Belakangan ini, kata “kesenjangan” sering bermunculan di berbagai platform media sosial. Istilah yang awalnya digunakan untuk menggambarkan ketimpangan sosial atau ekonomi ini kini mengalami perluasan makna. Warganet membahas kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskisn, kesenjangan akademik antara universitas ternama dan kampus daerah, kesenjangan karier antar teman seangkatan, bahkan kesenjangan estetik yang merujuk pada perbedaan penampilan seseorang.
Fenomena ini mencerminkan bahwa masyarakat makin peka terhadap ketimpangan di berbagai aspek kehidupan. Di antara berbagai jenis kesenjangan tersebut, kesenjangan keuangan menjadi salah satu yang paling sering disinggung, baik secara serius maupun sarkastik.
Kondisi kesenjangan keuangan makin terasa saat memasuki bulan Mei, yang tahun ini dipenuhi oleh hari libur nasional. Mulai dari Hari Buruh, Kenaikan Isa Almasih, hingga Waisak, semuanya jatuh di hari kerja dan memunculkan banyaknya long weekend di bulan ini.
Bagi sebagian orang, ini adalah momen untuk rehat sejenak dari rutinitas, menikmati liburan, staycation, kulineran, atau pulang kampung. Tiket pesawat dan hotel cepat penuh, tempat wisata ramai pengunjung, dan media sosial pun dibanjiri unggahan liburan.
Namun di sisi lain, tidak semua orang bisa ikut serta. Ada yang memilih tetap bekerja karena tuntutan profesi, ada yang harus berhemat karena gaji sudah menipis di tengah bulan. Bahkan ada yang merasa tertampar oleh euforia liburan yang justru mengingatkan mereka pada keterbatasan finansial.
Merujuk estimasi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, perputaran uang dapat mencapai sekitar Rp 10 triliun hingga Rp 15 triliun untuk setiap long weekend. Lonjakan ini dipicu oleh kenaikan konsumsi masyarakat dalam berbagai bentuk, mulai dari belanja daring, akomodasi wisata, transportasi, hingga kuliner.
Fenomena ini, jika ditarik ke teori perilaku keuangan, sangat berkaitan dengan kecenderungan present bias. Yakni kondisi ketika seseorang lebih memprioritaskan kesenangan saat ini dibandingkan perencanaan jangka panjang. Saat liburan tiba, banyak individu yang mengambil keputusan keuangan secara emosional, bukan rasional. Iming-iming diskon, promo, dan ajakan liburan yang berseliweran di media sosial memicu belanja impulsif.
Tak jarang, dorongan untuk tampil “ikut liburan juga” di Instagram atau TikTok menjadi alasan utama seseorang mengeluarkan uang, bukan karena kebutuhan, tapi karena tekanan sosial yang halus namun kuat. Ini juga berkaitan dengan social comparison, yaitu kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain, yang bisa mengganggu stabilitas psikologis dan finansial seseorang jika tidak dikelola dengan baik.
Lalu, bagaimana sebaiknya kita bersikap di tengah derasnya arus konsumsi dan ekspektasi sosial saat long weekend? Pertama-tama, penting untuk memiliki anggaran liburan yang realistis dan terencana. Meskipun libur panjang menggoda untuk “rewarding yourself”, keputusan finansial tetap harus disesuaikan dengan kemampuan.
Merencanakan liburan tidak harus mahal. Banyak aktivitas yang menyenangkan bisa dilakukan tanpa menguras dompet. Seperti menjelajahi tempat wisata lokal, berkumpul dengan keluarga, atau sekadar menikmati waktu istirahat di rumah dengan cara yang berkualitas.
Menghindari belanja impulsif juga menjadi langkah penting. Oleh karena itu, penting untuk menahan diri, memberi jeda sebelum membeli sesuatu, dan bertanya pada diri sendiri apakah pembelian tersebut benar-benar diperlukan atau hanya karena ikut-ikutan.
Setelah liburan, evaluasi kondisi keuangan menjadi hal yang sering dilupakan. Padahal, ini krusial agar kita bisa memahami bagaimana pengeluaran terjadi dan apa yang bisa diperbaiki ke depannya. Mengecek kembali saldo rekening, mencatat pengeluaran selama liburan, dan merefleksikan keputusan finansial yang telah diambil dapat membantu membangun kebiasaan keuangan yang sehat.
Selain itu, penting untuk menanamkan kesadaran bahwa tidak semua hal perlu dipamerkan di media sosial. Banyak kebahagiaan sejati yang tidak membutuhkan validasi digital. Jika terus membandingkan diri dengan unggahan orang lain, kita akan terjebak dalam siklus konsumsi demi eksistensi, bukan demi kebutuhan. Kesenjangan keuangan memang tidak serta-merta bisa dihilangkan, karena banyak faktor struktural dan historis yang melatarbelakanginya. Namun, dengan literasi keuangan yang baik dan kesadaran diri yang kuat, kita bisa meminimalkan dampak negatif dari kesenjangan tersebut. Setiap orang memiliki cerita dan prioritas masing-masing. Liburan adalah hak semua orang, tetapi cara menikmatinya bisa sangat berbeda. Pada akhirnya, kenyamanan finansial bukanlah soal jumlah nol di rekening, melainkan rasa aman dalam mengambil keputusan keuangan. Di tengah hiruk-pikuk unggahan liburan dan perputaran konsumsi, kita perlu kembali pada prinsip dasar manajemen keuangan: hidup sesuai kemampuan, menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan, serta tetap berpegang pada tujuan jangka panjang.(*)