Malang Posco Media – KESENIAN reog adalah sebuah tarian yang berasal dari Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Kesenian reog seringkali ditampilkan pada perhelatan baik masyarakat maupun hajatan pemerintah. Tarian ini, menceritakan mengenai sejarah kerajaan Indonesia pada masa lampau. Dimana terdapat perang antara Kerajaan Kediri dengan Ponorogo.
Perseteruan tersebut terjadi akibat dari penolakan Raja Kediri bernama Singabarong yang tidak merestui putrinya, Dewi Ragil Kuning untuk dinikahi oleh Klono Sewandono, Raja dari Kerajaan Ponorogo. Jumlah jenis penari yang memainkan Reog Ponorogo terdiri dari lima penari yaitu; Klono Sewandono, Barongan, Jathil, Warok, dan Bujang Ganong.
Penampilan Reog ini diawali oleh tiga tarian pembukaan yang dimainkan perannya oleh Warok, Jathil, dan Bujang Ganong, yang kemudian inti dari cerita tarian reog diperankan oleh Klono Sewandono. Penutup dari kisah tarian reog disajikan oleh Barongan, ikon dari dikenalnya Reog Ponorogo.
Keunikan dari Reog Ponorogo ini terletak pada pemeran Barongan. Penarinya menggunakan caplokan kepala singa yang dihiasi dengan Dadak Merak. Jika dinalar menggunakan logika, mustahil untuk seorang manusia mengangkat sebuah topeng singa yang memiliki bobot 50 kilogram hanya menggunakan gigitan.
Terlebih lagi, dalam pertunjukannya penari Barongan mengadakan atraksi dengan mengangkat penari lainnya maupun orang lain. Sehingga satu penari Barongan dapat mengangkat beban hingga mencapai 100 kilogram. Inilah yang membuat kesenian Reog Ponorogo memiliki nilai jual tinggi karena memiliki banyak kelebihan.
Tidak hanya dalam unsur estetikanya saja namun juga terdapat unsur budaya mistis. Keunikan-keunikan yang dimiliki kesenian Reog Ponorogo mampu membawa nama Reog Ponorogo tampil di berbagai negara. Seperti Rusia, Azerbaijan, Lebanon, Korea Selatan, Amerika, Jerman, Australia, Filipina hingga Singapura.
Kesenian Reog Ponorogo banyak diperbincangkan karena mulai munculnya kesenian yang serupa dari Malaysia. Kesenian yang menyerupai Reog Ponorogo itu bernama tarian Barongan Setiabudi. Kesamaan Reog Ponorogo dan Barongan Setiabudi adalah terletak pada perangkat tari yang sama-sama menggunakan unsur hewani.
Bahkan, terdapat kesamaan pada bagian topeng Dadak Merak yang menggunakan singa sebagai bentuk dasarnya. Namun, terlepas dari kesamaan-kesamaan tersebut, masih terdapat perbedaan di antara karya seni ini. Perbedaannya terletak pada jumlah penari dan alur cerita yang disajikan. Barongan Setiabudi menceritakan mengenai kisah-kisah Nabi Sulaiman A.S.
Selain itu, berat topeng barongannya hanya mencapai 30 kilogram. Ditinjau dari sejarahnya, Reog Ponorogo lahir pada abad 760 M dan tertulis pada Prasasti Kanjuruan. Sedangkan, munculnya Barongan Setiabudi di Malaysia bermula sejak tahun 1901. Adanya kemiripan antara Reog Ponorogo dan Barongan Setiabudi, dapat dianalisa berdasarkan adanya gelombang migran dari Indonesia yang datang ke Malaysia pada tahun 1825.
Gelombang migran pertama datang ke Johor, Malaysia dengan jumlah migran sebanyak 25 jiwa. Perpindahan warga berkelanjutan pada gelombang dua. Tahun 1890, terdapat 15.000 jiwa penduduk termasuk warga Ponorogo yang menetap di Johor, khususnya di wilayah Batu Pahat. Dapat dianalisa, kesenian Barongan Setiabudi merupakan bentuk budaya yang dibawa imigran Indonesia.
Mereka yang rindu terhadap kampung halamannya. Sehingga lambat laun kebudayaan tersebut diadopsi dan diadaptasikan oleh masyarakat Malaysia, hingga akhirnya kesenian ini dijadikan sebagai warisan budaya miliknya. Perbincangan perebutan budaya ini mulai keruh. Malaysia memiliki wacana mendaftarkan Barongan Setiabudi sebagai warisan budaya seni tak benda di UNESCO.
Tujuan atas didaftarkannya sebuah karya seni tak benda dalam UNESCO adalah untuk melindungi dan menjaga kesenian tersebut agar di masa yang mendatang kesenian tersebut dapat terus dilestarikan oleh generasi umat manusia. Dalam hal ini, sebuah karya seni yang didaftarkan dalam konvensi UNESCO, bertujuan tetap dapat dilestarikan.
Hal ini memiliki artian bahwa siapapun dapat memanfaatkan budaya tersebut bukan hanya kelompok yang mendapatkan pengakuan mengenai warisan budaya tak benda saja. Sehingga dengan didaftarkannya sebuah warisan budaya tak benda dalam konvensi UNESCO, tidak dapat merugikan atau menurunkan nilai ekonomi dari pelaku kesenian lainnya.
Sebab, perlindungan ekonomi, hak paten atau royalty bukanlah tujuan dari UNESCO. Ketika Malaysia mengambil langkah awal berupa mendaftarkan Kesenian Barongan Setiabudi pada UNESCO, maka di masa depan generasi penerus hanya akan mengenal dan melestarikan kesenian Barongan Setiabudi yang berasal dari Malaysia.
Meskipun Barongan Setiabudi didaftarkan dalam warisan tak benda UNESCO, tidak memiliki dampak pada nilai ekonomi pelaku kesenian lainnya. Namun dampak di masa depan. Yang mungkin terjadi adalah menurunnya eksistensi Reog Ponorogo, dikalahkan oleh Barongan Setiabudi. Ini dapat menurunkan nilai jual Reog Ponorogo pada kontes seni internasional.
Pemerintah Indonesia harus turut berjuang untuk mempertahankan budaya ini. Pendaftaran sebuah warisan budaya tak benda dalam UNESCO memiliki mekanisme yang cukup kompleks. Warisan budaya tak benda ini merupakan bentuk sebuah praktik, representasi, ekspresi, keterampilan, serta ruang-ruang budaya yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, maupun perseorangan yang diakui sebagai sebuah warisan budaya.
Sebuah warisan budaya yang hendak didaftarkan pada UNESCO, harus dapat memenuhi persyaratan berupa karya adiluhung atau masterpiece, mendukung adanya perkembangan nilai kemanusiaan serta perkembangan ilmu teknologi dan pengetahuan, memiliki keunikan dan tradisi yang luar biasa, merupakan ciri menonjol dari sebuah karya bangsa, secara langsung menceritakan sebuah peristiwa atau tradisi kehidupan.
Setelah sebuah warisan budaya memenuhi persyaratan tersebut, kebudayaan tersebut akan dipersiapkan dan dirapatkan di dalam negeri, yang selanjutnya akan diajukan dalam sidang internasional. Sidang internasional inilah yang akan menentukan apakah sebuah warisan budaya dapat dinominasikan dan diakui oleh UNESCO. Budaya Reog Ponorogo telah menjadi warisan nenek moyang sejak berabad-abad lalu.
Sungguh ironi, jika harus kehilangan warisan nenek moyang hanya dengan keterlambatan dalam mendaftarkan Reog Ponorogo pada UNESCO. Pemerintah Indonesia harus mampu melihat urgensi dari pengajuan Reog Ponorogo, termasuk harus berlomba-lomba untuk mengkajinya, agar eksistensi dan kelestarian kesenian Reog Ponorogo tetap terjaga dan tetap menjadi milik Indonesia.(*)