwa tren konsumsi anak muda kian mengarah pada gaya hidup impresif. Survei Katadata Insight Center pada 2023 mencatat bahwa 38 persen responden generasi milenial dan Gen Z pernah mengambil pinjaman daring untuk keperluan konsumtif, seperti belanja fashion, traveling, atau mengikuti tren gaya hidup. Sementara itu, hanya 21 persen yang menggunakan pinjaman untuk tujuan produktif seperti modal usaha atau pendidikan. Artinya, ada kesenjangan antara kemampuan finansial dengan ekspektasi gaya hidup, dan padel bisa jadi contoh nyata dari fenomena ini.

Fenomena ini juga diperkuat oleh kemudahan akses pinjaman instan. Dengan sekali klik, seseorang bisa mendapatkan dana cepat untuk memenuhi gaya hidup, tanpa benar-benar memikirkan bagaimana cara membayar kembali. Inilah yang membuat banyak generasi muda terjebak dalam siklus utang konsumtif. Padahal mereka berada di masa produktif yang seharusnya digunakan untuk membangun pondasi keuangan yang sehat.

Tentu, bermain padel bukan masalah. Olahraga apa pun yang menyehatkan tubuh patut diapresiasi. Namun, penting untuk mengukur kemampuan finansial sebelum memutuskan untuk terjun ke dalam tren, terutama yang membutuhkan biaya tinggi. Agar tidak terjebak dalam FOMO, ada beberapa tips sederhana yang bisa diterapkan.     Pertama, susun anggaran berdasarkan prioritas, bukan gengsi. Kedua, bedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sering kali yang terlihat “butuh” sebenarnya hanyalah dorongan sosial. Ketiga, jangan ragu berkata tidak jika sebuah aktivitas tidak sesuai dengan kondisi keuangan pribadi. Terakhir, fokuslah pada value dari setiap pengeluaran, bukan sekadar penampilan luarnya.

Gaya hidup modern selalu datang dengan tren dan tekanan sosial. Namun, bijak secara finansial adalah keputusan yang perlu terus diasah. Jangan sampai hanya karena ingin terlihat keren di lapangan padel, kita mengabaikan prinsip dasar pengelolaan keuangan. Karena sejatinya, yang lebih penting dari terlihat kaya adalah benar-benar kaya: dengan tabungan aman, investasi tumbuh, dan hidup tanpa beban utang konsumtif.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img