Tuesday, October 7, 2025
spot_img

Koboi, Kas Negara, dan Kuda Liar Fiskal

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Ketika Purbaya Yudhi Sadewa resmi menggantikan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan, aroma ruang rapat di Kementerian Keuangan seakan berubah. Dari wangi parfum diplomatik menjadi bau debu padang ekonomi. Dari ketenangan spreadsheet menjadi derap sepatu koboi yang tegas. Tak lagi ada gaya profesor yang berhitung di balik layar, melainkan sosok “koboi fiskal” yang siap menunggangi kuda liar bernama APBN.

Purbaya datang bukan untuk menulis bab baru, melainkan menembus hutan kebijakan yang selama ini dianggap terlalu steril. Ia dikenal berani, spontan, bahkan nyentrik dalam membedah kebijakan ekonomi. Di tangannya, Kemenkeu bukan lagi menara gading angka, tetapi arena terbuka bagi strategi cepat, keputusan tajam, dan kadang seperti koboi sejati: insting yang mendahului teori.

-Advertisement- HUT

Gaya Baru di Padang Fiskal

Gaya kepemimpinan Purbaya langsung terasa berbeda. Ia tidak sekadar duduk di meja rapat memeriksa laporan pajak, melainkan turun langsung ke “lapangan anggaran.” Dalam beberapa minggu pertama, ia membuka forum terbuka dengan pelaku industri, UKM, ikut langsung ke rapat di perbankan, untuk langsung memahami kondisi di lapangan.       Ini jauh dari gaya Sri Mulyani, yang dikenal teknokratis, berhati-hati, dan menekankan disiplin fiskal. Purbaya lebih seperti manajer proyek lapangan: cepat, penuh improvisasi, dan siap ambil risiko. Kalau Sri Mulyani membangun sistem keuangan dengan presisi jangka panjang, Purbaya tampak ingin “memacu ekonomi sekarang juga”, meski dengan risiko peluru kebijakan yang kadang meleset.

Dari Spreadsheet ke Sadel

Perbedaan paling mencolok antara keduanya adalah cara melihat risiko. Sri Mulyani melihatnya sebagai sesuatu yang harus diminimalkan; Purbaya melihatnya sebagai sesuatu yang bisa dikendalikan dengan keberanian. Kalimat yang sempat viral di kalangan ekonom pasca pelantikannya: “Kita tidak bisa menunggu inflasi jinak dulu baru bertindak.”         Gaya ini kontras dengan pendekatan “prudential” khas SMI. Purbaya memandang ekonomi seperti kuda liar, tidak bisa dikurung dalam pagar regulasi berlebihan, tapi harus ditunggangi dengan kendali kuat dan refleks cepat. Ia memacu fiskal dengan defisit lebih longgar, subsidi lebih fleksibel, dan insentif yang bisa berubah mengikuti dinamika global.

Efeknya bagi Rakyat

Rakyat akan segera merasakannya baik dalam bentuk bantuan yang lebih cepat, maupun harga yang lebih fluktuatif. Dengan kebijakan belanja fiskal yang ekspansif, pemerintah berusaha mendorong konsumsi rumah tangga, khususnya di sektor pangan dan energi. Data BPS menunjukkan bahwa konsumsi masih menjadi 54 persen pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, dengan kebijakan yang lebih agresif, risiko inflasi juga membayangi. Laju inflasi yang kini di kisaran 2,8 persen (Agustus 2025) bisa terdorong naik jika subsidi energi tidak terkendali. Bagi kelas menengah, kebijakan Purbaya bisa berarti “uang berputar lebih cepat”, tapi bagi mereka yang hidup dengan penghasilan tetap, ketidakpastian harga bisa menjadi beban. Sederhananya: ekonomi akan lebih hidup, tapi dompet rakyat harus lebih waspada.

Dalam iklim kebijakan yang lebih cair, masyarakat perlu belajar jadi penunggang kuda juga: adaptif, bukan pasif. Pelaku usaha kecil harus siap dengan kebijakan yang cepat berubah: hari ini insentif ekspor, besok bisa jadi pembatasan impor. Pegawai negeri dan ASN perlu menyesuaikan diri dengan sistem anggaran berbasis hasil, bukan hanya serapan.   Sementara rumah tangga perlu memperkuat literasi keuangan agar tak kaget menghadapi fluktuasi harga kebutuhan pokok. Seperti koboi di tengah badai pasir, rakyat harus belajar membaca arah angin kebijakan karena menunggu keadaan tenang bisa berarti tertinggal.

Teori Manajemen Keuangan di Tengah Padang Debu

Dalam teori manajemen keuangan, dikenal konsep trade-off antara risk dan return. Sri Mulyani bermain di wilayah “low risk–steady return”, sementara Purbaya tampaknya memilih “high risk–potential high return.” Pendekatan ini bisa berbahaya jika tanpa kontrol yang kuat, tapi juga bisa menghasilkan lonjakan pertumbuhan ekonomi bila dikelola cermat.

Sebagaimana dikatakan Gitman (2021), “Financial management is not about avoiding risks, but about managing them wisely.” Dan di situlah posisi Purbaya: bukan akuntan yang menghitung uang, tapi koboi yang mengatur arah perjalanan ekonomi bangsa. Dalam pandangan Modigliani dan Miller (1958), keputusan fiskal yang berani bisa meningkatkan produktivitas, selama pengendalian tetap kuat. Namun teori agency (Jensen & Meckling, 1976) juga mengingatkan: semakin tinggi risiko, semakin besar potensi moral hazard jika pengawasan lemah.

          Purbaya Yudhi Sadewa telah menunggang kuda fiskal yang dulu dijinakkan Sri Mulyani. Ia mungkin bukan penulis laporan terbaik, tapi bisa jadi pengendara paling berani di padang ekonomi yang tak pasti. Pertanyaannya: mampukah rakyat, birokrat, dan pasar keuangan menyesuaikan diri dengan ritme baru yang lebih cepat, lebih berani, dan lebih liar? Satu hal pasti: di tangan koboi ini, kas negara tak lagi sekadar angka, ia adalah arena duel antara keberanian dan kehati-hatian.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img