spot_img
Saturday, July 27, 2024
spot_img

RUMAH KITA

Kerasnya Liputan di Jakarta

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Liputan olahraga, terutama sepak bola, bisa dibilang sudah menjadi menu sehari-hari saya Stenly Rehardson di Malang Posco Media. Tapi liputan hukum, terutama kasus besar yang jadi sorotan luas adalah sesuatu yang sangat baru bagi saya. Belum pernah masuk ruang sidang pengadilan selama 10 tahun menjadi jurnalis. Kesempatan sekitar dua bulan liputan di Jakarta ketika Arema FC ber-homebase di ibu kota membuat saya mendapatkan pengalaman berharga. Itu ketika meliput sidang vonis rentetan terdakwa kasus pembunuhan terhadap almarhum Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Langsung dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

- Advertisement -

Berani men-challenge diri sendiri. Itulah yang membuat saya bisa merasakan pengalaman sangat besar dalam perjalanan berjurnalistik.

Sebenarnya saat berangkat ke Jakarta, awal Februari 2023 lalu, tak ada pesan apapun dari atasan saya di redaksi Malang Posco Media. Pesan dalam arti liputan di luar Arema FC. Mungkin, kala itu karena belum tahu akan bertahan berapa lama tim Arema FC di Jakarta.   Sebab berkaca pada rencana homebase di sekitar Jawa Tengah yang gagal, saya pun masih tidak 100 persen yakin tim Singo Edan tuntas di Jakarta. Hanya setelah itu ada pesan yang kata redaktur saya Pak Buari  takut saya baca, mungkin. Liputan di luar Arema.

“Sudah saya rencanakan pak,” jawab saya, yang ternyata tak tertulis di balasan WhatsApp. Hehehe

Sepekan pertama, saya masih mengikuti alur liputan sepak bola. Arema FC dan sedikit tentang klub-klub Liga 1 lainnya yang kebetulan berlaga di Jakarta. Lalu ditambah Timnas Indonesia dan PSSI yang bersiap menggelar Kongres Luar Biasa. Masih normal.

Pekan kedua, di situlah saya mulai berkomunikasi dengan sejumlah teman media di Jakarta. Ada rekan dari Jawa Pos yang ngepos di olahraga, yang saya kenal ketika liputan bulutangkis. Lalu, ada pula mantan rekan kerja di Malang, Om Sirhan Sahri yang kebetulan ngepos di pemerintahan, gedung DPR RI, MPR hingga kejaksaan.

“Om, info kalau liputan sidang Sambo,” tulis pesan WhatsApp saya ke Om Sirhan.

Ya saya bersemangat untuk liputan yang sudah memasuki tahap akhir. Yakni putusan atau vonis untuk Ferdy Sambo cs. Apalagi meskipun tidak intens saya termasuk kerap menyaksikan sidangnya di televisi. Bahkan mungkin hampir semua orang mengikuti. Meskipun tayangan ulang atau dari potongan-potongan video yang berseliweran di media sosial.

Putusan pertama dimulai pada 13 Februari 2023. Waktu itu Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi. Saya ingat waktu itu Arema FC memiliki jadwal latihan sore hari.

Pas pikir saya. Pagi hari saya ke sidang dan siang balik ke hotel untuk berangkat liputan sore hari di kawasan Tangerang Selatan. Hari pertama itu, saya masih bareng Om Sirhan. Selain lokasi yang tidak tahu, tentunya saya belum paham alur memasuki area persidangan.

Pukul 9 pagi saya sudah di lokasi. Wow, sudah full. Ratusan jurnalis, juga masyarakat ingin melihat sidang tersebut. PN Jakarta Selatan di kawasan Ampera Raya pun terlihat penuh. Termasuk penjagaan ketat dari petugas keamanan yang disiapkan ekstra.

Tak disangka, untuk pembacaan vonis Ferdy Sambo ini berlangsung lima jam lebih. Time is up. Waktu saya habis. Saya buru-buru balik ke hotel. Sembari perjalanan ke Kemang, saya menulis berita update-nya untuk online Malang Posco Media. Cak Tem sudah menunggu.

Setelah latihan, balik lagi ke PN, pikir saya.  Benar saja. Sampai di hotel sekitar pukul 18.00 WIB, sidang vonis Putri Candrawati belum kelar. Buru-buru saya balik ke pengadilan. Dan pas, tak sampai lima menit, vonis 20 tahun penjara. Sudah hampir jam tujuh malam, saya sempatkan mengirim berita online sebelum kembali menggarap tugas utama, menulis berita Arema.

Selama tiga hari berturut-turut ngendon di PN Jaksel. Liputan vonis Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal dan Richard Eliezer. Perjuangannya pun luar biasa.

Apalagi di hari terakhir ketika vonis Richard Eliezer. Bukan hanya berebut posisi dengan sesama jurnalis demi mendapatkan foto atau gambar, kami harus berebut juga dengan pendukung Eliezer. Puluhan emak-emak pun mau masuk ruang sidang atau menunggu di depan ruangan tersebut.

Tak sampai di sana, saya juga sempat ke Mabes Polri untuk sidang etik. Di sana saya dapat pelajaran penting. Kerasnya ibu kota, kerasnya perjuangan teman-teman media. Ada rekan dari sebuah stasiun TV, harus berangkat pukul 05.30 pagi demi mendapatkan gambar Eliezer yang hanya berjalan memasuki ruang sidang. Lalu, dia harus menunggu 12 jam lebih, demi mendapatkan berita ketika selesai sidang. Dan ujungnya, tanpa statemen apapun kecuali dari pihak kepolisian. Hahaha. Saya tersenyum kecut.

Sepertinya liputan 12 jam atau lebih, sudah menjadi hal biasa di sini. Sebab saat kembali meliput soal sepak bola, tepatnya KLB PSSI, saya butuh waktu nyaris 17 jam. Berangkat jam enam pagi karena dapat kabar kuota terbatas untuk 100 wartawan saja, dan baru sampai lagi di penginapan jam 11 malam.

Sejumlah agenda liputan lainnya sebenarnya ingin saya datangi. Namun jadwal akhirnya mulai bentrok. Arema harus berlatih keluar Jakarta, seperti ke Bogor. Atau menu latihan dominan ke Pamulang, Banten. Perjalanannya saja, pulang pergi nyaris tiga jam. Tak jarang, selepas tengah hari baru sampai di Jakarta Selatan lagi. Kemacetan Jakarta dan Tangerang, sudah jadi menu sehari-hari.

Namun dari perjalanan saya di Jakarta ini, ada yang membuat saya bangga. Selain berhasil dengan challenge, saya ternyata belajar tentang hukum. Menulis perkara yang rumit dengan narasumber yang juga luar biasa. Saya harus bilang, I’m prouf of my self.  (ley/van)

- Advertisement - Pengumuman
- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img