Dari Singosari, KH Masykur berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Pahlawan Nasional ini pernah menjadi Panglima Laskar Sabilillah. Mereka punya andil besar dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Sejumlah jabatan penting seperti anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) hingga Menteri Agama pernah diemban Kiai Masykur.
=========
MALANG POSCO MEDIA- “Singosari Kota Santri” bukan slogan biasa. Slogan ini memang sudah lama melekat hingga saat ini. Selain banyaknya pesantren di salah satu kecamatan di Malang Utara, Singosari juga menjadi saksi dan bukti perjuangan kemerdekaan Indonesia dari kalangan santri.
Banyak tokoh ulama dan santri asal Singosari yang ikut berjuang melawan kolonial. Mereka dikenang hingga saat ini. Salah satunya adalah KH Masykur.
Kiai Masykur merupakan tokoh perjuangan nasional. Pada 6 November 2019 lalu disahkan menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo.
Kiai Masykur merupakan Komando Laskar Sabilillah yang memiliki sumbangsih besar mengawal kemerdekaan Indonesia.
Keponakan Kiai Masykur, KH Anas Noor, SH, MH menceritakan Kiai Masykur merupakan tokoh Pahlawan Nasional yang lahir di Singosari, 30 Desember 1902.
Ketika usianya masih 9 tahun. Kiai Masykur sudah menunaikan ibadah haji bersama orang tuanya yakni, KH. Maksum dan Ny Maemunah. Kemudian ia disekolahkan di Pondok Pesantren Bungkuk, Singosari pimpinan dari KH. Thahir.
Dari sinilah perjalanan pendidikan Kiai Masykur berlanjut dengan melanjutkan di Pesantren Sono, Buduran, Sidoarjo. Dan belajar ilmu nahwu sharaf. Kemudian berlanjut ke Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo untuk mendalami ilmu fiqih.
“Setelah belajar di beberapa pesantren, beliau kemudian belajar ke Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) Pesantren Tebuireng, Jombang. Di sana ia belajar ilmu tafsir dan hadits. Kemudian melanjutkan ke pesantren Bangkalan, Madura, untuk belajar Qiraat Alquran kepada Syaichona Cholil,” kata Anas yang juga Ketua Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari.
Minat belajar Kiai Masykur tidak berhenti di Madura. Setelah belajar di bawah asuhan Syaichona Cholil, Kiai Masykur kemudian meneruskan belajar di pesantren Jamsaren Solo, Jawa Tengah.
Setelah belajar di beberapa pondok pesantren, Kiai Masykur kemudian mengabdi di tanah kelahirannya, di Singosari Malang. Di Singosari, ia mendirikan madrasah bernama Mishbahul Wathan atau Pelita Tanah Air tahun 1923 yang saat ini menjadi MI Almaarif 02 Singosari.
“Di Singosari, pengalaman organisasinya dan jiwa kepemimpinan serta pengabdian kepada masyarakat dan agama selama di pesantren diterapkan. Kiai Masykur juga menjadi Ketua Nahdlatul Ulama Cabang Malang,” imbuhnya.
Anas menambahkan, bahwa Kiai Masykur merupakan salah satu tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) yang pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merupakan organisasi yang dibentuk pemerintah Jepang untuk memenuhi janji pemberian kemerdekaan untuk Indonesia dan turut terlibat dalam perumusan Pancasila.
Kiai Masykur juga tercatat sebagai pemimpin Barisan Sabilillah ketika terjadi pertempuran pada 10 November 1945 di Surabaya. “Beliau memiliki peran penting dalam pembangunan moral anak bangsa dengan mendirikan Yayasan Sabilillah, yaitu lembaga yang aktif di bidang pendidikan dan mendapatkan gelar pahlawan nasional pada 8 November 2019,” ucap Anas.
Dalam memimpin Laskar Sabilillah, Kiai Masykur merupakan tokoh penting dalam jaringan paramiliter santri mulai dari kiai dan pengasuh pesantren. Berkoordinasi dengan Laskar Hizbullah pimpinan dari Kiai Zainul Arifin, kedua laskar ini berjuang untuk kemerdekaan.
Anas menyampaikan, dalam catatan sejarah pesantren, peran Laskar Sabilillah dan Hizbullah sangat besar untuk menggerakkan semangat perjuangan kebangsaan.
“Ketika meletus perlawanan Arek Suroboyo pada November 1945, perjuangan Laskar Sabilillah dan Hizbullah mengobarkan semangat kaum santri. Terlebih, setelah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menggemakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945,” ujarnya.
Kepemimpinan Kiai Masykur dalam menggerakkan Laskar Sabilillah menjadi catatan penting. Ia dikenal dekat dengan kiai-kiai yang mendirikan NU seperti Mbah Hasyim, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim dan beberapa kiai pesantren di penjuru Jawa.
“Kiai Masykur juga dekat Panglima Sudirman, ketika bersama-sama menggerakkan pemuda untuk berjuang pada periode revolusi kemerdekaan,” ungkap Anas. Dalam catatan sejarah, Kiai Masykur pernah menjabat Menteri Agama Indonesia pada tahun 1947—1949 dan tahun 1953—1955. Ia juga pernah menjadi anggota DPR RI tahun 1956—1971 dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada tahun 1968 dan sejumlah jabatan penting lainnya. (hud/van/bersambung).