Masih ingat hukum kekekalan energi? Atau setidaknya pernah mendengar ya. Bahwa energi di alam ini akan tetap selalu sama. Meski energi tersebut berubah bentuk.
Dalam fisika dan kimia, hukum kekekalan energi menyatakan bahwa energi total sistem yang terisolasi tetap konstan; itu dikatakan bakal dilestarikan dari waktu ke waktu.
Kira-kira begitulah kekekalan energi. Hal ini yang mungkin bisa membuat kita lebih tenang dalam menghadapi setiap perubahan. Khususnya kami di bisnis media.
Kenapa begitu?! Tidak lain setelah saya diminta menjadi pemateri dalam kuliah tamu di Universitas Brawijaya, Senin (27/11). Temanya ngeri. Perihal nasib media.
“Eksistensi media massa pada era revolusi industri 5.0”. Antara mempertanyakan, juga mungkin mengingatkan. Tentang posisi media di zaman dengan teknologi serba canggih.
Kuliah tamu digelar Laboratorium Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian UB. Kegiatan ini penguatan dari Mata Kuliah Dasar Komunikasi.
Diikuti oleh seluruh mahasiswa semester satu Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian UB. Total ada 462 mahasiswa yang terbagi dalam dua sesi kuliah tamu.
Mahasiswa memenuhi studio UBTV di gedung rektorat lantai 2. Sepintas saya lihat, ada yang sekedar formalitas, tapi juga banyak yang antusias. Mengetahui eksistensi media massa.
Berbicara eksistensi, sebenarnya sudah bisa terjawab saat saya menanyakan kepada mereka, apakah hari ini sudah baca koran? Atau dalam minggu ini, adakah yang sudah baca koran?
Pertanyaan itu saya sampaikan pada sesi pertama. Dan itu tidak saya ulang lagi pada sesi kedua. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya saya sudah tahu jawabannya.
Mahasiswa baru, yang baru tinggal di Malang, masa peralihan dari jenjang SMA, ditanya baca koran lokal Malang. Ya sudah bisa ditebaklah, jawaban mereka.
Jangankan yang dari luar Malang, dari Malang sendiri, rasanya mereka juga belum mengenal Malang Posco Media. Apalagi mau membaca, kalau kenal saja tidak.
Maka dalam kuliah tamu tersebut, 40 persen tugas saya adalah memperkenalkan. Bahwa Malang Posco Media, perusahaan media yang besar dan serius menjaga eksistensinya.
Buktinya, kami yang ‘lahir’ tahun 2020, bersamaan dengan era covid lagi menyerang. Saat semua bisnis lagi lesu, kami mendirikan perusahaan media cetak.
Perusahaan kami diakui Dewan Pers dengan lolos verifikasi. Wartawannya juga sudah hampir semua lolos uji kompetensi Dewan Pers. Gak main-main.
Banyak liputan bergensi yang telah dilakukan Malang Posco Media. Terbit setiap hari, hingga saat ini masih tetap eksis. Menjalani tahun keempat.
Secara kesehatan perusahaan, Alhamdulillah tak pernah ada kendala. Sekitar 50 karyawan mendapatkan haknya tepat waktu. Bonus ada, rekreasi bersama keluarga besar juga ada.
Mungkin itu cukup untuk menjawab eksistensi media massa. Atau belum ya. Maklum, narasi yang muncul selama ini seolah media massa dalam posisi sulit.
Seperti; senja kala media cetak. Bisnis media konvensional semakin redup. Keruntuhan media massa di era digital. Media massa tergilas zaman. Apa iya begitu?
Menurut saya itu terlalu dibesar-besarkan. Bahkan sebenarnya itu sudah lama, seperti itu. Selalu hadirnya teknologi baru, dianggap akan membunuh yang lama.
Sejak dulu, koran diprediksi akan mati, saat munculnya radio. Lalu radio katanya akan mati dengan hadirnya televisi. Begitu juga televisi dikatakan kalah bersaing dengan online.
Nyatanya, mereka tidak saling membunuh. Sampai sekarang koran masih tetap ada, tidak ada yang mati. Bahkan belanja iklan, masih cukup besar di media yang dibilang akan mati itu.
Tapi ada media cetak yang tutup? Ya iyalah, semua bisnis ada timbul tenggelamnya. Tidak hanya bisnis media, kalau memang sudah tidak mampu bertahan, ya tutup.
Sebenarnya bukan karena perkembangan zaman atau kemajuan teknologi yang ‘membunuh’ bisnis media. Meski harus saya akui, memang ada pengaruhnya juga.
Di hadapan mahasiswa FP UB itu, saya sampaikan ada 4 pilar media yang harus di jaga dari waktu ke waktu. Apa pun eranya, 4 pilar ini harus ada dan terjaga baik.
Konten. Sirkulasi. Readership. Iklan. Empat pilar ini ada dan harus baik. Terutama yang pertama dan terakhir disebutkan itu. Adalah nyawa.
Jika salah satunya terganggu dalam jangka waktu tertentu, alamat bisnis medianya bakal tersendat sendat. Hingga sampai menemui titik ajalnya. Mati?!
Menurut saya, dari pengamatan selama ini, sebenarnya media yang dikatakan mati atau tutup itu berubah bentuk. Terkadang orang-orangnya masih sama.
Jadi begini, media massa itu adalah produk untuk menyampaikan informasi kepada publik. Media massa ini adalah produk dari hasil karya jurnalistik.
Kalau karena perkembangan teknologi, semisal internet, ada media yang berubah bentuk dari cetak ke online, kerja jurnalistiknya tetap sama.
Mau cetak atau online, harus ada konten jurnalistiknya. Harus ada saluran distribusi beritanya. Harus ada pembacanya dan sama-sama harus tetap cari iklannya.
Kemajuan teknologi atau digitalisasi, harusnya bisa dimanfaatkan untuk media massa dengan baik. Bukan justru dianggap penyebab matinya media.
Bahkan dengan AI yang disebut-disebut bakal ‘merebut’ pekerjaan manusia, terlalu berlebihan. Karena kerja AI itu juga tetap memerlukan manusia.
Apalagi ada beberapa hal penting yang sampai saat ini tak dimiliki AI. Soal rasa, seni, cinta kasih dan banyak hal lain yang tak tergantikan dari manusia.
Sementara di era Society 5.0 ini sebenarnya berpusat pada manusia. Manusia jadi aset sesungguhnya. Menempatkan manusia sebagai pusat penyelesaian masalah sosial dengan berfokus pada teknologi.
So, namanya media massa masih tetap jadi wilayah kita manusia untuk memproduksinya. Adanya teknologi atau AI itu, sebagian justru untuk membantu agar kita lebih eksis.
Sekali lagi, tak ada media yang mati, kecuali hanya berubah bentuk. Satu sisi berkurang, sisi lain bertambah, sehingga selalu ada keseimbangan.
Hukum kekekalan energi menyatakan bahwa energi tidak dapat dimusnahkan tetapi dapat diubah ke dalam bentuk yang lain dan dimanfaatkan untuk kepentingan energi.
Sepert media cetak, saya menduga saat ini berada pada keseimbangan baru. Mengikuti keseimbangan media digital. Ya biasanya untuk menemukan titik seimbang, ada naik turunnya. Wajar. (*)