Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
Malang Posco Media – Tak ada kata-kata yang tercetak, ataupun pidato, yang dapat mengajari pikiran orang-orang muda tentang bagaimana mereka seharusnya bersikap dan bertindak. Juga tidak buku-buku di rak, tetapi yang bisa adalah guru itu sendiri, dengan segenap teladan hidup mereka (Rudyard Kipling). Maka tidak heran bila pendidikan yang berkembang di pesantren, sangat menekankan aspek keteladanan, khususnya dari sang Kiai. Ini sesungguhnya mencerminkan konsep pendidikan Islam, sebagaimana digagaskan oleh Hasan Langgulung dalam salah satu essainya berjudul “Teacher’s Role and Some Aspects of Teaching Methodology: Islamic Approach”.
Langgulung menyarankan bahwa posisi guru sebagai protagonis dalam domain nilai-nilai moral, tidak terbatas dalam hubungan langsung guru-murid di dalam kelas. Guru yang tidak pernah memberi nilai pada tugas-tugas tertulis, atau menggunakan pakaian yang tidak patut, sebetulnya menunjukkan karakteristik konsep tertentu menyangkut tugas dan tanggung jawab. Guru yang secara terbuka menunjukkan sikap tidak hormat kepada sesama kolega atau pimpinan, mengirimkan pesan soal ketidakpedulian terhadap otoritas dan tentang konsep tertentu penghormatan kepada sesama manusia. Guru seharusnya terus menjadi model yang baik kepada para murid dalam hal tindakan dan karakter, karena itu merupakan bagian dari kewajiban guru, dan setiap orang mengharapkan guru melaksanakan itu. Ini adalah bagian dari peran sebagai guru.
Prinsip keteladanan dalam pendidikan Islam, tentunya tak bisa dilepaskan dari konsep keberadaan Nabi Muhammad sendiri sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik). Dan secara eksplisit, Nabi Muhammad sendiri memerintahkan, “Ibda’ bi nafsik”, “Mulailah dari diri sendiri”. Jadi, para Kiai dan Ustazd dalam mengajarkan nilai-nilai moral yang selanjutnya membentuk karakter itu, memang harus terlebih dahulu mempraktekkannya. Tidak etis jika mereka membicarakan nilai-nilai kebaikan sementara mereka tidak mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Itu dikecam di dalam al-Qur’an, “Besarlah kebencian di sisi Allah, kepada mereka yang tidak mempraktekkan apa (kebaikan) yang mereka katakan”.
Pendidikan berbasiskan keteladanan, terbukti efektif dalam membentuk karakter karena menjembatani kesenjangan antaridealitas dan kenyataan. Pendidikan menjadi sesuatu yang eksperiental, sesuatu yang dialami secara nyata, ketika para murid belajar langsung tentang kehidupan guru mereka, dan bagaimana guru-guru mereka membangun nilai-nilai dan prinsip dalam hidup mereka. Begitu mereka menyaksikan guru-guru mereka sebagai sosok yang bisa diteladani, mereka punya bahan untuk memutuskan, seperti apa kelak mereka di masa depan.
Terkait dengan ini, Anton A. Bucher menegaskan bahwa “Models are one of the most important pedagogical agents in the history of education”. Terkait dengan itu ia juga mengutip Plato; “Plato mentioned their impact in forming moral consciousness. He warned against bad models, especially gods and heroes in Homer’s epic poems. Young people would imitate their immoral behaviour and adopt their immoral values and attitudes”.
Plato menyebutkan akibat dalam pembentukan kesadaran moral. Ia mengingatkan agar manusia untuk menghindarkan contoh-contoh buruk, karena anak-anak muda akan meniru perilaku imoral serta mengadopsi nilai-nilai dan sikap tidak bermoral itu.
Lingkungan Terkondisikan
Hal kedua yang menjadi ciri khas sekaligus keunggulan pesantren, adalah dukungan lingkungan. Itulah yang pernah di kemukakan oleh Komaruddin Hidayat; salah satu kelebihan pesantren itu lingkungannya terkondisikan. Sehingga, kalau ada orang yang melanggar kemudian dia merasa sebagai orang yang berperilaku menyimpang di lingkungannya, hal itu langsung disorot oleh Kiai dan para Ustadz.
Hal ini sebenarnya juga bisa dilakukan di sekolah umum. Tentu, jika di sekolah tersebut terwujud lingkungan yang tergerak untuk menegakkan sanksi sosial bagi yang berbuat menyimpang. Dengan demikian, ada keterlibatan sanksi sosial. Ini juga terjadi di beberapa sekolah, tak hanya di pesantren. Pada saat ada siswa melanggar, kepala sekolah, guru, dan siswa lainnya ikut mengawasi dan kemudian menyelesaikan masalah itu dengan cara-cara yang baik. Ini akan terjadi bila sudah terbentuk kultur sekolah, hal ini penting sekali. Maka budaya sekolah perlu mendapat perhatian lebih serius, agar anak dengan berbagai aktifitasnya mendapatkan manfaat yang lebih positif, baik dalam hal konowledge, attitude, dan skillnya, sehingga berdampak positif dalam kelangsungan hidupnya.
Lebih jauh dijelaskan, bahwa kelebihan pesantren adalah memiliki semua yang baik itu, yaitu kultur sekolah. Contoh sekolah yang berhasil menerapkan hal yang sama, salah satunya adalah Taruna Nusantara, itu mirip pesantren. Di pesantren dan Taruna Nusantara ada kemiripan karena siswa tinggal di satu tempat serta ada aturan yang dijaga bersama. Kalau ada pelanggaran, ada sanksi langsung dan terkondisikan selama dua puluh empat jam dikali tiga tahun atau enam tahun kalau siswa belajar di pesantren, mulai tingkat Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas. Dengan lingkungan yang terkondisikan itu, kedisiplinan terbentuk. Hal yang sama bisa diaplikasikan di sekolah umum, dengan catatan, lingkungannya terkondisikan dengan baik. (*)