“Kenapa gitu aja harus boong?” Sebuah slogan yang belakangan viral di sosial media dan sering dikaitkan dengan kasus-kasus kebohongan tertentu dalam kehidupan, mulai dari yang remeh hingga yang rumit. Kebohongan, dalam bentuk apapun memiliki dampak yang cukup besar pada berbagai aspek kehidupan termasuk hubungan sosial, lingkungan kerja, bahkan kesehatan mental.
Baru-baru ini, muncul sebuah fenomena yang cukup mencuri perhatian masyarakat Indonesia: kasus Pertamax yang dioplos dengan Pertalite. Kasus yang bukan hanya soal kualitas bahan bakar, tetapi juga soal kepercayaan yang tercerai-berai dari kebohongan yang akhirnya terungkap ke permukaan. Lalu, bagaimana agar kita bisa menyikapi kebohongan seperti ini dengan bijak agar mental tetap sehat?
Kasus yang dimulai dari penemuan adanya sejumlah oknum yang melakukan pengoplosan Pertalite dengan Pertamax, jelas bukan sekadar persoalan teknis terkait kualitas bahan bakar, tetapi juga sebuah bentuk kebohongan yang merugikan banyak pihak. Konsumen yang membeli Pertamax karena percaya kualitasnya lebih baik dan harganya pun lebih tinggi ternyata mendapatkan barang yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Ini adalah pelanggaran kepercayaan yang tak bisa dianggap remeh.
Di sisi lain, pengoplosan tersebut tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga bisa berdampak pada lingkungan, kendaraan, dan bahkan industri energi secara keseluruhan. Namun, yang paling berbahaya dari semua itu adalah dampak psikologis pada masyarakat yang merasa terkhianati. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem dan institusi bisa tercoreng hanya karena kebohongan tersebut. Hal ini bisa memicu perasaan cemas, marah, dan bahkan stres di kalangan masyarakat.
Penting bagi kita memahami mengapa kebohongan bisa menjadi begitu menyakitkan. Kebohongan pada dasarnya merusak sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan kita terkait kepercayaan. Kepercayaan adalah pondasi yang membangun hubungan antarindividu. Ketika kebohongan terungkap, perasaan kecewa dan kehilangan kepercayaan menjadi hal yang wajar terjadi.
Pada level psikologis, kebohongan juga bisa menciptakan ketidakpastian. Ketika kita merasa bahwa kita tidak bisa mempercayai apa yang terjadi di sekitar kita, kita akan merasa cemas dan tidak aman. Inilah yang menyebabkan kebohongan sering kali berdampak buruk pada kesehatan mental. Kehilangan rasa aman, baik dalam bentuk kepercayaan terhadap orang lain atau terhadap sistem yang ada, bisa mempengaruhi kesejahteraan psikologis kita dalam jangka panjang.
Kebohongan sering kali terjadi dalam berbagai bentuk dan alasan. Dalam kasus pengoplosan Pertamax dengan Pertalite, kebohongan ini terjadi karena adanya motif ekonomi dan keinginan untuk memperoleh keuntungan lebih. Dengan memahami motivasi di balik kebohongan tersebut bisa membantu kita untuk lebih bijak dalam merespon kasus tersebut. Ketika kita tahu bahwa kebohongan itu mungkin muncul karena faktor tertentu, kita bisa lebih fokus pada solusi daripada terjebak dalam perasaan marah atau kecewa yang berlarut-larut.
Sebagai contoh, mungkin ada oknum yang melakukan pengoplosan karena ingin meraup keuntungan lebih banyak. Meskipun hal ini tetap salah dan tidak bisa dibenarkan, menyadari motif tersebut membuat kita lebih bisa memisahkan antara perilaku individu dan nilai-nilai yang lebih besar seperti kejujuran dan keadilan.
Reaksi pertama yang sering muncul ketika kita dibohongi adalah marah dan kecewa. Perasaan ini sangat manusiawi, tetapi penting untuk tidak terjebak di dalamnya. Jika kita terus-menerus marah atau merasa tertipu, dampaknya bisa sangat buruk bagi kesehatan mental. Marah yang berlarut-larut hanya akan memperburuk keadaan dan menambah stres.
Oleh karena itu, penting untuk belajar mengelola emosi diri. Salah satu cara untuk mengelola emosi adalah dengan memberi waktu bagi diri kita untuk merenung dan memproses perasaan kita. Mari mencoba untuk lebih sabar dan berpikir rasional tentang apa yang bisa dilakukan selanjutnya. Lihat hal ini dengan perspektif yang lebih jernih.
Setelah kebohongan terungkap, kita sering kali merasa cemas dan frustrasi, kita dukung langkah-langkah yang diambil oleh pihak berwenang untuk menindaklanjuti kasus tersebut dan memastikan bahwa hal serupa tidak terulang. Dengan memfokuskan perhatian pada solusi dan perbaikan membantu kita merasa lebih berdaya dan mengurangi rasa cemas. Ini adalah langkah penting dalam menjaga kesehatan mental kita, karena kita tidak hanya menjadi korban, tetapi juga menjadi bagian dari perubahan positif.
Kebohongan bisa dicegah atau dikurangi jika ada komunikasi yang terbuka dan jujur. Ketika kita berbicara dengan orang lain secara terbuka tentang harapan, kekhawatiran, dan masalah yang ada, kita ciptakan ruang untuk kejujuran dan saling menghargai.
Oleh karena itu, mari kita mulai membiasakan diri untuk lebih terbuka dalam berkomunikasi baik dengan teman, keluarga, maupun rekan kerja. Ini akan menciptakan hubungan yang lebih sehat dan meminimalisir terjadinya kebohongan.
Kita harus memberi ruang bagi diri kita untuk memaafkan. Memaafkan bukan berarti kita menyetujui tindakan tersebut, tetapi memberi diri kita kedamaian dan melepaskan beban emosional yang ada. Dengan memaafkan, kita tidak hanya memberikan kesempatan bagi orang lain untuk memperbaiki diri, tetapi juga memberi kesempatan bagi diri kita untuk lebih sehat secara mental. Dengan pendekatan yang bijak, kita bisa menghadapi kebohongan dengan cara yang lebih arif sehingga memungkinkan kita untuk tetap tegar, sehat, dan lebih siap menghadapi apapun masalah dalam hidup ini.(*)