Oleh: Siti Aisyah S.Ag
Guru PAI SD Islam Sabilillah Malang
Setiap memasuki bulan Rabiul Awal, ingatan kita pasti tertuju pada sosok pemimpin yang sukses tiada tara, yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Fil (gajah). Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya pemimpin termulya, negarawan terhebat, hakim teradil, pedagang terjujur, pemimpin militer terbijak, dan pejuang kemanusiaan tergigih yang mendapatkan pengakuan dunia, baik masa lalu maupun masa sekarang. Kesalehan pribadinya terlihat sejak muda belia, jauh sebelum menjadi seorang rasul atau utusan. Hal ini terbukti dengan gelar Al Amin yang disandangnya. Kesempurnaan pribadinya tersebut berlanjut hingga beliau tutup usia. Saat ini memang Nabi Muhammad SAW telah tiada, namun jejak-jejak dan jasa-jasanya yang ditorehkan telah dirasakan tidak hanya oleh umatnya tetapi juga seluruh umat manusia di penjuru dunia.
Pada bulan yang sama, yaitu Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah Allah telah memanggilnya. Wafatnya Nabi Muhammad SAW meninggalkan duka yang sangat mendalam, bagi para sahabatnya kala itu, hingga Umar bin Khattab pun murka dan tidak terima mendengar beritanya. Namun atas kesadaran bahwa setiap makhluk-Nya adalah fana maka berita wafatnya manusia teramat mulya tersebut mereka terima.
Wafatnya Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan warisan berupa harta kekayaan dan kemewahan, tetapi Beliau mewariskan ilmu pengetahuan, keistimewaan dan akhlak mulia kepada keluarga, sahabat, dan umatnya. Sebagai suatu warisan, maka peninggalan Nabi Muhammad SAW tentu akan berpindah kepada ahli warisnya secara langsung yang menempati posisi setelahnya. Barang siapa yang giat mengambilnya, maka ia akan mendapatkan bagian warisan yang lebih banyak dibandingkan dengan yang lainnya.
Sejarah telah mencatat, setelah Nabi Muhammad SAW wafat para sahabat menjadi rujukan umat dalam setiap urusan. Baik yang berkaitan dengan masalah agama, politik, sosial, maupun yang lainnya. Setelah sahabat tidak ada, generasi selanjutnya ialah tabi’in yang disebut juga generasi salaf, atau yang sering disebut salafus shalih. Dan setelah itu ulama mutaqaddimin.
Kepada mereka semua kaum muslimin berkiblat. Kedudukan mereka semua sebagai penerus Nabi Muhammad SAW memang telah mendapat pengakuan langsung dari Allah SWT dan juga Nabi Muhammad SAW sendiri.
Sesudah mereka, Nabi Muhammad SAW telah mengisyaratkan bahwa generasi berikutnya yang menjadi rujukan umatnya adalah para ulama’ muta’akhkhirin. Tidak ada alasan bagi umat Nabi Muhammad untuk tidak mengikuti ulama, karena al-‘ulama waratsatul anbiya.’ Sebagai pewaris Nabi, para ulama’ sungguh memiliki derajat derajat yang bukan main-main.
Ulama’ adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Namun tidak semua ilmuwan bisa disebut dengan ulama.’ Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh ahli ilmu agar disebut ulama’ pewaris Nabi Muhammad SAW. Tentu saja kriteria ini berkaitan dengan karakter dan sifat-sifat terpuji yang menyertainya.
Apabila ahli ilmu memiliki kriteria tersebut maka mereka akan mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik dengan ilmu-ilmu yang dimilikinya, tidak membuat kerusakan di muka bumi, mampu hidup berdampingan dengan sesama makhluk Allah SWT, dan mampu mewujudkan kedamaian di mana ia berada.
Ulama’ senantiasa mengisi sendi-sendi kehidupan dengan perilaku positif yang berdampak kebaikan secara luas. Keberadaan ulama senantiasa menjadi pelita-pelita dunia dan lampu-lampu akhirat.
Kita menyadari bahwa para ahli ilmu atau ulama’ tidak mungkin bisa sesempurna Nabi Muhammad SAW, karena Beliau selalu terjaga dari berbuat khilaf dan dosa (ma’shum). Namun sekuat tenaga sebagai pewaris harus mencontoh dan meneladani sifat-sifat terpujinya. Seorang pewaris manusia mulya setidaknya harus memenuhi kriteria agar dinyatakan sebagai “Pewaris Sejati” nya.
Untuk memenuhi kriterianya, ada empat sifat dasar yang harus dimiliki yaitu: Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathanah, dimana keempat sifat tersebut merupakan sifat wajib yang dimiliki oleh semua nabi dan rasul-Nya termasuk nabi kita Muhammad SAW.
Shidiq artinya jujur atau benar. Para ulama’ harus selalu memiliki kejujuran dan senantiasa berkata dan berbuat yang benar. Apapun yang dikatakan hendaknya berdasarkan pada realitas yang sebenarnya. Pun juga dengan perbuatannya, setiap ulama’ hendaknya berbuat yang benar sesuai dengan aturan yang melekat pada dirinya. Tidak dibenarkan seorang ulama’ memberi hujjah hanya berdasarkan pemikiran bahkan opininya semata.
Amanah artinya dapat dipercaya atau bertanggung jawab. Para ulama’ harus senantiasa menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diembannya sesuai dengan profesi yang disandangnya. Demi terlaksananya tugas dan tanggungjawabnya, mereka harus senantiasa menjaga dirinya dari berbuat kesalahan yang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan kepercayaan terhadap dirinya. Kepercayaan akan ulama’ sebagai panutan dan rujukan hendaknya selalu terjaga dengan senantiasa bersikap Amanah.
Tabligh artinya menyampaikan kebenaran dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar). Seorang ulama’ harus memiliki keberanian untuk menyampaikan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Sekecil apapun kemungkaran harus segera dihentikan agar kemungkaran tidak semakin meluas. Tentu saja sebelum menyampaikan kebenaran dan mencegah kemungkaran, terlebih dahulu ulama’ memulai dari dirinya.
Fathonah artinya cerdas. Setiap ulama’ harus memiliki kecerdasan dalam menjalankan amanah, tugas, dan tanggung jawabnya sebagai pewaris Nabinya. Kecerdasan ulama’ harus selalu diasah dengan banyak belajar dan belajar. Seorang ulama’ harus selalu meningkatkan kadar keilmuannya.
Dengan demikian mereka mampu memahami persoalan umat sekaligus memberikan jalan keluarnya. Mereka mampu menghadirkan hujjah atau argumentasi setiap ada orang yang berbeda pandangan dengannya. Dengan kecerdasan yang dimilikinya setiap ulama’ mampu menghadapi tantangan zaman dengan segala perubahannya.
Menjadi seorang ulama’ atau cerdik pandai belumlah cukup untuk bisa berebut tiket sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW. Agar bisa menjadi “Pewaris Sejati” mereka harus menghiasi diri dengan empat sifat dasar yaitu Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathanah.
Dengan empat sifat dasar tersebut, para ulama’ diharapkan mampu berperan aktif sebagai pelita-pelita bagi dirinya dan lingkungannya ketika hidup di dunia dan tentu saja menjadi lampu-lampu penerang yang akan menunjukkan jalan ke surga ketika mereka sudah menikmati hidup di alam akheratnya.
Mencetak ulama’ tidak bisa instan dan hanya dengan mantra “bim salabim” tetapi melalui proses pendidikan baik yang formal, informal, maupun non formal. Semua lembaga pendidikan harus bersinergi dan bekerja sama dengan mengedepankan pendidikan akhlak, dan budi pekerti selain ilmu pengetahuan kepada semua anak negeri, baik putra maupun putri.(*)