Berhumor memang tak gampang. Kalau tak hati-hati, bisa jadi sebuah guyonan berbuah masalah. Humor yang tak tahu umpan papan bukannya menuai tawa namun bisa jadi mengundang pro kontra. Seperti guyonan viral yang melibatkan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan yang menabrak ranah sensitif menjadikan agama sebagai guyonan. Di tahun politik saat ini, semua harus menjaga mulut agar tak sampai keseleo lidah.
Dalam guyonannya, Menteri Zulhas menyatakan bahwa banyak jemaah yang tidak lagi menyambut dengan ucapan Amin dan memilih diam setelah surat Al-Fatihah selesai dibacakan imam dalam salat Maghrib. Zulhas juga menceritakan bahwa saking cintanya sama Pak Prabowo Subianto, saat tahiyat akhir jemaah tidak lagi menunjuk dengan satu jari telunjuk sebagaimana tuntunan salat, tetapi dua jari.
Buntut dari guyunan ini Menteri Zulhas dilaporkan di sejumlah daerah karena leluconnya telah menimbulkan keresahan masyarakat. Salah satu laporan dari Persatuan Santri Jawa Timur ke Kepolisian Daerah (Polda) Jatim dengan dugaan penistaan agama. Laporan juga dilakukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Laskar Umat Islam Karanganyar. Zulhas dilaporkan dengan pasal dalam UU Pemilu, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan penistaan agama.
Humor Politik Bekerja
Humor akan sangat terkait dengan siapa penyampai pesan (komunikator) humor dan siapa yang menerima pesan (komunikan) humor. Tentu, di masa kampanye politik saat ini tak semua orang berada di posisi netral. Para pendukung fanatik kandidat tertentu biasanya akan mengiyakan apa saja yang disampaikan idolanya. Sementara terhadap apapun yang disampaikan oleh lawan politiknya pasti akan ditolak, termasuk untuk urusan berhumor.
Saat ini politik terjebak dalam situasi rivalitas yang keras dan cara berkomunikasi yang kasar. Praktik politik banyak didominasi perilaku kebencian, kebohongan, politik identitas, perilaku saling sindir dan serang. Dalam kondisi seperti ini menjadikan cukup sulit menerima dan menikmati humor. Membuat dan menikmati humor menjadi tak mudah. Bahkan untuk sekadar tersenyum pun kita harus melihat siapa dan kandidat nomor berapa sang pembuat lelucon.
Munculnya humor politik terkadang juga tak asli (genuine) untuk tujuan menghibur dan menyegarkan suasana. Tak jarang humor politik dilontarkan sang politikus dengan diksi-diksi yang kasar dan akrobatik. Humor sebagai salah satu cara mengendurkan ketegangan terkadang justru memicu munculnya ketegangan baru. Humor yang mestinya dapat memanen tawa, justru melahirkan seteru dan salah sangka.
Humor dan politik merupakan dua entitas yang telah berkembang sejak ribuan tahun silam. Humor menjadi alat penting dalam politik dan budaya populer. Di era media sosial saat ini telah membuka jalan baru politik jenaka. Namun, hal itu juga dapat menjadi area kontroversial yang tak bebas risiko. Humor politik bukan sekadar mengundang tawa, tetapi lebih dari itu ia membawa pesan-pesan yang lebih substantif.
Menyiratkan Ketidakberesan
Seorang komedian dunia, Phyllis Diller, mengatakan “If everything goes well, you have nothing funny!.” Humor itu muncul karena ada situasi yang tak goes well. Pada kondisi ketidakberesan inilah humor muncul sebagai salah satu cara guna merespon persoalan yang sedang terjadi. Dalam kondisi ini, humor muncul sebagai sarana kritik, perlawanan, dan katarsis sang kreator humor dalam menyikapi situasi ketidakberesan.
Humor hadir membawa kesan santai, lucu, dan terkadang dianggap kurang serius. Pahadal, melalui humor pesan-pesan berat menjadi enteng dan lebih mudah disampaikan. Lihat saja pesan-pesan kritik tajam yang ada di sebuah karikatur yang ada di koran. Banyak kritik pedas dalam karikatur yang disampaikan dengan gaya humor dan semua orang termasuk orang yang dikritik bisa menerima sentilan kritik tersebut dengan tersenyum.
Banyak orang menilai humor itu tidak serius. Humor itu hanya main-main belaka. Almarhum Arwah Setiawan, sang pendiri Lembaga Humor Indonesia, pernah mengatakan bahwa humor itu serius. Coba kita lihat kandungan humor yang banyak digunakan sebagai media kritik. Menyimak kritik lewat humor kita diajak tersenyum, tertawa, merenung, dan berpikir terhadap muatan kritik yang disajikan. Bahkan saking seriusnya humor, terkadang untuk menangkap kelucuannya kita perlu berpikir keras dahulu.
Di Indonesia humor politik telah menjadi bagian dari budaya politik. Humor politik bermunculan dalam wujud gambar lucu (meme), video parodi, dan teks lucu yang beredar di beragam platform media sosial. Tak sedikit warganet yang menggunakan humor sebagai sarana untuk mengekspresikan pandangan politik, mengejek, menyindir, dan sebagai bentuk kritik satir terhadap situasi politik yang sedang terjadi.
Saat ketegangan mewarnai perjalanan demokrasi, pesan dalam bentuk guyonan lah yang menjadi jalan tengah untuk terus merawat kewarasan berbangsa. Humor politik jika dilakukan dengan benar sejatinya bisa jadi cara jitu menyampaikan kebenaran. Untuk itu, menikmati humor politik jangan baperan. Bukankah di dalam politik itu sejatinya sarat dengan komedi? (*)