Malang Posco Media, Malang- Kebijakan penaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) kurang efektif dalam menekan angka prevalensi merokok, sebaliknya justru lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok dan peningkatan peredaran rokok ilegal.
Kenaikan tarif cukai sebesar 23 persen dan HJE meningkat 35 persen di tahun 2020 (PMK 152/2019). Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Prof Candra Fajri Ananda, mengatakan pemerintah di dalam menentukan kebijakan cukai saat ini bersandar pada empat pilar kebijakan yang meliputi pengendalian konsumsi, keberlangsungan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara, dan peredaran rokok ilegal.
“Dalam hal pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, pemerintah masih bertumpu pada mekanisme harga, sehingga kenaikan tarif cukai dilakukan setiap tahun,” katanya pada Focus Group Discussion Merajut Keseimbangan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia, di Hotel Grand Mercure Malang Mirama, Selasa (30/8).
Menurutnya, kebijakan tarif ini hanya berhasil menekan secara signifikan penurunan prevalensi perokok usia dini sampai 3,81 persen di tahun 2021 dan capaian ini sudah sesuai target RPJMN 2019-2024.
Namun, indikator prevalensi perokok usia kurang lebih 15 tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan selama hampir 15 tahun sejak 2007. Hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif.
Menurut dia, hasil dari kajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kebijakan harga tidak selalu serta merta membuat perokok untuk berhenti merokok. Hasil survei di 4 Provinsi dengan responden sekitar 1.600 responden menunjukkan bahwa sekitar 95 persen responden akan tetap merokok meskipun harga rokok naik.
Hasil survei tersebut semakin memperkuat argumen bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok (usia 15 tahun keatas) karena variabel harga rokok bukanlah faktor utama yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok.
Kebijakan cukai yang dilakukan selama ini, kata dia, justru lebih banyak menyebabkan trade off, dimana kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang excessive setiap tahunnya, lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok dan peningkatan peredaran rokok ilegal dibandingkan dengan penurunan jumlah prevalensi merokok.
“Data menunjukan bahwa terjadi penurunan jumlah pabrikan rokok, di mana pada tahun 2007 jumlah pabrikan rokok mencapai 4.793 namun pada tahun 2021 hanya tersisa 1.003 pabrikan rokok,” terangnya.
Selain itu, kata Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UB itu, volume produksi IHT menunjukkan tren penurunan dan juga penurunan pertumbuhan produksi. Data Direktorat Bea cukai menunjukkan volume produksi turun sekitar 30 miliar batang dari tahun 2019.
Karena itulah, dia menyarankan, agar kebijakan cukai perlu di-review kembali, mengingat IHT memiliki peran strategis di dalam perekonomian yang ditunjukkan dengan kontribusinya terhadap penerimaan negara yang mencapai kurang lebih 13 persen dari total penerimaan pajak.
Disisi lain, data GAPRRI menunjukkan penyerapan tenaga kerja di sector IHT sangat tinggi, terdapat sekitar 6 juta orang tenaga kerja di sepanjang rantai pasok yang terdiri dari tenaga kerja langsung di pabrik rokok sekitar 230.920 tenaga kerja, disektor pertanian tembakau menyerap 1,7 juta petani tembakau dan petani cengkeh, serta sebanyak 2,9 juta pedagang eceran dan lini distribusi.
“Posisi strategis IHT ini juga diperkuat dengan IHT sebagai salah satu industri yang asli (heritage) Indonesia yang masih bertahan dan dengan kandungan local content yang tinggi,” ucapnya. (aim)